Translate

Rabu, 12 Desember 2012

SASTRA SEBAGAI PENYADARAN F.M. DOSTOEVSKY dan N. G. CHERNYSHEVSKY



Karya sastra sering kali dianggap sebagai hiburan atau pengisi waktu luang. Kegiatan sastra sendiri lebih dipandang sebagai kegiatan komersil yang berorientasi pada kapital belaka. Karya politik, filsafat, ekonomi, sosiologi, dan lain-lain dianggap sebagai karya yang lebih serius dibanding dengan karya sastra. ”Belajarlah serius, jangan terlalu banyak baca buku cerita (novel, cerpen atau karya sastra yang lain), nanti tak tajam otakmu!” begitulah kira-kira tanggapan masyarakat mengenai orang yang gemar akan karya sastra.
            Anggapan akan kedangkalan suatu karya sastra tentu tidak akan terlihat dalam tradisi sastra Rusia. Sastra di sana digandrungi tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan melainkan juga para pemikir serius, seperti filsuf dan politisi. Orang-orang seperti Lenin gemar membaca sastra, seperti karya-karya dari Chernyshevsky. Dan filsuf seperti Berdyaev membaca karya-karya Dostoevsky. Singkatnya karya sastra tidak menjadi sesuatu yang ”murahan” di Rusia, karena di dalam karya sastra mereka terdapat begitu banyak perenungan filosofis untuk selalu direnungkan dan dipikirkan.
            Sebaliknya, sastrawan Rusia pun memiliki kepekaan filosofis yang tertuang di dalam karya-karya mereka. Chernyshevsky misalnya, ia adalah seorang pemikir yang genuine. Karya estetikanya merupakan perlawanan terhadap konsep estetika Hegel dan para hegelian, yang saat itu menjadi trend dikalangan para intelektual dunia. Begitu juga dengan Dostoevsky, Karya-karya sastranya merupakan perlawanan terhadap konsep manusia yang mekanistis, yang merupakan hasil dari modernisasi ala Barat. Singkatnya, mereka tidak hanya sastrawan, melainkan juga pemikir yang konsisten dengan gagasan-gagasan yang dianutnya.
            Merupakan hal yang menarik untuk melihat kedua sastrawan besar Rusia di abad 19, yaitu F. M. Dostoevsky dan N. G. Chernyshevsky. Keduanya menyampaikan gagasan-gagasan yang cemerlang, provokatif, politis dan sekaligus filosofis melalui karya-karya sastranya. Mengapa dua tokoh ini penting untuk diangkat dan dibahas bersama? Jawabannya adalah karena pertama kedua tokoh ini hidup di masa yang sama. Kedua, kedua tokoh ini merupakan rival dari polemik budaya yang terjadi di Rusia pada abad 19. Ketiga, baik Dostoevsky dan Chernyshevky, memiliki pandangan yang khas mengenai apa yang harus dilakukan untuk kemajuan dan kemakmuraan bangsa Rusia.

Latar Belakang Sosial Politik Rusia Abad 19
Apa yang digumuli oleh Dostoevsky dan Chernyshevsky di Rusia pada abad 19 tidak dapat dilepaskan dari reformasi[1] yang pernah dicanangkan oleh Tsar Peter Agung (1672-1725) pada abad XVII. Saat itu, Tsar Peter mengirimkan siswa-siswa unggulan untuk belajar di luar negeri dengan tujuan agar dapat menyerap sains dan teknologi yang sedang berkembang di Eropa (Barat) dan membawanya ke Russia.[2] Gema dari reformasi tersebut tidak hanya berhenti pada masa pemerintahan Tsar Peter Agung melainkan tetap dilanjutkan oleh Tsar-Tsar lain setelah ia wafat.[3]
Namun demikian, reformasi tersebut belum cukup untuk menyejahterakan rakyat Russia. Secara ekonomis mayoritas dari mereka tetap hidup ‘pas-pasan’. Dan secara intelektual, saat itu masih banyak orang yang buta huruf. Jadi apa yang dicanangkan oleh pemerintah dengan reformasinya tidaklah berdampak kuat pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Reformasi hanya menyenangkan kaum atas saja dan rakyat biasa hanya menjadi “pelengkap penderita”. Situasi demikian membuat  banyak intelektual merasa terpanggil untuk memikirkan ketidakadilan yang terjadi. Mereka kecewa terhadap apa yang menimpa bangsanya dan berusaha untuk merumuskan yang terbaik untuk semua. Situasi kekecewan tersebut kiranya yang dalam pandangan Berdyaev menjadi sumber bagi para penulis Russia untuk berkarya.[4]
Pada abad XIX, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah feodal saat itu. Sekitar tahun 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda yang mencoba mengeritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal-bakal dari gerakan yang disebut ‘Intelegensia’. Intelegensia sendiri merupakan istilah khas Rusia yang timbul pada masa itu. Istilah ini tidak sama artinya dengan intelektual, intelegensia lebih bernuansa “propetik”. Setiap intelegensia beranggapan bahwa mereka memiliki ikatan yang sama, yakin bahwa mereka memiliki tugas khusus untuk “mewartakan” pembaruan sosial. Tugas mereka laksana seorang pendeta atau pastor namun dalam bentuk sekular.[5] Ikatan tersebut kiranya melebihi ide pemikiran yang mereka miliki (anut) masing-masing. Karena kegigihan mereka memperjuangkan ide-ide kemasyarakatan, mereka bahkan dikenal sebagai sebuah “kelas” yang siap untuk dipenjara, menjalani kerja paksa bahkan kematian sebagai upah dari pemikiran mereka.[6]
Wacana yang begitu diminati oleh para intelegensia saat itu adalah bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi salah satu tema pemikiran mereka. Di sini, usaha untuk merumuskan identitas bangsa Rusia giat dilakukan oleh para intelegensia. Selain itu, mereka juga mencari alternatif sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan agar dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Pencarian akan kerusiaan orang Rusia kemudian menimbulkan sebuah polemik kebudayaan di antara mereka. Perlu diingat bahwa intelegensia bukanlah golongan homogen, malainkan terbagi menjadi dua kelompok, yang satu adalah kelompok yang menginginkan pengadopsian pola-pola Eropa Barat untuk kemajuan bangsa Rusia, yang disebut Zapadniki (westernizer); sedangkan yang lain adalah kelompok yang menginginkan Rusia untuk kembali ke akar budayanya sendiri, yaitu kelompok Slavophil. Dua kelompok ini sebenarnya menginginkan hal yang sama, yaitu pembaharuan dan kemajuan bangsa Rusia. Orang-orang Zapadniki beranggapan bahwa jika Rusia ingin maju, maka ia harus mencontoh apa yang terjadi di Eropa Barat. Seperti diketahui, bahwa bangsa Barat dengan rasionalitas yang mereka miliki telah mengalami kemajuan yang pesat dibidang ilmu-ilmu, terlebih pada ilmu alam. Kaum zapaniki beranggapan bahwa masa depan Rusia hanya dapat dituju dengan mengikuti apa yang terjadi di belahan Eropa Barat. Sementara itu, kaum slavophil percaya bahwa untuk mencapai  kemajuan bangsa Rusia harus kembali pada tradisi di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama. Mereka percaya bahwa melalui ortodoksi yang mereka miliki, mereka dapat sebanding atau tidak kalah dengan  bangsa-bangsa Eropa Barat. Meskipun pilihan idiologis mereka berbeda, tetapi terdapat benang merah yang serupa dari pemikiran-pemikiran kedua kelompok tersebut. Hal yang menyatukan mereka adalah sosialisme (yang dapat berbentuk sekular atau religius).
            Sosialisme merupakan idiologi profetik di dalam kehidupan manusia modern. Sosialisme merupakan suatu doktrin yang mengagas kebersamaan sebagai panji utamanya. Kebersamaan ini diwujudkan dengan tiadanya kepemilikan dan keuntugan pribadi. Semua hal yang diusahakan manusia haruslah untuk tujuan bersama dan milik bersama pula karena kepemilikan pribadi dapat menimbulkan penindasan dan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Dengan tiadanya kepemilikan secara pribadi sosialisme percaya dapat membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik dan tanpa penindasan karena setiap orang akan menjadi saudara.
Sosialisme sendiri hadir di Russia dalam tiga bentuk. Pertama,  sosialisme utopis,  yang beranggapan bahwa pembaharuan sosial hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan.[7] Kedua adalah sosialisme Narodnik[8] yang percaya bahwa pembaharuan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire yang menghisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah.[9] Ketiga adalah sosialisme  ilmiah atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis. Bentuk pemikiran seperti sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut sosialisme ketiga ini secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan Tsar di abad 19, dan reformasi yang pernah dicanangkan oleh Tsar Peter Agung.[10]
Chernyshevsky adalah seorang zapadniki (westernaizer). Ia percaya bahwa perubahan dapat terjadi jika cara kerja ilmu-ilmu alam diterapkan pada sistem sosial. Ia percaya bahwa hanya ilmu alam yang dapat mempertahankan objektivitasnya. Dengan ilmu alam yang rasional itu, bangsa Rusia akan sanggup untuk mencapai tujuannya, yaitu kesejahteran bagi seluruh rakyat. Melalui tulisan dan tindakannya, Chernyshevsky ingin mendidik rakyat Rusia  untuk melaksanakan tugas termulia: berbakti pada rakyat dengan jalan melaksanakan revolusi sosialis.[11] Pengaruhnya begitu kuat bagi gerakan-gerakan revolusioner Russia pada saat itu. Mulai dari tokoh-tokoh Nachaev, seorang nihilis[12], hingga Lenin dipengaruhi oleh pemikiran Chernyshevsky. Lenin bahkan mengadopsi judul novelnya yang berjudul ‘What is to be Done?’[13] untuk judul traktat politiknya. Keberadaannya di Russia dapat dikatakan sebagai santo sekular.[14]  
Sementara itu, Dostoevsky sebagai seorang Slavophil beranggapan bahwa Rusia tidak perlu mengikuti (apa lagi mengimitasi) bangsa-bangsa Barat. Rusia memiliki keutamaan dan identitasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat. Keutamaan dan identitas Rusia yang luhur itu terdapat di dalam  tradisi, di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama. Ortodoks (prasvo-slavie – bhs. Rusia)  berarti kepercayaan yang murni. Ortodoksi yang mereka miliki tersebut sebanding atau tidak kalah dengan modernitas yang dimiliki bangsa-bangsa Eropa Barat. Dengan kembali kepada akar budaya, mereka yakin bahwa Rusia akan memperoleh kembali kejayaan mereka. Dostoesvky sebagai seorang Slavophil pernah mengatakan bahwa:  “Keselamatan kita (Rusia – HS) berada pada tanah dan rakyat”.[15]

Realisme Sebagai Landasan
Baik Dostoevsky maupun Chernyshevsky menggunakan faham realisme di dalam karya-kaya mereka. Realisme sendiri di dalam ranah pemikiran (secara umum) berarti suatu usaha untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Maksudnya adalah menerima fenomen-fenomen seperti benda-benda atau pikiran sebagaimana adanya, tanpa idealisasi dan spekulasi.
            Di dalam realisme, fenomen-fenomen “dilihat” sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, lepas dari gagasan-gagasan (seperti idealisasi atau spekulasi) yang dimiiki oleh manusia. Jadi jika ada sebuah meja, maka meja itu ada secara tersendiri. Meja bukanlah suatu yang eksis di dalam pikiran belaka, seperti yang bayangkan oleh pada penganut idealisme. Meja itu ada, dan tetap ada tanpa perlu kehadiran seseorang untuk mempersepsikannya. Lebih lanjut, seperti layaknya meja, dunia juga merupakan fenomen yang berdiri sendiri. Dunia itu ada secara kongkret dan bukan dalam persepsi manusia. Jika dunia itu hanya ada di dalam persepsi seseorang, maka ketika orang itu meninggal, maka dunia itu ikut mati bersamanya. Tetapi kenyataannya tidak. Dunia tetap ada walaupun orang yang mempersepsikannya telah tiada. Pendapat ini tentu masih dapat dipertanyakan. Bukankah manusia di dalam dunia juga mendunia? Maksudnya bukankah manusia juga membentuk dunianya sendiri, seperti dunia bisnis, dunia olah raga, dunia pemikiran, dan lain-lain. Tetapi bukan dunia seperti itu yang dimaksudkan di dalam realisme. Dunia seperti yang tadi disebutkan merupakan dunia kedua yang dikonstruksi oleh manusia. Dunia yang dimaksud dalam realisme adalah dunia yang juga di sebut bumi dalam arti yang khusus. Jadi bukan dunia yang terdapat di dalam dan dikonstruksi oleh manusia sendiri.
            Di dalam ranah seni, realisma muncul sebagai perlawanan terhadap dua arus pemikiran, yaitu idealisme dan romantisisme. Idealisme adalah pemikiran yang dingin, abstrak dan melulu teoritis, sehingga tidak menjejak lagi di dalam kenyataan kongkret. Sementara romantisime adalah gerakan yang telah memisahkan seniman dan juga karya seni dari akarnya, yaitu masyarakat. Semboyan Romantik yang mengatakan l’art pour l’art merupakan jargon yang memuakkan dalam pandangan realisme. Mengapa? Karena l’art pour l’art itu absurd. Tidak ada seni yang dapat berdiri sendiri tanpa ada manusia dan masyarakat yang menjadi dasarnya. Bagi faham realisme, seni itu haruslah berasal dari manusia dan masyarakat, dan haruslah bagi masyarakat.
            Jika dirunut lebih jauh, faham realis dalam seni sebenarnya dapat ditelusuri dari pandangan August Comte (1798-1857). Comte mengatakan bahwa pengalaman akan keindahan dan seluruh bidang kesenian tidak bisa merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Sebaliknya, seni harus lahir dari masyarakat dan demi masyarakat pula.[16] Pandangan tentang seni ini kemudian dilanjutkan pula oleh pemikir-pemikir lain seperti Hyppolyte-Adolphe Taine (1828-1893), Charles Fourier ( 1772-1837), Pierre Joseph Proudhon (1809-1865), dan lain-lain. Dua tokoh terakhir merupakan tokoh yang memiliki pengaruh kuat terhadap intelektual Rusia abad 19.
            Dasar dari metode realisme  dalam seni, secara sederhana, adalah analisa sosial, yaitu studi dan penggambaran manusia di dalam masyarakat. Realisme tidak seperti faham-faham lain (idealisme maupun romantisisme) yang mengisolasi manusia dari latar belakang sosial yang dihidupinya. Sebaliknya, realisme mengungkapkan apa yang ada di dalam masyarakat dan menyodorkan kembali kepada masyarakat agar mereka menyadari situasi tersebut.[17] Hal tersebut kiranya nampak dalam karya-karya sastra realis. Di dalam karya sastra realis dapat dijumpai gambaran-gambaran kongkret mengenai situasi sosial yang tertuang dan menjadi latar belakang yang dihidupi oleh tokoh-tokoh di dalam karya tersebut.
            Chernyshevsky dan Dostoevsky adalah orang-orang realis. Di dalam karya-karya mereka dapat ditemukan gambaran-gambaran kehidupan serta kepelikan yang terdapat di dalamnya. Lebih lanjut, Chernyshevsky sendiri memandang seni sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan alam ini karena seni merupakan reproduksi dari keindahan yang terdapat di dalam kehidupan dam alam itu sendiri. Sebagai sesuatu yang hadir dan eksis di kehidupan, seni juga memiliki fungsi moral, yaitu seni harus membuat orang semakin menyadari kemanusiaan yang dimiliki dan dihidupinya. Maksudnya adalah selain mengangkat realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat, seni juga harus menggugah masyarakat untuk meyadari realitas hidupnya. Dengan mengguangkapkan realitas kehidupan dan apa yang penting di dalam kehidupan manusia dan alam, bagi Chernyshevsky, seni telah menjalakan fungsi moralnya.[18] Pentingnya seni di dalam kehidupan manusia, maka seperti juga ilmu-ilmu alam, menurutnya, seni haruslah terbuka atau dapat diakses secara masal.[19]
             Seperti para realis lainnya, Dostoevsky menolak l’art pour l’art. Baginya seni adalah ekspresi kreativitas manusia. Seniman, pencipta karya seni, adalah manusia yang hidup di sini dan kini, dan seni sebagai karya adalah hasil dari pengungkapan kehidupan itu sendiri. Seni tidak dapat dilepaskan dari kehidupan.[20] Sepintas, pandangan Dostoevsky dan Chernyshevsky mengenai seni nampak serupa, namun demikian dua tokoh ini berbeda di dalam memandang fungsi dari seni. Jika pada Chernyshevsky seni dipandang sebagai alat untuk menyadarkan manusia akan kemanusiaan dan realitas hidupnya serta bertujuan untuk mengubah masyarakat, pada Dostoevsky manfaat seni tidak dipahami demikian. Manfaat seni baginya adalah keindahan itu sendiri. Seni menjalankan fungsinya jika seni dibiarkan bebas dan menjadi dirinya sendiri ketimbang dipaksakan untuk suatu tujuan-tujuan politik (yang menjadi tujuan dari realisme sosialis).  Menurutnya, manfaat seni, dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia, adalah keindahan dirinya. Keindahan seni bermanfaat karena ia indah.[21] Dari pendapatnya tersebut, apakah kemudian Dostoevsky jatuh ke dalam romantisisme yang digugat para realis? Jawabannya tidak. Di dalam novel-novelnya dapat ditemukan bahwa ia konsisten dengan realisme. Ia bahkan tidak menolak tema-tema sosial yang menjadi latar belakang dari karya-karya sastra. Namun demikian, yang menjadi maksud darinya adalah ia menolak jika usaha kreatif seniman dalam menulis dibatasi oleh tuntutan-tuntutan di luar kreativitas itu senidiri. Ia menolak jika tujuan karya sastra hanya direduksi menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan nonestetik, sepeti tujuan politik.[22]
            Perbedaan mengenai manfaat seni dalam pandangan kedua tokoh ini mungkin menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, tetapi di dalam tulisan ini saya tidak akan membahasnya secara lebih lanjut. Yang akan kita gumuli bersama di dalam tulisan ini adalah bagaimana mereka menggambarkan realitas yang ada di zamannya dan bagaimana mereka melihat apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Rusia.

Sto Delat? Versus Zapiski iz Podpol’ya
Gambaran akan kondisi Rusia di abad 19 dan apa yang harus diperbuat oleh bangsa itu, kiranya tertuang di dalam karya dua sastrawan besar ini. Situasi ambigu yang lahir dari ketegangan antara modernitas dan tradisi, antara kaum zapadniki dan slavophil kiranya tercermin jelas di dalam novel Chernyshevsky dan Dostoevsky.
            Novel Sto Delat? atau ‘Apa Yang Harus Dilakukan?’ merupakan novel yang ditulis Chernyshevsky di Siberia tahun 1862, ketika ia menjalani hukuman akibat aktivitas politiknya. Sebagaimana diketahui bahwa Dalam peta pemikira Rusia, Chernyshevsky tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir dan sastrawan. Ia juga dikenal sebagai seorang yang melakukan apa yang digaungkan dalam tulisan-tulisannya. Dapat dikatakan bahwa teori dan praksis adalah kesatuan di dalam kehidupan Chernyshevsky.
            Semangat revolusioner merasuk pada diri Chernyshevsky ketika ia kuliah di universitas St. Petersburg. Dengan membaca karya-karya pemikir sosialis dunia seperti Fourier, Proudon, Robert Owen, dan lain-lain, ia mulai memahami bahwa dalam kehidupan berbangsa tidak boleh ada satu kelas yang menindas kelas lainnya. Berbekal pemikiran tokoh-tokoh sosialis, ia melihat bahwa Rusia adalah contoh kongkret adanya penindasan suatu kelas terhadap kelas lainnya, yaitu kelas borjuis (juga feodal) terhadap kelas petani. Baginya  jalan damai tidak akan berhasil untuk menumbangkan kelas penghisap darah rakyat, harus dengan revolusi-lah petani dan rakyat tertindas akan memperoleh kebebasannya.
            Keyakinan bahwa harus ada revolusi dibuktikannya dengan keluarnya ia dari dunia akademik tempatnya mengajar, dan memulai aktivitas politiknya dengan menceburkan diri dalam bidang sastra dan jurnalis di St. Petersburg tahun 1853.  Ia membantu dua majalah yang kiri Otechestvenniya Zapiski (Catatan Tanah Air) dan Sovremennyik (Orang Sejaman). Melalui dua majalah tersebut gagasan-gagasannya mengenai revolusi sosialis mengalir dan membakar semangat para pembacanya.
Di tahun 1860-an  Chernyshevsky ikut aktif berperan dalam kelompok pochva i svoboda (tanah dan kebebasan). Lebih dari itu, ia juga memproklamasikan perlawanan terhadap Tsar. Proklamasi tersebut ditujukan bagi para Barskim krestyanam (petani tanpa tanah atau petani budak). Dalam proklamasi tersebut, ia menganjurkan adanya sebuah revolusi sebagai jalan bagi terciptanya kesamaan harkat dan derajat bagi para petani dan para petani diminta untuk bersatu dan menyiapkan senjata untuk kepentingan revolusi. Selain itu, ia juga meminta petani untuk lebih mendekatkan diri dan bersahabat dengan para tentara.  
Chernyshevsky dijebloskan ke dalam penjara pada tahun 1862 namun ia baru menjalani sidang setelah dua tahun menjalani masa tahanan di Penjara Peter and Paul di St. Petersburg. Di dalam persidangan, sebenarnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjang untuk menetapkan kesalahannya, namun dengan tuduhan palsu bahwa ia menjalankan usaha percetakan ilegal ia akhirnya dihukum kerja paksa selama empatbelas tahun dan menjalani pembuangan di Siberia (Tsar kemudian mengubah hukumannya menjadi tujuh tahun). Chernyshevsky tahu bahwa tuduhan itu adalah tuduhan palsu, dan untuk menunukan pebelaannya ia melakukan aksi mogok makan selama sembilan hari yang mengakibatkannya hampir mati karena lemas. Senat Rusia saat itu mencabut semua hak-hak sipil yang dimiliki Chernyshevsky.
Sebelum menjalani hukuman kerja paksa, Chernyshevsky dipermalukan di depan publik. Ia diikat rantai dan di arak ketengah kota serta dinaikan ke panggung dengan mengenakan papan yang dikalungkan dilehernya. Panpan tersebut bertuliskan ‘Penjahat Bangsa’. Di penjara, jiwa revolusioner Chernyshevsky tidak padam. Di Siberia ia menuliskan banyak karya berbentuk sastra, roman, politik, ekonomi, sejarah, dan juga terjemahan-terjemahan. Karya yang sangat terkenal, yang ditulis ketika ia dipenjara yaitu karya sastra berjudul ‘Apa Yang Harus Dilakukan’. Karya sastra ini merupakan sastra politik-filosofis. Di dalam karya tersebut ia mengungkapkan apa-apa saja yang diperlukan guna membebaskan bangsa dari penindasan kaum aristokrat. Revolusi rakyat adalah keniscayaan yang harus dilakukan jika petani dan orang miskin Rusia menginginkan kebebasan.
Di dalam novel ini dapat dilihat bagaimana Chernyshevsky merasa bahwa bangsa Rusia harus belajar banyak dari dunia Barat, di mana sains dan rasionalitas  menjadi perangkat mereka untuk mencapai kemajuan. Argumen-argumen yang dikemukakannya melalui figur Lopukhov jelas didasarkan atas pemikiran Eropa Barat mengenai rasionalitas dan perfeksibilitas manusia.[23] Di sini ia mengemukakan pentingnya sebuah kalkulasi atau perhitungan atas segala tindakan yang dilakukan oleh manusia. Baginya, suatu tindakan haruslah dipilih berdasarkan apa yang paling bermanfaat. Melalui Lopukhov ia mengatakan:
“Kita mulai dari melihat bahwa tindakan manusia didasarkan atas apa yang perlu untuk dilakukan. Tindakan-tindakan tersebut kiranya di dasarri oleh motovasi-motivasi yang dimilikinya. Dalam bertindak, salah satu motivasi menjadi dasar bagi apa yang dilakukannya. Dalam masalah hidup dan mati, di situlah kiranya tempat di mana kita meletakan proposisi kita antara apa yang paling bermanfaat untuk dilakukan. Pertarungan antarmotif di dalam diri manusiakita sebut sebagai pertimbangan apa yang paling bermanfaat untuk dilakukan. Dengan demikian, sebenarnya manusia selalu bertindak berdasarkan pertimbangan apa yang paling bermanfaat dan apa yang kuran bermanfaat.”[24]

                  Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep utilitarian yang digagas oleh Chernyshevsky untuk bangsa Rusia. Sepintas terlihat bahwa konsep tersebut begitu egoistik karena manusia menentukan apa yang paling bermanfaat atau menguntungkan bagi dirinya. Namun, kalkulasi tersebut tidak harus bersifat egoistik karena di dalam pandangan utilitarianisme, manusia dikatakan baik jika, ketika mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, ia juga harus memberikan keuntungan bagi orang lain. Selaras dengan pandangan John Stuart Mill, seorang pemikir yang dikagumi oleh Chernyshevsky, moralitas utilitaris juga mengenal konsep pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian, pencarian keuntungan atau manfaat dari suatu tindakan tidak melulu bersifat egoistik.[25]
             Tindakan untuk mencari apa yang paling bermanfaat haruslah mempertimbangkan keberadaan orang lain agar tidak jatuh ke dalam tindakan yang egoistik. Keberadaan orang lain perlu diperhitungkan karena manusia tidak hidup sendiri, dan individualitas manusia tidak cukup sebagai sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, individualitas harus diminimalisir supaya kebahagiaan bersama dapat dicapai. Di sini Chernyshevsky menekankan pentingnya kebersamaan manusia. Tindakan harus didasarkan pada kalkulasi terhadap apa yang paling bermanfaat bagi banyak orang. Jika tindakan itu hanya bermanfaat bagi sedikit orang, tindakan itu masih kurang baik. Suatu tindakan bisa menjadi benar-benar baik jika tindakan itu memberi manfaat bagi banyak orang. Semakin banyak orang yang menerima manfaat darinya, semakin baiklah tindakan itu.[26]
            Menurut Chernyshevsky, Rusia bisa melakukan tindakan yang akan memberikan banyak manfaat bagi rakyatnya jika ia mau mencontoh apa yang terjadi di Eropa Barat. Melalui sains dan teknologi Rusia akan mampu mencapai kemajuan yang akhirnya akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyatnya. Impian yang menunjukan hal tersebut nampak pada bagian  novelnya yang berjudul ‘Mimpi Vera Pavlona’. Di dalam mimpi tersebut, dikisahkan  Vera berada di dalam sel yang gelap. Sel tersebut kemudian terbuka dan Vera tiba-tiba berada di sebuah lapangan yang dipenuhi oleh orang-orang tua, baik lelaki maupun perempuan, yang lumpuh. Vera sendiri juga mengalami kelumpuhan, namun ia tidak pernah menyadari bahwa dirinya lumpuh. Hal ini menurutnya karena ia terlahir dengan kondisi demikian dan dikelilingi oleh orang-orang yang juga sama sehingga ia tidak menyadari kelumpuhannya. Ia tidak pernah berjalan maupun berlari. Dengan demikian, bagaimana ia tahu bahwa ada kondisi lain selain kelumpuhan yang dialaminya. Kelumpuhan kemudian dimaklumkan sebagai sesuatu yang memang harus demikian dan sudah semestinya ada di dalam kehidupan. Tiba-tiba sebuah suara yang tidak dikenalnya menyembuhkan Vera. Ia bisa berjalan, bahkan berlari. Ia bebas dan lepas berjalan dan berlari kesana-kemari hingga akhirnya ia mendapatkan tugas mulia dari suara tersebut. Tugas itu adalah suatu perintah agar Vera menyembuhkan juga orang-orang lumpuh di sekitarnya.
            Mimpi yang dialami oleh Vera Pavlovna kiranya merupakan representasi dari situasi yang terjadi di Rusia saat itu. Chernyshevsky melihat bahwa bangsanya tinggal di dalam kegelapan dan keterkungkungan (tradisi, agama dan feodalisme), yang digambarkan melalui orang-orang tua yang lumpuh. Suara yang membebaskan itu adalah representasi dari sains dan rasionalitas bangsa Eropa Barat. Orang-orang Rusia selama ini tidak menyadari dan mengerti bahwa mereka tinggal di dalam kegelapan dan mengalami kelumpuhan karena mereka lahir dan dibesarkan dalam kondisi seperti itu. Hanya sains dan Rasionaitas Barat-lah yang dapat menyembuhkan mereka dari kelumpuhan dan membawa mereka ke luar dari kegelapan yang mereka alami selama ini. Tugas yang diemban oleh Vera merupakan representasi dari apa yang harus dilakukan oleh orang-orang muda yang progresif. Mereka harus memberikan penyadaran akan realitas yang kelam dan membebaskan masyarakat dari kegelapan yang dialaminya serta menyembuhkan masyarakat dari ketidakberdayaanya.
    Novel Zapiski iz Podpol’ya yang ditulis Dostoevsky merupakan perlawanan dari apa yang dicetuskan Chernyshevsky dalam novelnya Sto Delat?. Dostoevsky, seperti telah disinggung di bagian awal, adalah seorang slavophil. Sebagai mana orang-orang slavophil, ia menolak pengadopsian budaya Barat oleh bangsa Rusia. Baginya kemajuan bangsa Rusia hanya dapat dicapai jika Rusia kembali kepada keutamaan dan identitasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat, yaitu tradisi, di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama.
Di dalam novel ini dapat dilihat sanggahan-sanggahan yang dilakukan Dostoevsky terhadap pemikiran Chernyshevsky dan kaum zapadniki yang pro Barat. Ia mengatakan bahwa rasionalitas Barat yang merasuk ke dalam orang-orang Rusia itu sama dengan penyakit gigi yang diderita oleh manusia. Namun karena penyakit itu tidak kunjung sembuh, maka orang kemudian malah menikmatinya. Orang-orang sakit itu adalah orang-orang seperti Chernyshevsky dan kaum zapadniki, mereka tidak sadar akan “penyakit” yang merongrong kedaulatan bangsa Rusia. Mereka, karena tak dapat sembuh malah menikmati penyakit gigi tersebut. Bagi Dostoevsky tidak ada yang patut dibanggakan dari rasionalitas Barat, yang mendudukan pikiran di atas segalanya. Apakah rasionalitas itu? Rasionalitas hanyalah cara berpikir, dan sebagaimana pikiran, ia hanya akan memuaskan kapasitas berpikir manusia, tidak lebih.[27]
Mengenai konsep utilitarian yang digagas Chernyshevsky, di mana manusia harus mengkalkulasi tindakan-tindakannya berdasarkan apa yang paling bermanfaat atau yang paling menguntungkan, Dostoevsky membantah hal tersebut. Ia mengatakan bahwa perhitungan dan kalkulasi itu tidak dapat memberikan kepastian pada manusia. Apakah yang dapat dipastikan dari manusia? Hanya orang bodohlah yang dapat dipastikan.[28] Manusia sebenarnya lebih dari pada perhitungan dan kepastian-kepastian tersebut.
Dostoevsky tidak sependapat dengan proyek Chernyshevsky tersebut. Ia melihat bahwa perubahan harus dimulai dari manusia itu sendiri. Menurutnya apa yang digagas oleh Chernyshevsky tidak melihat manusia sebagai manusia melainkan mesin. Manusia bukan benda. Oleh karena itu maka ia tidak dapat ditentukan dalam kalkulasi-kalkulasi saintifik. Dostoevsky beranggapan bahwa perlu cintakasih bagi manusia  untuk bereksistensi. Dengan cintakasih penindasan terhadap manusia tidak akan terjadi karena cintakasih akan menjadikan manusia untuk bertindak secara adil.
Dostoevsky berpendapat bahwa apa yang ada di Barat tidak perlu menjadi identitas bangsanya. Rusia memiliki budayanya sendiri, yang lebih baik jika dibandingkan dengan budaya Barat. Perbedaan Rusia dengan bangsa Eropa Barat, mengikuti pembagian yang dilakukan Komyakov, seorang slavophil, diungkapkan dengan istilah iranstvo dan kushitstvo. Iranstvo adalah istilah yang berarti kebebasan dan spiritualitas, sedangkan kushitstvo berarti keniscayaan dan materialistik. Komyakov beranggapan bahwa identitas Bangsa Rusia adalah iranstvo dan dunia Barat adalah kushitstvo.[29] Kebebasan yang dimaksud dengan iranstvo tidak sama dengan kebebasan individual yang terdapat dalam liberalisme Barat. Di Rusia kebebasan dipahami sebagai kebebasan spiritual umat Tuhan. Menurut Dostoevsky, pengadopsian nilai-nilai Barat tidak perlu dilakukan karena peradaban Eropa akan jatuh karena liberalisme yang dianutnya, dan mengikuti liberalisme yang terjadi di Eropa sebagaimana yang berlangsung di Rusia saat itu sama saja dengan mengikuti kejatuhan mereka.[30]
Penutup
Pertarungan konsep dan idiologi kedua pemikir besar Rusia abad 19, yang dituangkan ke dalam karya-karya sastra mereka, kiranya bukan sekedar pertarungan intelektual belaka. Pertarungan ini adalah pertarungan untuk kedaulatan dan kemajuan bangsa Rusia sendiri. Apa yang dilakukan oleh Chernyshevsky dan Dostoevsky di dasarkan kepada rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka berdua memiliki kerinduan yang sama untuk melihat Rusia mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Apa yang menjadi pembeda dari dua sastrawan-filsuf ini adalah cara-cara yang mereka gagas untuk mencapai kemajuan tersebut.
          Dari perjalanan sejarah, menjelang revolusi Bolshevik, dukungan terhadap pemikiran kaum zapadniki menguat. Ini berarti apa yang digagas oleh Chernyshevsky mendapat dukungan di masa itu. Harus diakui bahwa dengan gagasan-gagasan sosialisme sekular (marxis), dalam waktu singkat Rusia (kemudian menjadi Uni Soviet) telah berhasil menjadi salah satu negara adi daya di dunia.
          Kehidupan Chernyshevsky memang telah usai ketika revolusi Bolshevik meletus, tetapi semangat dan gagasan-gagasan darinya kiranya telah mengilhami sejumlah tokoh-tokoh revolusioner untuk berjuang membebaskan rakyat Rusia dari ketertindasnnya. Lenin sendiri di dalam bukunya Emperio Criticism mengatakan:
Chernyshevsky merupakan satu-satunya pemikir besar yang, sejak tahun limapuluhan sampai 1888, mampu mempertahankan filsafat materialisme dan mendepak hal-hal tak masuk akal dari neo-Kantian, Machian dan para pemikir yang berpikiran kusut lainnya.[31]
Namun demikian, seturut dengan keberhasilan pendukung-pendukung zapadniki, apakah gagasan yang dibangun Dostoevsky dan kaum slavophil tenggelam dan hilang begitu saja? Nampaknya tidak. Justru, apa yang digagas Dostoevsky terbukti benar di kemudian hari. Gagasan Chernyshevky terbukti terjebak pada perbudakan “gaya baru”. Jika dahulu rakyat diperbudak oleh pemerintahan feodal, kini rakyat diperbudak oleh rezim komunis. Dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, individualitas hampir setiap warga negara tertindas. Harus diakui pula bahwa pengagungan terhadap rasionalitas manusia telah menimbulkan bencana yang tidak sedikit. Dostoevsky benar ketika ia mengatakan: Lihatlah darah mengalir di sungai-sungai... Lihatlah apa-apa yang terjadi sepanjang abad 19... Lihatlah Napoleon ... Lihatlah apa yang terjadi di Amerika Utara.”[32]
          Apa yang dapat kita petik dari kedua sastrawan besar dan bangsa Rusia untuk Indonesia kiranya adalah usaha untuk membangun karakter bangsa dan perdebatan logis atas suatu masalah. Perdebatan seperti itu memang pernah ada  di dalam sejarah sastra Indonesia sebelum peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965). Saat itu sastrawan baik dari pihak kiri maupun kanan, pihak Manipol maupun Manikebu berdebat mengenai hal-hal serupa untuk membangun karakter bangsa. Kini debat-debat untuk membangun karakter bangsa kiranya sudah jarang terjadi, terlebih dalam ranah sastra. Karya-karya sastra pun kini jarang ada yang mengangkat tema tersebut. Mungkin karena tidak “menjual” seperti tema-tema cinta remaja, maka tema kebangsaan sudah tidak menarik lagi. Ah, jika Chernyshevsky hidup di Indonesia pada zaman ini, tentu ia akan mengatakan “Что Делат Индонезийкий? Dan Dostoevsky akan menulis “Записки из Индонезя”, untuk menggagas keindonesiaan orang Indonesia

* Catatan kaki dan daftar pustaka tidak disertakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Edisi lengkap dapat dilihat di  Journal Glasnost (FIB Universitas Indonesia), Vol.  IV. April 2008 – September 2008 atau dapat diminta pada penulis


Selasa, 27 November 2012

“Что,батюшка, чест, кагда нечего есть?” Kepentingan Diri dalam Pergulatan Etika Keutamaan dan Etika Orang Biasa Dalam Kisah Sang Inkuisitor


“Что,батюшка, чест, кагда нечего есть?”[1]
Kepentingan Diri dalam Pergulatan Etika Keutamaan dan Etika Orang Biasa
Dalam Kisah Sang Inkuisitor


Pada bahasan ini akan diperlihatkan masalah-masalah yang terkait dalam pemikiran utilitaisme. Untuk itu kasus yang akan dianalisa pada bahasan ini adalah kasus yang terdapat di dalam kisah Sang Inkuisitor yang ditulis oleh F. M. Dostoevsky  (1821 – 1881). Sang Inkuisitor sendiri terdapat di dalam novel terakhir Dostoevsky Karamazov Bersaudara, yang ditulis tahun 1878-1880. Di dalam kisah tersebut dapat dilihat bagaimana paradigma etis utilitaris yang menekankan manfaat suatu tindakan (diwakili oleh Kardinal) berhadapan dengan etika keutamaan (diwakili oleh Kristus). Atas nama orang-orang yang lemah, yang tidak dapat mengikuti etika keutamaan, sang Kardinal lantas menolak Kristus. Kedatangan Kristus ke dunia untuk kedua kalinya, bagi Kardinal, hanyalah mengacaukan stabilitas yang selama ini telah tercapai.
Pembahasan makalah ini akan mencoba menjawab tiga petanyaan berikut: (1) Mengapa Kardinal beranggapan bahwa ajaran Kristus gagal? (2)Apakah yang menjadi dasar dari argumen Kardinal tersebut? (3) Bagaimana Tanggapan Dostoevsky sendiri terhadap tokoh Kardinal? Guna menjawab tiga pertanyaan tersebut maka alur makalah ini adalah sebagai berikut: Pendahuluan yang akan memperlihatkan tokoh Kardinal dalam kisah Sang Inkuisitor. Dilanjutkan dengan argumen-argumen Kardinal untuk melihat mengapa ia menolak Kristus. Setelah itu akan dianalisa kisah Sang Inkuisitor dalam perspektif utilitaris. Sebagai pembanding akan dihadirkan pandangan Dostoevsky mengenai kisah Sang inkuisitor. Sebagai akhir akan disertakan penutup yang berisi kesimpulan dan refleksi.
Kisah Sang Inkuisitor dan Kardinal
Dalam kisah Sang Inkuisitor diceritakan mengenai kedatangan Yesus yang kedua kali di Seville, Spanyol pada masa inkuisisi. Kedatangan Yesus dianggap oleh Gereja, yang diwakili oleh Kardinal, membahayakan stabilitas yang selama ini telah tercapai di dalam keimanan umat secara umum. Oleh karena itulah Kardinal menangkap Yesus dan menjebloskannya ke dalam penjara. Di dalam penjara terjadilah dialog (lebih tepatnya monolog karena Yesus hanya diam saja; satu-satunya respon Yesus saat itu adalah ciuman pada Kardinal ketika ia dilepaskan dari penjara.). Di dalam dialog itu dapat dilihat mengenai pemikiran-pemikiran mengenai apa yang patut dan apa yang tidak. Singkatnya adalah apa yang diajarkan Kristus itu terlalu tinggi dan tak dapat dimengerti dan diikuti oleh orang kebanyakan. Yesus mewartakan keutamaan-keutamaan sementara apa yang dibutuhkan hanyalah makanan duniawi semata. Sang Kardinal mengatakan kepada Kristus demikian: “…Kau begitu bangga akan mereka yang terpilih, namun Kau hanya memiliki mereka, yang jumlahnya sedikit, sementara kami mampu memberi kedamaian pada seluruh umat manusia.” (BK: R. 320/ E. 311)
 Argumen-Argumen Kardinal
Sebagaimana disebutkan diatas, pandangan Kardinal ini bertumpu pada bagaimana menyelamatkan (membahagiakan) lebih banyak orang. Ajaran Kristus yang begitu sulit dianggap tidak memberikan jawaban kepada problem kemanusiaan yang dihadapi orang banyak di dalam hidup sehari-hari. Berikut Argumen-argumen penolakan Kardinal atas Yesus.
Argumen untuk Menolak Kristus
Atas nama penderitaan manusia, Kristus tidak diijinkannya kembali ke dunia ini untuk mengacau stabilitas yang telah dicapai oleh gereja. Mengapa gereja, yang direpresentasikan oleh Kardinal, menolak Kristus? Bukankah Kristus dipercaya sebagai kepala gereja? Kardinal memiliki dua alasan utama untuk menolak Kristus datang di dunia. Pertama, karena gereja telah menggantikan Kristus dalam misi melepaskan penderitaan manusia. Kedua, gereja telah mengoreksi kesalahan-kesalahan Kristus di masa lalu, dan untuk itu Ia tidak perlu lagi mengacaukan kestabilan yang telah tercipta.
            Kardinal menganggap kedatangan Kristus sebagai penambah beban kehidupan manusia. Mengapa? Karena Kristus datang dan  memberikan kebebasan yang lebih besar bagi manusia. Menurut Kardinal manusia itu lemah, bermental kawanan, dan takut menanggung kebebasan. Ia mengatakan bahwa  ”manusia itu tidak dapat hidup dengan kebebasannya karena manusia itu lemah, busuk, tidak layak, dan pemberontak.” (BK: 305.) Bagi Kardinal Kristus mungkin lupa atau tidak memahami atau tidak mau tahu kondisi manusia.
            Manusia adalah pembangkang sejati, dan karena itulah manusia menderita. Kebebasan hadir sebagai anugerah terbesar kehidupan menjadi sekaligus kutukan. Manusia takut akan kebebasannya. Ia ingin sesuatu yang tetap, konstan, dan tidak lagi mau berhadapan dengan pilihan-pilihan sebagaimana yang ditawarkan dalam kebebasan. Ia membutuhkan pemimpin yang dapat membimbingnya melalui kehidupan yang penuh derita. Oleh karena itulah, maka manusia menyerahkan diri pada institusi tertentu yang dapat mengatur kehidupan mereka dan menjadi tempat bagi mereka untuk meletakkan kebebasannya tepat di atas altar yang dijaga oleh para pemuka agama. Dalam kisah ini, institusi itu bernama Gereja.  
Kisah Pencobaan dalam Injil sebagai Referensi Kegagalan Kristus      
Penolakan Kardinal atas kedatangan Kristus didasari oleh suatu kisah yang terdapat di dalam injil. Dalam kisah tersebut dikisahkan bagaimana Iblis datang “mencobai” Kristus yang saat itu sedang berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam. Pada peristiwa itu iblis mengajukan tiga pertanyaan yang sangat penting dan merepresentasikan  keadaan kehidupan manusia. Pencobaan-pencobaan yang diajukan oleh Iblis tersebut di dalam injil adalah pertama “jika Engkau Anak Tuhan, ubahlah batu ini menjadi roti”. Kedua, Jika Engkau Anak Allah loncatlah dari menara ini karena malaikat-malaikat  Tuhan tidak akan membiarkanmu mati. Pencobaan ketiga adalah “Sembahlah aku (iblis), maka seluruh kerajan dunia akan menjadi milikmu.” Dalam tiga pencobaan tersebut termuat tiga masalah yang diangkat Kardinal dalam kehidupan manusia, yaitu: masalah pangan, masalah suara hati, dan masalah kesatuan umat manusia.
            Masalah Pangan
Salah satu masalah utama dalam kehidupan manusia adalah masalah pangan. Sejak dari dahulu, jika mengacu pada mitos penciptaan dalam Perjanjian Lama, manusia dihukum harus memenuhi kebutuhan pangannya dengan bekerja. Memang manusia tidak hidup untuk makan, tetapi makan untuk hidup. Namun makanan toh harus dicari atau diusahakan. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, disamping kebutuhan akan tempat tinggal dan pakaian tentunya. Orang bahkan dapat bertindak jahat karena kebutuhan pangannya tidak terpenuhi. Telah banyak contoh-contoh di mana orang mencuri, berbohong, mengemis, bahkan membunuh sesamanya untuk dapat makan.
            Kardinal yang adalah Sang Inkuisitor kiranya menyadari hal tersebut. Ia memberikan kebutuhan pangan bagi orang-orang yang lapar merupakan hal yang sangat penting untuk dapat memperoleh hati mereka. Ia sadar bahwa seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan kebutuhan dasar orang-orang yang dipimpinnya. Kristus di sini tidak dapat menyediakan kebutuhan pangan bagi orang-orang yang lapar. Ia hanya menjanjikan makanan surgawi, sementara yang dibutuhkan secara kongkret adalah makanan duniawi yang dapat mengenyangkan perut mereka.  Kardinal mengatakan bahwa karena telah mengabaikan kebutuhan pangan duniawi itulah maka manusia bangkit melawanNya.
Kau telah janjikan mereka makanan surgawi, tetapi kuulangi lagi, bagaimana makanan itu dapat bersaing dengan makanan duniawi di hadapan orang-orang lemah, berdosa dan tak bermartabat? Bahkan jika ada seratus atau seribu yang mampu untuk mengikutiMu dan menerima makanan surgawi, bagaimana dengan jutaan manusia lain yang begitu lemah untuk mengabaikan makanan duniawi mereka? (BK: 305)
... Dengan makanan, Kau dapat menawarkan sesuatu yang akan membuat mereka patuh padaMu dengan segenap kesetiaan: Kau memberi makan dan manusia akan membungkukkan badannya untukMu. Karena tidak ada yang lebih penting bagi mereka selain makanan. .... (BK: 306)
Kesalahan pertama Kristus pada masalah pangan ini adalah Ia menolak atau mengabaikan kebutuhan pangan manusia, Ia telah menolak mengubah batu menjadi makanan (roti). Di sini, Ia tak mampu memberikan bukti empiris bahwa Ia mampu mengubahnya. Argumen Kristus yang mengatakan bahwa manusia tidak hidup dari roti saja membuat Ia sulit dipahami dan tak dapat diikuti. Kristus justru dapat dianggap telah “melecehkan” kemanusiaan dengan menolak memberi makanan duniawi bagi manusia.
            Masalah Suara Hati
            Pada pencobaan kedua ini iblis mengajak Kristus untuk membuktikan keilahianNya. Namun Kristus sekali lagi menolak  untuk melakukan pembuktian tersebut. Penolakan ini, menurut Kardinal, berdampak pada ketidakpercayaan manusia pada keilahian Kristus. Bagaimana manusia dapat yakin jika Ia adalah anak Allah jika Ia tidak dapat memberikan pembuktian kongkret atas keilahianNya? Manusia mengikuti sesuatu berdasarkan bukti. Tanpa bukti tersebut, dapat dipastikan bahwa suatu kepercayaan akan gagal. Kardinal mengatakan:
“Kau mengacuhkannya, menolak sarannya, melawan cobaan dan tidak terjun dari menara. Oh, tentu saja tindakanMu membanggakan dan mulia; bahkan kau bertindak seperti Tuhan, tetapi dapatkah Kau mengharapkan hal yang sama terjadi pada manusia, dengan kelemahan yang mereka miliki, tak disiplin, dan keturunan terkutuk, yang bukan Tuhan? (BK: 307 – 8))
Kesalahan Kristus yang kedua ini membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki bukti konkret yang dapat membuat orang akan percaya bahwa ia adalah anak Allah. Kardinal mengatakan bahwa manusia membutuhkan pembuktian akan ke-Allah-an Kristus. Kesalahan Kristus ini, menurut Kardinal, telah membiarkan manusia untuk memilih apa yang ingin dipercayainya. Ia mengandaikan bahwa setiap manusia dapat memiliki suara hati sepertiNya. Namun, manusia lebih lemah dari yang Ia bayangkan, dan membiarkan mereka memilih dengan suara hatinya adalah keterlaluan karena mereka tidak memiliki kesadaran layaknya Kristus sendiri. Bukti tentang keilahianNya untuk tidak dapat mati juga tidak dipenuhi oleh-Nya dan dengan demikian manusia tidak dapat meyakinkan dirinya untuk mempercayai keilahian Kristus.
            Masalah Kesatuan Umat Manusia.
            Pada pencobaan ketiga, Kristus menolak kerajaan dunia yang ditawarkan oleh iblis. Kerajaan dunia ini, menurut Kardinal, merupakan satu-satunya cara untuk mengembalakan manusia. Bagaimana Kristus dapat menggembalakan manusia jika Ia menolak satu-satunya cara untuk mengorgansir manusia? Untuk membumikan suatu ajaran bagi manusia adalah dengan menerima kerajaan dunia (yang tentunya ada di bumi) lebih dahulu. Jika menolak dunia, bagaimana mau mendunia? Gereja yang dijunjung oleh Kardinal telah mengambil kesempatan yang ditawarkan iblis untuk menjadi raja dunia. Kardinal mengatakan:
“... sejak delapan abad yang lalu. Tepatnya delapan abad ketika kami menerima apa yang telah Kau tolak dengan kemarahan, pemberian terakhir yang ia tawarkan padaMu – semua kerajaan di muka bumi. Kami menerima Roma dan pedang kekaisaran darinya, dan kami memaklumatkan diri sebagai satu-satunya hukum di dunia,… Kau seharusnya menerima pedang kaisar ketika ia menawarkannya padaMu. Mengapa Kau menolak tawaran terakhirnya? Jika Engkau menerima tawaran ketiga yang diberikan oleh roh itu, kau akan dapat memenuhi kebutuhan paling mendasar dari umat manusia yaitu: kebutuhan untuk memiliki seorang yang dapat dipuja, seorang yang mampu untuk membebaskan mereka dari beban hati nurani yang mereka miliki dan akhirnya yang mampu menyatukan mereka dalam suatu harmoni di mana tak ada lagi suara-suara yang tak senada, karena haus yang tak dapat terpuaskan untuk kesatuan universal merupakan tawaran ketiga dan cobaan terakhir bagi manusia. Manusia selalu berusaha untuk mengorganisasikan diri menuju kesatuan universal... (BK: 310)
            Kesalahan ketiga Kristus adalah menolak kerajaan dunia. Jika Ia mau menerima tawaran untuk memimpin pemerintahan dunia, maka Ia akan dapat menciptakan perdamaian dunia. Jika Kristus menerima untuk memimpin dunia, maka ajaran-Nya dapat diberlakukan secara universal. Namun, karena ia menolak menjadi pemimpin, maka kesempatan-Nya untuk menjadikan dunia yang damai dan penuh cinta kasih menjadi mustahil.  Gereja telah mengambil apa yang pernah ditawarkan iblis pada Kristus. Ia menerima kekuasaan untuk menguasai dunia, dan karenanya gereja berhasil mengorganisir manusia-manusia pembangkang yang lemah secara eksistensial.
Gereja Menyelamatkan Lebih Banyak Dari Pada Kristus
          Menurut Kardinal, Kristus tidak sepenuhnya gagal dalam misinya. Terdapat orang-orang, yang dengan kebebasannya, berhasil memahami ajaran Kristus dan memilih untuk mengikutiNya. Tetapi berapakah jumlah mereka? Jumlah yang sangat sedikit diabandingkan dengan mereka yang gagal, karena kelemahannya tidak mengerti apa yang ditawarkan oleh Kristus. Mereka yang tidak memahami apa yang ditawarkan Kristus kemudian ditampung oleh gereja. Melalui gereja mereka mempunyai “pegangan” untuk dapat melalui hidup. Kardinal mengatakan:
”Ingatlah, bahwa jumlah mereka hanya sedikit dan mereka lebih merupakan dewa dari pada manusia. Lantas bagaimana dengan sisanya? Mengapa yang lain, mereka yang lemah, menderita karena mereka tidak dapat bertahan seperti mereka yang kuat dapat melalui rintangan tersebut? ... Benarkah bahwa Kau datang hanya untuk memilih sedikit orang dari mereka semua? .... Katakan padaku, salahkah kami memberitakan dan bertindak seperti yang telah kami lakukan? Tidakkah itu merupakan cinta kami pada umat manusia yang membuat kami dapat menerima ide dari ketidakmampuan mereka, bahkan memaklumkan kelemahan mereka untuk berdosa? (BK: 309)
            Dari pernyataan-pernyataan di atas, jelaslah bahwa cinta kasih Kristus, bagi Kardinal, tidak dapat menjangkau semua manusia. Ajarannya hanya dimengerti dan diikuti oleh orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan seluruh manusia dunia ini. Lebih jauh, bagaimana Ia dapat memenangkan jiwa-jiwa mereka yang tidak mengerti maksud dari ucapan dan tindakkanNya? PenyelamatanNya menjadi absurd. Menurut Kardinal, mereka yang mampu mengikuti Kristus adalah pribadi-pribadi yang egoistik karena mengabaikan mereka yang lemah. Kardinal mengatakan bahwa “… mereka yang bersama-sama denganMu hanya akan menyelamatkan diri sendiri sementara kami akan menyelamatkan seluruh umat manusia.” (BK: 313)
Kisah Sang Inkuisitor dalam Perspektif Utilitaris
Argumen-argumen kardinal dalam kisah Sang Inkuisitor dapat ditelaah melalui kacamata aliran utilitaris. Mengapa? Pertama, dari sisi historis, Dostoevsky memang menyerang pandangan kaum utilitaris yang saat itu berkembang di Rusia lewat pemikiran-pemikiran sosialisme. Chernyshevsky seorang utilitaris, yang juga masyur sebagai seorang revolusioner abad 19, merupakan titik serangan argumen-argumen Dostoevsky. Chernyshevsky sendiri dipengaruhi oleh pandangan-pandangan J. S. Mill, bahkan ia menerjemahkan karya-karya Mill dan juga ulasan tentangnya.[2] Kedua, Argumen-argumen Sang Inkuisitor mengenai penyelamatan bagi lebih banyak orang itu begitu lekat dengan diktum utilitaris sendiri yaitu kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang paling besar. Dengan demikian, kita dapat melihat relasi setiap ungkapan Sang Inkuisitor dengan pandangan aliran utilitaris.

Karena kedekatan Mill dengan sejarah pemikiran Rusia, maka saya akan mengambil argumen-argumen yang berasal dari dirinya untuk menganalisa Sang Inkuisitor. Secara garis besar, pemikiran Mill menekankan pentingnya manfaat dari suatu tindakkan. Dengan kata lain, tujuan memperoleh status yang sangat penting dari tindakan manusia. Apakah tujuan dari manusia itu sendiri? Dalam konsepsi utilitarian, tujuan manusia adalah memperoleh kenikmatan. Mill mengatakan:
“Credo yang diterima sebagai dasar moral utiliti, atau kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang paling besar, adalah tindakan itu benar jika ia mengusahakan kebahagiaan. Tindakan adalah salah jika ia membawa dampak sebaliknya dari kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan yang dimaksud di sini adalah kenikmatan (pleasure); dan juga ketiadaan rasa sakit (pain).[3]

Dari pernyataan di atas dapat dilihat bagaimana tindakan itu baik atau buruk tergantung pada apakah tindakan itu mendatangkan kebahagiaan/kenikmatan atau sebaliknya. Setiap manusia, dapat dipastikan, menginginkan kebahagiaan. Namun demikian bagaimana kita dapat tahu bahwa apa yang membahagiakan bagi kita juga merupakan hal yang membahagiakan orang lain? Bukankah dapat terjadi hal yang membahagiakan bagi kita justru mencedrai orang lain? Di sini Mill membagi dua jenis kepentingan dalam diri manusia, yaitu: kepentingan yang mementingkan diri (selfish interest) dan kepentingan yang tak mementingkan diri (unselfish interst). Yang pertama bertindak dengan berorientasi ke masa lalu, sementara yang kedua selalu memperhitungkan dampak yang akan terjadi di masa depan.[4] Tentu saja kepentingan diri yang baik adalah yang memperhitungkan segala dampak yang dapat terjadi di masa depan. Kepentingan diri bagi tiap orang ini berbeda-beda. Namun demikian, secara umum konsepsi kepentingan diri menurut Mill adalah cara memproteksi diri manusia, di mana di dalam melakukan hal tersebut ia harus memperhitungkan dampak-dampak yang mungkin terjadi dan sebisa mungkin untuk tidak mencederai orang lain.[5]

Dalam kisah Sang Inkuisitor, dapat dilihat bagaimana sang Kardinal memiliki pertimbangan tertentu untuk “menyelamatkan” umat manusia dalam hidup yang menyedihkan. Mereka tidak dapat masuk ke dalam arus “orang-orang utama” yang dapat memahami dan melakukan apa yang diajarkan oleh Kristus. Dikatakan pada awal tulisan ini mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga tidak sanggup menjadi “orang-orang utama”. Atas dasar kecintaan pada umat manusia, Kardinal beserta Gereja lantas “menggembalakan” mereka, kaum manusia biasa itu. (lih. kutipan BK: 309) Banyak orang menjadi bahagia (dan mungkin juga memiliki pengharapan), meski mereka adalah orang-orang lemah. Dari kacamata utilitaris pandangan Kardinal dengan Gereja itu adalah baik adanya. Mereka “menyelamatkan” umat manusia lebih banyak dari pada Kristus.

Gereja pun telah mengambil alih tugas Kristus sebagai pemimpin umat manusia. Mengapa bisa begitu? Pertama, ajaran Kristus itu tidak bisa diikuti. Kedua, manusia harus memiliki panduan untuk dapat diacu. Sebab manusia itu pada dasarnya takut akan kebebasan. Kebebasan membuat ia melayang dan tidak memiliki pijakan. Dalam pandangan Mill:

“... tinggal di dalam masyarakat membuat tak terhidari bahwa setiap orang harus melihat ke arah panduan. Panduan yang pertama adalah tidak merugikan kepentingan orang lain; kedua adalah setiap orang saling berbagi kerja dan mengorbankan apa yang ia dapat untuk kelangsungan masyarakat atau pun anggota-anggotanya dari  ketidakadilan dan penganiyayaan.”[6]

Panduan seperti yang dimaksud di dalam kutipan di atas, dalam kisah Sang Inkuisitor, disediakan oleh Gereja. Gereja adalah otoritas tertinggi dalam memberikan panduan hidup manusia-manusia lemah itu. Selain itu, tidak seperti gagasan Hobbes yang mengharuskan manusia menyerahkan kedaulatan personalnya, dalam kisah Sang Inkuisitor manusia-manusia itu sendiri yang rela memberikan kedaulatannya tanpa paksaan kepada Gereja. Di sini teori kontrak tidak berlaku. Dengan demikian, ini sesuai dengan apa yang digagas oleh Mill bahwa “... masyarakat tidak didirikan berdasarkan kontrak,...[7]
Dari apa yang tertuang di dalam di dalam kisah Sang Inkuisitor, terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kardinal dan Gereja lebih baik dari apa yang dilakukan oleh Kristus. Tetapi, apakah benar bahwa apa yang dilakukan Kristus hanya akan menyelamatkan sedikit orang saja, dan apakah yang sedikit itu adalah mereka yang egois karena tidak berdampak pada orang lain sebagaimana Kardinal melihatnya? Saya akan melanjutkan pembahasan ini dengan mengangkat gagasan Dostoevsky sang penulis kisah itu.

Sang Inkuisitor dan Dostoevsky
Sang Inkuisitor bersama dengan Gerejanya merupakan perwujudan tanggung jawab manusia setelah Tuhan tidak lagi berfungsi untuk menjawab problem kemanusiaan. Penolakan Kristus oleh Kardinal dapat dilihat sebagai penolakan terhadap campur tangan Ilahi di dalam kehidupan manusia. Tuhan telah gagal menyelamatkan umat manusia dari penderitaan. Oleh karena itu Ia tidak perlu datang lagi untuk mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Gereja telah mengambil alih dan mengoreksi apa yang dahulu gagal dilakukan oleh Kristus.
Apa yang menjadi argumen Sang Inkuisitor tidak dapat diidentikan dengan pandangan Dostoevsky mengenai problem yang tengah kita bahas ini. Kardinal bukanlah Dostoevsky, meskipun ia adalah figur yang diciptakan di dalam novelnya, Karamazov Bersaudara. Dostoevsky justru memiliki pandangan yang berbeda dari kedua tokoh tersebut.  Berikut adalah Pandangan Dostoevsky
Penderitaan merupakan pembebas
Yang menarik dari pandangan Dostoevsky adalah ia menempatkan penderitaan sebagai jalan bagi penemuan eksistensi diri. Melalui penderitaan manusia langsung berhadapan dengan beragam pilihan eksistensial untuk dirinya. Pilihan (vybor) dengan pertimbangan kesadaran suara hati ( soznanie) kemudian yang menentukan eksistensi manusia. Melalui tindakkan memilih kebebasan hadir sebagai perwujudan eksistensi. Kristus memberikan kebebasan bagi Suara hati manusia untuk mengikutinya tau tidak. Meski bagi Kardinal ini merupakan kesalahan, bagi Dostoevsky hal ini tidak dapat disalahkan. Kristus mengajarkan untuk mencintai seluruh umat manusia dan ini berarti kebebasan pilihan dalam bertindak tidak boleh bersifat tertutup, atau egoistis (svoevolie). Kesadaran memilih harus dilakukan atas dasar cinta kasih dan rasa sepenanggungan atas penderitaan yang dialami oleh manusia. Dengan demikian, bereksistensi  adalah bergumul bersama mengatasi penderitaan.
            Jika demikian, bukankah sama dengan Sang Inkuisitor yang memiliki empati kepada manusia yang menderita, dan berusaha untuk mengatasi penderitaan tersebut? Memang benar, bahwa Sang Inkuisitor berempati dan merasa terpanggil untuk mengatasi penderitaan manusia. Namun, bagi Dostoevsky, cara Kardinal untuk mengatasi penderitan manusia tidak akan pernah membebaskan manusia dari penderitaan. Mengapa? Karena apa yang mereka lakukan justru membuat manusia menjadi tidak sadar akan adanya pilihan-pilihan di dalam hidupnya.
Apa yang dilakukan oleh Kardinal dilihat Dostoevsky sebagai sebuah deifikasi terhadap manusia. Deifikasi sendiri sebenarnya berasal dari kata apotheoō (ποθεόω) yang berarti menjadi ilahi. Secara teologis apotheoō atau deifikasi dapat dipahami sebagai peninggian level manusia menjadi serupa dengan yang ilahi. Deifikasi dipahami sebagai manusia menjadi tuhan dan berhak menentukan apa saja yang dianggap layak dilakukan oleh dirinya. Bagi Dostoevsky, yang harus dilakukan bukanlah dengan deifikasi melainkan dengan kenosis (κένωσις = pengosongan diri) penderitaan dapat diatasi. Kisah tentang kenosis terdapat di dalam Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi 2:7, yang mengatakan “Kristus telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.
            Dostoevsky percaya bahwa jika seseorang melakukan pengosongan diri, seperti yang dilakukan Kristus bagi manusia, ia tidak lagi menganggap diri lebih tinggi atau lebih sadar dari manusia-manusia lain. Pandangan Dostoevsky ini direpresentasikan melalui ajaran tokoh Pastor Zosima, ia mengatakan: “Cintailah sesamamu, cintailah umat Tuhan,... Kita tidak lebih suci dari mereka.” (BK: 196) Dengan tindakan pengosongan diri, seluruh umat manusia adalah sama dan sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih sadar, dan tidak ada yang perlu untuk mengembalakan orang-orang yang dianggap lemah. Dengan demikian, Dostoevsky menggagas perlunya kenosis sebagai jalan untuk mengatasi penderitaan manusia.
Bukan Dalam Institusi Melainkan Dengan Cinta Kasih
             Cintakasih merupakan jawaban Dostoevsky untuk masalah penderitaan manusia.[8] Dengan cinta kasih manusia akan benar-benar menjadi tujuan bagi tindakan seseorang karena dengan cinta kasih manusia akan dimampukan untuk bersikap adil terhadap sesamanya.[9] Dengan demikian tidak ada lagi penindasan dan ketidakadilan yang menjadi penyebab penderitaan manusia. Ia mengatakan bahwa dengan cintakasih “manusia akan menjadi suci dan [lebih] saling mencintai satu sama lain, tidak akan ada yang menjadi kaya atau miskin, tidak ada yang kuat atau lemah, semua akan menjadi anak-anak Allah”.[10] Pandangan Dostoevsky tentang cinta kasih ini adalah cinta yang aktif (delatel’naya lyobov).           
Bagaimanakah cinta kasih Kristus digambarkan dalam kisah Sang Inkuisitor? Bukankah Kristus hanya diam saja? Memang, ketika Kardinal memenjarakan dan mengancam akan membakarNya, Kristus hanya diam. Ia tidak menggugat balik sang Inkuisitor yang menolak kedatanganNya, menolak mujizat-mujizat yang dilakukanNya, dan merendahkan kuasaNya. Kristus diam dan hanya tersenyum. Satu-satunya  respon Kristus terhadap Sang Inkuisitor adalah ciuman yang membara dihati pemimpin gereja tersebut. Apakah Kristus tidak mampu menunjukan kuasaNya pada Sang Inkuisitor? Mengapa Ia tidak menjawab argumen-argumen yang menentangNya? Apa maksud dari ciumanNya? Ke-diam-an, senyum, dan ciuman tersebut kiranya mengatakan: Penalarannmu memang tajam, tetapi cintaku lebih kuat.
Penutup
Dalam kaitannya dengan kepentingan diri, apakah yang dapat kita petik dari kisah Sang Inkuisitor ini? Pertama, penderitaan manusia haruslah diatasi. Orang lain menjadi paradigma yang menentukan suatu tindakan yang akan diambil. kedua, kita dapat melihat paradigma kepentingan diri yang dipakai, baik itu Kardinal maupun Kristus dan Dostoevsky adalah altruisme.
Pemikiran utilitarian memang memiliki rujukan pada orang lain, dengan kata lain adalah altruis. Dari kisah Sang Inkuisitor terkuak bagaimana konsep altruisme utilitaris antara Kardinal dengan Kristus; sesuatu yang dapat diterapkan (gagasan Kardinal) berhadapan dengan keutamaan (Kristus). Dari sisi kongkret dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan Kardinal itu baik karena memang bermanfaat bagi banyak orang. Namun gagasan Dostoevsky mengenai Kristus sendiri kiranya tidak dapat dianggap remeh. Ajaran mengenai cinta kasih kiranya dapat menjadi dasar bagi utilitarianisme sendiri. Ajaran Kristus tidak serta merta hanyalah ajaran utama yang hanya dapat menyelamatkan sedikit orang saja. Justru sebaliknya, ”orang-orang utama” memiliki tugas untuk memberikan pencerahan  pada banyak orang. Jadi tidk seperti Kardinal yang memimpin orang-orang lain yang lemah, orang-orang utama dalam pandangan Dostoevsky dan juga Kristus justru menjadi pelayan bagi orang-orang yang lemah.

 1] Chto, batyushka, chest, kagda nechego est/ Apa itu kehormatan kawan,  jika tidak ada yang dapat dimakan?

* Catatan kaki dan daftar pustaka tidak diberikan untuk meminimalisir hal-hal yang tidak berkenan dikemudian hari. Bagi yang berminat membaca versi lengkap silakan menghubungi penulis.