Indonesia
jelas sebuah bangsa yang unik dengan kemajemukannya. Tidak hanya karena
keanekragaman suku, budaya dan agama yang terdapat di dalamnya, melainkan juga
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Namun, apa yang paling unik
dari Indonesia dibandingkan
dengan banyak negara lain adalah bagaimana keragaman itu dapat disatukan dalam
suatu wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diikat dengan rasa
sebagai sebuah bangsa. Tentu tidak mudah untuk menyatukan dan mengakomodir
semua kemajemukan, termasuk juga kepentingan yang berada di dalamnya. Di sini
saya mengajak pembaca untuk melihat satu sisi yang kerap terlupa dalam
pembacaan kita mengenai arus sejarah keindonesiaan, yaitu ide mesianis yang
mengikat kita sebagai suatu bangsa di dalam sebuah negara.
Ide Mesianis?
Kata
“Mesianis” adalah kata umum dalam terminologi religius agama-agama
abrahamistik. Di dalam kata tersebut terkandung sebuah harapan akan masa yang
cemerlang di depan sana.
Secara etimologis kata ini berasal dari bahasa Ibrani, Mesyiakh yang
berarti yang diberkati. Hans Kohn dalam Encyclopaedia of the Social Sciences
mendefinisikan mesias sebagai “kepercayaan religius akan kedatangan seorang
penebus yang akan mengakhiri peraturan (order) masa kini, baik secara
universal maupun pada kelompok tertentu, dan membangun sebuah peraturan baru
yang mengacu pada keadilan dan kebahagiaan.” Namun demikian, mesianisme di
kemudian hari tidak hanya menjadi milik ranah religius belaka. Ia menembus
batas yang membelenggunya dan merasuki kehidupan politik.
Kondisi pemerintahan yang bobrok,
keadaan sosial dan ekonomi yang kacau, bahkan penderitaan eksistensial sebuah
warga bangsa dapat menimbulkan harapan mesianis. Nikolay Berdyaev, seorang
filsuf Rusia, mengatakan:
“Harapan
mesianis lahir melalui penderitaan dan ketidakbahagiaan serta harapan akan
datangnya penghakiman terakhir... pilihan terhadap kesadaran mesianis merupakan
ganti dari pengalaman menderita. Penderitaan orang Yahudi, Polandia, Jerman,
dan kelas pekerja di masyarakat menjadi faktor penumbuh kesadaran mesianis.”
Dalam dunia politik, ide mesianis
ini meresap dalam kesadaran sebuah bangsa. Ia menjadi sebuah cita-cita bersama
yang kemudian dikemas dalam ideologi-ideologi. Meski tak tampil secara vulgar
dalam sebuah ideologi, dalam arti tak tertuliskan, namun ide mesianis menjadi
hal yang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh untuk menentukan perjalanan
sebuah bangsa.
Di sini ide mesianis menjadi sebuah
eskatologisme sejarah. Ia adalah harapan bahwa akan ada pembebasan di depan sana. Bahwa penderitaan
yang dialami kini adalah suatu situasi yang tak bisa dihindarkan untuk menuju
kebahagiaan paripurna. Dalam sejarah politik, kiranya dapat dilihat bagaimana
marxisme adalah jelmaan dari ide mesianis. Runtuhnya kapitalisme dan
berakhirnya penderitaan kelas akan membuat tidak ada lagi penindasan, dan
kebahagiaan bersama akan terenggut dari tangan para penindas. Di sini kiranya dapat
ditunjukan bahwa ide mesianis bahkan hadir dalam doktrin yang paling materialis.
Mesianisme
dalam keindonesiaan
Indonesia
sebagai sebuah negara modern tidak dapat berkelit dari ide mesianis
keindonesiaan. Bahkan dalam terminologi khas Indonesia terdapat padanan bagi
kata mesias itu sendiri. Kita melihat ide mengenai “Ratu Adil”
yang hingga kini masih dipercaya banyak orang. Sosok Ratu Adil ini adalah sosok yang hadir karena penderitaan
yang pernah dialami rakyat Indonesia.
Presiden Soekarno dalam Indonesia Menggugat bahkan menguatkan kepercayaan
tentang Ratu Adil sebagai paham yang
timbul karena penderitaan. Senada dengan yang diungkapkan Nikolay Berdyaev,
Soekarno mengatakan:
“Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat
senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya ‘Ratu Adil’,
apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan
harapan rakyat ? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak
habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan.
Sebagaimana orang yang dalam kegelapan, tak berhenti-berhentinya
menunggu-nunggu dan mengharap-harap kapan, kapankah matahari terbit?”
Apa
dan siapa sebenarnya Ratu Adil, sang
Mesias Indonesia
tersebut? Konsep Ratu Adil berasal
dari seorang raja Mataram, Prabu Jayabaya yang hidup di abad 12. Di masa
hidupnya ia meramalkan akan datangnya masa kelam di mana bencana menjadi hal
yang biasa terjadi. Tidak hanya alam yang akan menyebabkan terjadinya bencana
bagi manusia, melainkan juga dari manusia itu sendiri. Kehidupan sosial akan
didominasi oleh orang-orang licik dan menindas sesamanya. Namun, masa itu akan
segera berganti ketika sosok Ratu Adil
datang dan membawa pembebasan dan kesejahteraan bagi rakyat. Pada masa itulah
Nusantara akan memasuki zaman keemasannya. Sebuah zaman baru tanpa penindasan
dan kelaparan.
Seiring berkembangnya zaman dan interaksi intelektual antara kaum
bumiputera dan dunia Barat, Ratu Adil
pun mengalami pergeseran makna. Ramalan Jayabaya yang tadinya merujuk pada
suatu figur yang akan datang, kini dipahami sebagai suatu sistem di dalam pemerintahan.
Melalui sistem rakyat dapat hidup sejahtera dan memperoleh pembebasan. Pada
pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan:
“…Apakah yang dimaksud
dengan Ratu Adil? Yang dimaksud
dengan faham Ratu Adil, ialah sociale
rechtvaardigheid. Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang
betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima
prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik,
saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”
Dalam pidato
tersebut, Soekarno secara tegas menyebut kata ‘Ratu Adil’.
Namun tidak seperti faham tradisional yang menganggap Ratu Adil adalah
figur, presiden Indonesia pertama itu lebih merujuk kata Ratu Adil pada sociale rechtvaardigheid, yang juga tercantum di dalam Pancasila sila ke 5,
yaitu Keadilan Sosial.
Ratu
Adil kemudian terejawantah menjadi
suatu Negara. Ia bukan lagi figur personal, melainkan sebuah negara. Di sin Indonesia
sebagai sebuah kekuatan administratif (negara) adalah keharusan untuk
mewujudkan kepentingan bersama. Negara menjadi alat untuk mengakomodir
kepentingan bersama dan membawa pada tujuan paripurna cita-cita bangsa. Dalam
pembukaan UUD 1945 alinea 4 tertulis peran Negara sebagai berikut.
“… untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”
Meski kata Ratu Adil dimoderasi dan dijadikan ideologi oleh
Soekarno,jika dicermati ia ternyata juga membuka celah bagi tafsir tradisional.
Tengoklah kutipan di atas, saat ia mengatakan “menciptakan dunia baru yang di
dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil.”
Di sini ia menampilkan kembali Ratu Adil
sebagai sebuah figur. Entah disengaja atau tidak, namun interpretasi rakyat
kebanyakan yang hadir atau mendengarkan dari siaran radio saat itu sontak dapat
mengenakan predikat Ratu Adil pada
diri Soekarno sebagai pemimpin saat itu.
Soekarno jelas pernah menjadi figur
yang menyatukan Indonesia.
Tetapi penyatuan Indonesia
saja nampaknya belum cukup untuk membuat rakyat sejahtera dalam sebuah ikatan
bernama negara. Pasca Soekarno, Soeharto sebagai presiden terpilih ke 2 mencoba
menyejahterakan rakyat melalui sistem pembangunan material yang digagasnya.
Sayangnya sistem ini tidak dilandasi oleh pembangunan mental. Alih-alih menyejahterakan rakyat banyak, yang
terjadi justru Indonesia
mengalami ketergantungan pada dunia
Barat, yang hampir pula menenggelamkan kepribadian bangsa.
Apakah dengan berakhirnya pemerintahan Soeharto, ide
mesianis bangsa Indonesia
berakhir dengan materialisme? Nampaknya tidak. ide mesianis terlalu lentur
untuk patah dalam perjalanan sejarah. Di masa pasca Soeharto, ide mesianis
melebur dalam semangat reformasi. Reformasi kemudian menjadi tolok ukur
kebangsaan. Seseorang dapat dikatakan reformis atau antek Orba. Ukuran ini
laksana ukuran halal atau haram di dalam suatu agama. Namun tentu saja tidak
ada imbalan surga atau neraka dibalik ide reformasi.
Jokowi Sang Ratu Adil?
Sejak Reformasi
dipertengahan tahun 90-an yang seperti berjalan di tempat. Rakyat menemukan
suatu kejenuhan akan jargon-jargon yang berlaku. Elit-elit politik ternyata
tidak pernah berubah, tetap mengabdi pada kekuasaan dan tidak pernah bersama
dengan rakyat. Rakyat pun hanya menjadi penonton dari keangkuhan dan pendengar
setia janji-janji politis.
Hingga suatu saat muncullah suatu
nama ndeso yang dianggap sebagai Ratu Adil.
Joko Widodo atau Jokowi dengan kesederhanaannya lantas dikait-kaitkan dengan
Ratu Adil. Menjelang pemilu lalu, jargon-jargon
mesianik tentang Ratu Adil
bermunculan dalam diskusi-diskusi warung kopi hingga ke jejaring sosial.
Kini ide mesianis kembali ke
paradigma tradisional. Mesias, sang Ratu Adil
adalah figur personal yang akan memberi pembebasan. Hal yang menjadi nyata
dalam majunya Jokowi dan hantaman keras dari lawan-lawan politiknya, serta aksi
diam tak membalas sang calon presiden itu semakin menguatkan klaim mesianis rakyat
biasa pada Jokowi.
Yang menarik dari fenomena Jokowi
sebagai presiden terpilih Indonesia
adalah ia nampaknya sadar bahwa klaim Ratu Adil
pada dirinya itu berbahaya. Suatu saat klaim seperti ini dapat membawa pada
bencana personal jika ia gagal mengemban tugas. Upaya mengembalikan Ratu Adil menjadi sebuah sistem pun selalu dilakukan.
Tentu hal ini bisa dilihat juga sebagai sebuah usaha penyadaran bahwa
kesejahteraan itu adalah urusan bersama dan bukan bergantung pada sosok Ratu Adil secara personal.
Dengan mengembalikan ide pembebasan
dan juga kesejahteraan pada usaha bersama, dapat dilihat moderasi ide Ratu Adil atau mesianisme adalah kita. Kita adalah Ratu Adil dan kita lah yang akan mengubah keadaan korup,
culas, munafik, bangsa tak berkepribadian, dan jagoan ngutang, menjadi bangsa
yang mandiri dan bermartabat. Tentu hal ini berarti berat bagi rakyat yang
selama ini hanya menuntut dan berdemo jika tuntutannya tak dipenuhi. Paradigma
rakyat kini diubah menjadi pelaku perubahan itu sendiri. Jika bangsa ini mau
maju atau tetap berjalan ditempat, maka itu menjadi tanggung jawab bersama.
Kini pertanyaan kembali kepada kita.
Sanggupkah kita sebagai rakyat menjadi Ratu Adil
bagi bangsa ini? Sanggupkah kita menilai diri sendiri sebagai pembebas bagi
bangsa ini?