Karya sastra sering kali dianggap sebagai hiburan atau
pengisi waktu luang. Kegiatan sastra
sendiri lebih dipandang sebagai kegiatan komersil yang berorientasi pada kapital
belaka. Karya politik, filsafat, ekonomi, sosiologi, dan lain-lain dianggap
sebagai karya yang lebih serius dibanding dengan karya sastra. ”Belajarlah serius, jangan terlalu banyak
baca buku cerita (novel, cerpen atau karya sastra yang lain), nanti tak tajam
otakmu!” begitulah kira-kira tanggapan masyarakat mengenai orang yang gemar
akan karya sastra.
Anggapan akan kedangkalan suatu
karya sastra tentu tidak akan terlihat dalam tradisi sastra Rusia. Sastra di
sana digandrungi tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan melainkan juga para
pemikir serius, seperti filsuf dan politisi. Orang-orang seperti Lenin gemar
membaca sastra, seperti karya-karya dari Chernyshevsky. Dan filsuf seperti
Berdyaev membaca karya-karya Dostoevsky. Singkatnya karya sastra tidak menjadi
sesuatu yang ”murahan” di Rusia, karena di dalam karya sastra mereka terdapat
begitu banyak perenungan filosofis untuk selalu direnungkan dan dipikirkan.
Sebaliknya, sastrawan Rusia pun
memiliki kepekaan filosofis yang tertuang di dalam karya-karya mereka.
Chernyshevsky misalnya, ia adalah seorang pemikir yang genuine. Karya estetikanya merupakan perlawanan terhadap konsep
estetika Hegel dan para hegelian, yang saat itu menjadi trend dikalangan para intelektual dunia. Begitu juga dengan Dostoevsky,
Karya-karya sastranya merupakan perlawanan terhadap konsep manusia yang
mekanistis, yang merupakan hasil dari modernisasi ala Barat. Singkatnya, mereka
tidak hanya sastrawan, melainkan juga pemikir yang konsisten dengan
gagasan-gagasan yang dianutnya.
Merupakan hal yang menarik untuk
melihat kedua sastrawan besar Rusia di abad 19, yaitu F. M. Dostoevsky dan N.
G. Chernyshevsky. Keduanya menyampaikan gagasan-gagasan yang cemerlang, provokatif,
politis dan sekaligus filosofis melalui karya-karya sastranya. Mengapa dua
tokoh ini penting untuk diangkat dan dibahas bersama? Jawabannya adalah karena pertama kedua tokoh ini hidup di masa
yang sama. Kedua, kedua tokoh ini
merupakan rival dari polemik budaya yang terjadi di Rusia pada abad 19. Ketiga, baik Dostoevsky dan
Chernyshevky, memiliki pandangan yang khas mengenai apa yang harus dilakukan
untuk kemajuan dan kemakmuraan bangsa Rusia.
Latar Belakang Sosial Politik Rusia Abad 19
Apa
yang digumuli oleh Dostoevsky dan Chernyshevsky di Rusia pada abad 19 tidak
dapat dilepaskan dari reformasi[1]
yang pernah dicanangkan oleh Tsar Peter Agung (1672-1725) pada abad XVII. Saat
itu, Tsar Peter mengirimkan siswa-siswa unggulan untuk belajar di luar negeri
dengan tujuan agar dapat menyerap sains dan teknologi yang sedang berkembang di
Eropa (Barat) dan membawanya ke Russia.[2]
Gema dari reformasi tersebut tidak hanya berhenti pada masa pemerintahan Tsar
Peter Agung melainkan tetap dilanjutkan oleh Tsar-Tsar lain setelah ia wafat.[3]
Namun
demikian, reformasi tersebut belum cukup untuk menyejahterakan rakyat Russia.
Secara ekonomis mayoritas dari mereka tetap hidup ‘pas-pasan’. Dan secara
intelektual, saat itu masih banyak orang yang buta huruf. Jadi apa yang
dicanangkan oleh pemerintah dengan reformasinya tidaklah berdampak kuat pada
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Reformasi hanya menyenangkan kaum atas
saja dan rakyat biasa hanya menjadi “pelengkap penderita”. Situasi demikian
membuat banyak intelektual merasa
terpanggil untuk memikirkan ketidakadilan yang terjadi. Mereka kecewa terhadap
apa yang menimpa bangsanya dan berusaha untuk merumuskan yang terbaik untuk
semua. Situasi kekecewan tersebut kiranya yang dalam pandangan Berdyaev menjadi
sumber bagi para penulis Russia untuk berkarya.[4]
Pada
abad XIX, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap
pemerintah feodal saat itu. Sekitar tahun 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan
pemuda yang mencoba mengeritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky,
Turgenev, Bakunin dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal-bakal dari gerakan
yang disebut ‘Intelegensia’. Intelegensia sendiri merupakan istilah khas Rusia yang timbul pada masa
itu. Istilah ini tidak sama artinya dengan intelektual, intelegensia lebih
bernuansa “propetik”. Setiap intelegensia beranggapan bahwa mereka memiliki
ikatan yang sama, yakin bahwa mereka memiliki tugas khusus untuk “mewartakan”
pembaruan sosial. Tugas
mereka laksana seorang pendeta atau pastor namun dalam bentuk sekular.[5]
Ikatan tersebut kiranya melebihi ide pemikiran yang mereka miliki (anut)
masing-masing. Karena kegigihan mereka memperjuangkan ide-ide kemasyarakatan, mereka
bahkan dikenal sebagai sebuah “kelas” yang siap untuk dipenjara, menjalani
kerja paksa bahkan kematian sebagai upah dari pemikiran mereka.[6]
Wacana
yang begitu diminati oleh para intelegensia saat itu adalah bagaimana menemukan
bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya
ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi salah satu tema pemikiran
mereka. Di sini, usaha untuk merumuskan identitas bangsa Rusia giat dilakukan
oleh para intelegensia. Selain itu, mereka juga mencari alternatif sistem
sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan agar dapat
membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Pencarian
akan kerusiaan orang Rusia kemudian menimbulkan sebuah polemik kebudayaan di
antara mereka. Perlu diingat bahwa intelegensia bukanlah golongan homogen,
malainkan terbagi menjadi dua kelompok, yang satu adalah kelompok yang
menginginkan pengadopsian pola-pola Eropa Barat untuk kemajuan bangsa Rusia,
yang disebut Zapadniki
(westernizer);
sedangkan yang lain adalah kelompok yang menginginkan Rusia untuk kembali ke
akar budayanya sendiri, yaitu kelompok Slavophil.
Dua kelompok ini sebenarnya menginginkan hal yang sama, yaitu pembaharuan dan
kemajuan bangsa Rusia. Orang-orang Zapadniki beranggapan bahwa jika Rusia ingin
maju, maka ia harus mencontoh apa yang terjadi di Eropa Barat. Seperti
diketahui, bahwa bangsa Barat dengan rasionalitas yang mereka miliki telah mengalami
kemajuan yang pesat dibidang ilmu-ilmu, terlebih pada ilmu alam. Kaum zapaniki
beranggapan bahwa masa depan Rusia hanya dapat dituju dengan mengikuti apa yang
terjadi di belahan Eropa Barat. Sementara itu, kaum slavophil percaya bahwa untuk mencapai
kemajuan bangsa Rusia harus kembali pada tradisi di mana gereja ortodoks
menduduki tempat yang utama. Mereka percaya bahwa melalui ortodoksi yang mereka
miliki, mereka dapat sebanding atau tidak kalah dengan bangsa-bangsa Eropa Barat. Meskipun pilihan
idiologis mereka berbeda, tetapi terdapat benang merah yang serupa dari
pemikiran-pemikiran kedua kelompok tersebut. Hal yang menyatukan mereka adalah
sosialisme (yang dapat berbentuk sekular atau religius).
Sosialisme
merupakan idiologi profetik di dalam kehidupan manusia modern. Sosialisme
merupakan suatu doktrin yang mengagas kebersamaan sebagai panji utamanya.
Kebersamaan ini diwujudkan dengan tiadanya kepemilikan dan keuntugan pribadi.
Semua hal yang diusahakan manusia haruslah untuk tujuan bersama dan milik
bersama pula karena kepemilikan pribadi dapat menimbulkan penindasan dan
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Dengan tiadanya kepemilikan secara
pribadi sosialisme percaya dapat membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih
baik dan tanpa penindasan karena setiap orang akan menjadi saudara.
Sosialisme
sendiri hadir di Russia dalam tiga bentuk. Pertama, sosialisme utopis, yang beranggapan bahwa pembaharuan sosial
hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan.[7]
Kedua adalah sosialisme Narodnik[8]
yang percaya bahwa pembaharuan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan
yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur
pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire
yang menghisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah
pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah.[9]
Ketiga adalah sosialisme ilmiah
atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis. Bentuk pemikiran seperti
sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut sosialisme ketiga ini
secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan Tsar di abad
19, dan reformasi yang pernah dicanangkan oleh Tsar Peter Agung.[10]
Chernyshevsky
adalah seorang zapadniki (westernaizer). Ia percaya bahwa perubahan dapat
terjadi jika cara kerja ilmu-ilmu alam diterapkan pada sistem sosial. Ia
percaya bahwa hanya ilmu alam yang dapat mempertahankan objektivitasnya. Dengan
ilmu alam yang rasional itu, bangsa Rusia akan sanggup untuk mencapai
tujuannya, yaitu kesejahteran bagi seluruh rakyat. Melalui tulisan dan
tindakannya, Chernyshevsky ingin mendidik rakyat Rusia untuk melaksanakan tugas termulia: berbakti
pada rakyat dengan jalan melaksanakan revolusi sosialis.[11]
Pengaruhnya begitu kuat bagi gerakan-gerakan revolusioner Russia pada saat itu.
Mulai dari tokoh-tokoh Nachaev, seorang nihilis[12],
hingga Lenin dipengaruhi oleh pemikiran Chernyshevsky. Lenin bahkan mengadopsi
judul novelnya yang berjudul ‘What is to be Done?’[13]
untuk judul traktat politiknya. Keberadaannya di Russia dapat dikatakan sebagai
santo sekular.[14]
Sementara itu, Dostoevsky
sebagai seorang Slavophil beranggapan bahwa Rusia tidak perlu mengikuti (apa
lagi mengimitasi) bangsa-bangsa Barat. Rusia memiliki keutamaan dan
identitasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat. Keutamaan dan identitas Rusia
yang luhur itu terdapat di dalam
tradisi, di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama. Ortodoks (prasvo-slavie – bhs. Rusia) berarti kepercayaan yang murni. Ortodoksi
yang mereka miliki tersebut sebanding atau tidak kalah dengan modernitas yang
dimiliki bangsa-bangsa Eropa Barat. Dengan kembali kepada akar budaya, mereka
yakin bahwa Rusia akan memperoleh kembali kejayaan mereka. Dostoesvky sebagai
seorang Slavophil pernah mengatakan bahwa:
“Keselamatan kita (Rusia – HS) berada pada tanah dan rakyat”.[15]
Realisme Sebagai Landasan
Baik Dostoevsky
maupun Chernyshevsky menggunakan faham realisme di dalam karya-kaya mereka.
Realisme sendiri di dalam ranah pemikiran (secara umum) berarti suatu usaha untuk
melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Maksudnya adalah menerima
fenomen-fenomen seperti benda-benda atau pikiran sebagaimana adanya, tanpa
idealisasi dan spekulasi.
Di dalam realisme, fenomen-fenomen
“dilihat” sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, lepas dari gagasan-gagasan (seperti
idealisasi atau spekulasi) yang dimiiki oleh manusia. Jadi jika ada sebuah
meja, maka meja itu ada secara tersendiri. Meja bukanlah suatu yang eksis di
dalam pikiran belaka, seperti yang bayangkan oleh pada penganut idealisme. Meja
itu ada, dan tetap ada tanpa perlu kehadiran seseorang untuk mempersepsikannya.
Lebih lanjut, seperti layaknya meja, dunia juga merupakan fenomen yang berdiri
sendiri. Dunia itu ada secara kongkret dan bukan dalam persepsi manusia. Jika
dunia itu hanya ada di dalam persepsi seseorang, maka ketika orang itu
meninggal, maka dunia itu ikut mati bersamanya. Tetapi kenyataannya tidak.
Dunia tetap ada walaupun orang yang mempersepsikannya telah tiada. Pendapat ini
tentu masih dapat dipertanyakan. Bukankah manusia di dalam dunia juga mendunia?
Maksudnya bukankah manusia juga membentuk dunianya sendiri, seperti dunia
bisnis, dunia olah raga, dunia pemikiran, dan lain-lain. Tetapi bukan dunia
seperti itu yang dimaksudkan di dalam realisme. Dunia seperti yang tadi
disebutkan merupakan dunia kedua yang dikonstruksi oleh manusia. Dunia yang dimaksud
dalam realisme adalah dunia yang juga di sebut bumi dalam arti yang khusus.
Jadi bukan dunia yang terdapat di dalam dan dikonstruksi oleh manusia sendiri.
Di dalam ranah seni,
realisma muncul sebagai perlawanan terhadap dua arus pemikiran, yaitu idealisme
dan romantisisme. Idealisme adalah pemikiran yang dingin, abstrak dan melulu
teoritis, sehingga tidak menjejak lagi di dalam kenyataan kongkret. Sementara
romantisime adalah gerakan yang telah memisahkan seniman dan juga karya seni
dari akarnya, yaitu masyarakat. Semboyan Romantik yang mengatakan l’art pour l’art merupakan jargon yang
memuakkan dalam pandangan realisme. Mengapa? Karena l’art pour l’art itu absurd. Tidak ada seni yang dapat berdiri
sendiri tanpa ada manusia dan masyarakat yang menjadi dasarnya. Bagi faham
realisme, seni itu haruslah berasal dari manusia dan masyarakat, dan haruslah
bagi masyarakat.
Jika dirunut lebih jauh,
faham realis dalam seni sebenarnya dapat ditelusuri dari pandangan August Comte
(1798-1857). Comte mengatakan bahwa pengalaman akan keindahan dan seluruh
bidang kesenian tidak bisa merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Sebaliknya,
seni harus lahir dari masyarakat dan demi masyarakat pula.[16]
Pandangan tentang seni ini kemudian dilanjutkan pula oleh pemikir-pemikir lain
seperti Hyppolyte-Adolphe Taine (1828-1893), Charles Fourier ( 1772-1837),
Pierre Joseph Proudhon (1809-1865), dan lain-lain. Dua tokoh terakhir merupakan
tokoh yang memiliki pengaruh kuat terhadap intelektual Rusia abad 19.
Dasar dari metode
realisme dalam seni, secara sederhana,
adalah analisa sosial, yaitu studi dan penggambaran manusia di dalam
masyarakat. Realisme tidak seperti faham-faham lain (idealisme maupun
romantisisme) yang mengisolasi manusia dari latar belakang sosial yang
dihidupinya. Sebaliknya, realisme mengungkapkan apa yang ada di dalam
masyarakat dan menyodorkan kembali kepada masyarakat agar mereka menyadari
situasi tersebut.[17]
Hal tersebut kiranya nampak dalam karya-karya sastra realis. Di dalam karya
sastra realis dapat dijumpai gambaran-gambaran kongkret mengenai situasi sosial
yang tertuang dan menjadi latar belakang yang dihidupi oleh tokoh-tokoh di
dalam karya tersebut.
Chernyshevsky dan
Dostoevsky adalah orang-orang realis. Di dalam karya-karya mereka dapat
ditemukan gambaran-gambaran kehidupan serta kepelikan yang terdapat di
dalamnya. Lebih lanjut, Chernyshevsky sendiri memandang seni sebagai sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan alam ini karena seni merupakan
reproduksi dari keindahan yang terdapat di dalam kehidupan dam alam itu
sendiri. Sebagai sesuatu yang hadir dan eksis di kehidupan, seni juga memiliki
fungsi moral, yaitu seni harus membuat orang semakin menyadari kemanusiaan yang
dimiliki dan dihidupinya. Maksudnya adalah selain mengangkat realitas yang ada
di tengah-tengah masyarakat, seni juga harus menggugah masyarakat untuk
meyadari realitas hidupnya. Dengan mengguangkapkan realitas kehidupan dan apa
yang penting di dalam kehidupan manusia dan alam, bagi Chernyshevsky, seni
telah menjalakan fungsi moralnya.[18]
Pentingnya seni di dalam kehidupan manusia, maka seperti juga ilmu-ilmu alam,
menurutnya, seni haruslah terbuka atau dapat diakses secara masal.[19]
Seperti para realis lainnya, Dostoevsky
menolak l’art pour l’art. Baginya
seni adalah ekspresi kreativitas manusia. Seniman, pencipta karya seni, adalah
manusia yang hidup di sini dan kini, dan seni sebagai karya adalah hasil dari
pengungkapan kehidupan itu sendiri. Seni tidak dapat dilepaskan dari kehidupan.[20]
Sepintas, pandangan Dostoevsky dan Chernyshevsky mengenai seni nampak serupa,
namun demikian dua tokoh ini berbeda di dalam memandang fungsi dari seni. Jika
pada Chernyshevsky seni dipandang sebagai alat untuk menyadarkan manusia akan
kemanusiaan dan realitas hidupnya serta bertujuan untuk mengubah masyarakat,
pada Dostoevsky manfaat seni tidak dipahami demikian. Manfaat seni baginya
adalah keindahan itu sendiri. Seni menjalankan fungsinya jika seni dibiarkan
bebas dan menjadi dirinya sendiri ketimbang dipaksakan untuk suatu
tujuan-tujuan politik (yang menjadi tujuan dari realisme sosialis). Menurutnya, manfaat seni, dalam kaitannya
dengan kebutuhan manusia, adalah keindahan dirinya. Keindahan seni bermanfaat
karena ia indah.[21] Dari
pendapatnya tersebut, apakah kemudian Dostoevsky jatuh ke dalam romantisisme
yang digugat para realis? Jawabannya tidak. Di dalam novel-novelnya dapat
ditemukan bahwa ia konsisten dengan realisme. Ia bahkan tidak menolak tema-tema
sosial yang menjadi latar belakang dari karya-karya sastra. Namun demikian,
yang menjadi maksud darinya adalah ia menolak jika usaha kreatif seniman dalam
menulis dibatasi oleh tuntutan-tuntutan di luar kreativitas itu senidiri. Ia
menolak jika tujuan karya sastra hanya direduksi menjadi pelayan bagi
kepentingan-kepentingan nonestetik, sepeti tujuan politik.[22]
Perbedaan mengenai manfaat seni
dalam pandangan kedua tokoh ini mungkin menarik untuk dikaji secara lebih
mendalam, tetapi di dalam tulisan ini saya tidak akan membahasnya secara lebih
lanjut. Yang akan kita gumuli bersama di dalam tulisan ini adalah bagaimana
mereka menggambarkan realitas yang ada di zamannya dan bagaimana mereka melihat
apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Rusia.
Sto Delat? Versus Zapiski iz Podpol’ya
Gambaran akan kondisi Rusia di abad 19 dan apa yang harus diperbuat oleh
bangsa itu, kiranya tertuang di dalam karya dua sastrawan besar ini. Situasi
ambigu yang lahir dari ketegangan antara modernitas dan tradisi, antara kaum
zapadniki dan slavophil kiranya tercermin jelas di dalam novel Chernyshevsky
dan Dostoevsky.
Novel Sto Delat?
atau ‘Apa Yang Harus Dilakukan?’ merupakan novel yang ditulis Chernyshevsky di
Siberia tahun 1862, ketika ia menjalani hukuman akibat aktivitas politiknya.
Sebagaimana diketahui bahwa Dalam peta pemikira Rusia, Chernyshevsky tidak
hanya dikenal sebagai seorang pemikir dan sastrawan. Ia juga dikenal sebagai
seorang yang melakukan apa yang digaungkan dalam tulisan-tulisannya. Dapat
dikatakan bahwa teori dan praksis adalah kesatuan di dalam kehidupan
Chernyshevsky.
Semangat revolusioner merasuk pada diri Chernyshevsky ketika
ia kuliah di universitas St. Petersburg. Dengan membaca karya-karya pemikir
sosialis dunia seperti Fourier, Proudon, Robert Owen, dan lain-lain, ia mulai
memahami bahwa dalam kehidupan berbangsa tidak boleh ada satu kelas yang
menindas kelas lainnya. Berbekal pemikiran tokoh-tokoh sosialis, ia melihat
bahwa Rusia adalah contoh kongkret adanya penindasan suatu kelas terhadap kelas
lainnya, yaitu kelas borjuis (juga feodal) terhadap kelas petani. Baginya jalan damai tidak akan berhasil untuk
menumbangkan kelas penghisap darah rakyat, harus dengan revolusi-lah petani dan
rakyat tertindas akan memperoleh kebebasannya.
Keyakinan
bahwa harus ada revolusi dibuktikannya dengan keluarnya ia dari dunia akademik
tempatnya mengajar, dan memulai aktivitas politiknya dengan menceburkan diri
dalam bidang sastra dan jurnalis di St. Petersburg tahun 1853. Ia membantu dua majalah yang kiri Otechestvenniya Zapiski (Catatan Tanah
Air) dan Sovremennyik (Orang
Sejaman). Melalui dua majalah tersebut gagasan-gagasannya mengenai revolusi
sosialis mengalir dan membakar semangat para pembacanya.
Di tahun 1860-an Chernyshevsky ikut aktif
berperan dalam kelompok pochva i
svoboda (tanah dan kebebasan). Lebih dari itu, ia juga memproklamasikan
perlawanan terhadap Tsar. Proklamasi tersebut ditujukan bagi para Barskim krestyanam (petani tanpa tanah
atau petani budak). Dalam proklamasi tersebut, ia menganjurkan adanya sebuah
revolusi sebagai jalan bagi terciptanya kesamaan harkat dan derajat bagi para
petani dan para petani diminta untuk bersatu dan menyiapkan senjata untuk
kepentingan revolusi. Selain itu, ia juga meminta petani untuk lebih
mendekatkan diri dan bersahabat dengan para tentara.
Chernyshevsky
dijebloskan ke dalam penjara pada tahun 1862 namun ia baru menjalani sidang
setelah dua tahun menjalani masa tahanan di Penjara Peter and Paul di St.
Petersburg. Di dalam persidangan, sebenarnya tidak ditemukan bukti-bukti yang
menunjang untuk menetapkan kesalahannya, namun dengan tuduhan palsu bahwa ia
menjalankan usaha percetakan ilegal ia akhirnya dihukum kerja paksa selama
empatbelas tahun dan menjalani pembuangan di Siberia (Tsar kemudian mengubah
hukumannya menjadi tujuh tahun). Chernyshevsky tahu bahwa tuduhan itu adalah
tuduhan palsu, dan untuk menunukan pebelaannya ia melakukan aksi mogok makan
selama sembilan hari yang mengakibatkannya hampir mati karena lemas. Senat
Rusia saat itu mencabut semua hak-hak sipil yang dimiliki Chernyshevsky.
Sebelum menjalani
hukuman kerja paksa, Chernyshevsky dipermalukan di depan publik. Ia diikat
rantai dan di arak ketengah kota serta dinaikan ke panggung dengan mengenakan papan
yang dikalungkan dilehernya. Panpan tersebut bertuliskan ‘Penjahat Bangsa’. Di
penjara, jiwa revolusioner Chernyshevsky tidak padam. Di Siberia ia menuliskan
banyak karya berbentuk sastra, roman, politik, ekonomi, sejarah, dan juga
terjemahan-terjemahan. Karya yang sangat terkenal, yang ditulis ketika ia
dipenjara yaitu karya sastra berjudul ‘Apa
Yang Harus Dilakukan’. Karya sastra ini merupakan sastra politik-filosofis.
Di dalam karya tersebut ia mengungkapkan apa-apa saja yang diperlukan guna
membebaskan bangsa dari penindasan kaum aristokrat. Revolusi rakyat adalah
keniscayaan yang harus dilakukan jika petani dan orang miskin Rusia
menginginkan kebebasan.
Di dalam novel ini
dapat dilihat bagaimana Chernyshevsky merasa bahwa bangsa Rusia harus belajar
banyak dari dunia Barat, di mana sains dan rasionalitas menjadi perangkat mereka untuk mencapai
kemajuan. Argumen-argumen yang dikemukakannya melalui figur Lopukhov jelas
didasarkan atas pemikiran Eropa Barat mengenai rasionalitas dan perfeksibilitas
manusia.[23]
Di sini ia mengemukakan pentingnya sebuah kalkulasi atau perhitungan atas
segala tindakan yang dilakukan oleh manusia. Baginya, suatu tindakan haruslah
dipilih berdasarkan apa yang paling bermanfaat. Melalui Lopukhov ia mengatakan:
“Kita mulai dari melihat bahwa tindakan manusia didasarkan atas apa yang
perlu untuk dilakukan. Tindakan-tindakan tersebut kiranya di dasarri oleh
motovasi-motivasi yang dimilikinya. Dalam bertindak, salah satu motivasi
menjadi dasar bagi apa yang dilakukannya. Dalam masalah hidup dan mati, di
situlah kiranya tempat di mana kita meletakan proposisi kita antara apa yang
paling bermanfaat untuk dilakukan. Pertarungan antarmotif di dalam diri
manusiakita sebut sebagai pertimbangan apa yang paling bermanfaat untuk
dilakukan. Dengan demikian, sebenarnya manusia selalu bertindak berdasarkan
pertimbangan apa yang paling bermanfaat dan apa yang kuran bermanfaat.”[24]
Apa yang
dikemukakan di atas merupakan konsep utilitarian yang digagas oleh
Chernyshevsky untuk bangsa Rusia. Sepintas terlihat bahwa konsep tersebut
begitu egoistik karena manusia menentukan apa yang paling bermanfaat atau
menguntungkan bagi dirinya. Namun, kalkulasi tersebut tidak harus bersifat
egoistik karena di dalam pandangan utilitarianisme, manusia dikatakan baik jika,
ketika mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, ia juga harus memberikan
keuntungan bagi orang lain. Selaras dengan pandangan John Stuart Mill, seorang
pemikir yang dikagumi oleh Chernyshevsky, moralitas utilitaris juga mengenal
konsep pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian,
pencarian keuntungan atau manfaat dari suatu tindakan tidak melulu bersifat
egoistik.[25]
Tindakan untuk mencari apa yang paling bermanfaat
haruslah mempertimbangkan keberadaan orang lain agar tidak jatuh ke dalam
tindakan yang egoistik. Keberadaan orang lain perlu diperhitungkan karena
manusia tidak hidup sendiri, dan individualitas manusia tidak cukup sebagai
sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, individualitas harus diminimalisir supaya
kebahagiaan bersama dapat dicapai. Di sini Chernyshevsky menekankan pentingnya
kebersamaan manusia. Tindakan harus didasarkan pada kalkulasi terhadap apa yang
paling bermanfaat bagi banyak orang. Jika tindakan itu hanya bermanfaat bagi
sedikit orang, tindakan itu masih kurang baik. Suatu tindakan bisa menjadi
benar-benar baik jika tindakan itu memberi manfaat bagi banyak orang. Semakin
banyak orang yang menerima manfaat darinya, semakin baiklah tindakan itu.[26]
Menurut Chernyshevsky, Rusia bisa
melakukan tindakan yang akan memberikan banyak manfaat bagi rakyatnya jika ia
mau mencontoh apa yang terjadi di Eropa Barat. Melalui sains dan teknologi
Rusia akan mampu mencapai kemajuan yang akhirnya akan dapat memberikan
kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyatnya. Impian yang menunjukan hal
tersebut nampak pada bagian novelnya
yang berjudul ‘Mimpi Vera Pavlona’. Di dalam mimpi tersebut, dikisahkan Vera berada di dalam sel yang gelap. Sel
tersebut kemudian terbuka dan Vera tiba-tiba berada di sebuah lapangan yang
dipenuhi oleh orang-orang tua, baik lelaki maupun perempuan, yang lumpuh. Vera
sendiri juga mengalami kelumpuhan, namun ia tidak pernah menyadari bahwa
dirinya lumpuh. Hal ini menurutnya karena ia terlahir dengan kondisi demikian
dan dikelilingi oleh orang-orang yang juga sama sehingga ia tidak menyadari
kelumpuhannya. Ia tidak pernah berjalan maupun berlari. Dengan demikian,
bagaimana ia tahu bahwa ada kondisi lain selain kelumpuhan yang dialaminya.
Kelumpuhan kemudian dimaklumkan sebagai sesuatu yang memang harus demikian dan
sudah semestinya ada di dalam kehidupan. Tiba-tiba sebuah suara yang tidak
dikenalnya menyembuhkan Vera. Ia bisa berjalan, bahkan berlari. Ia bebas dan
lepas berjalan dan berlari kesana-kemari hingga akhirnya ia mendapatkan tugas
mulia dari suara tersebut. Tugas itu adalah suatu perintah agar Vera
menyembuhkan juga orang-orang lumpuh di sekitarnya.
Mimpi yang dialami oleh Vera
Pavlovna kiranya merupakan representasi dari situasi yang terjadi di Rusia saat
itu. Chernyshevsky melihat bahwa bangsanya tinggal di dalam kegelapan dan
keterkungkungan (tradisi, agama dan feodalisme), yang digambarkan melalui
orang-orang tua yang lumpuh. Suara yang membebaskan itu adalah representasi
dari sains dan rasionalitas bangsa Eropa Barat. Orang-orang Rusia selama ini tidak
menyadari dan mengerti bahwa mereka tinggal di dalam kegelapan dan mengalami
kelumpuhan karena mereka lahir dan dibesarkan dalam kondisi seperti itu. Hanya
sains dan Rasionaitas Barat-lah yang dapat menyembuhkan mereka dari kelumpuhan
dan membawa mereka ke luar dari kegelapan yang mereka alami selama ini. Tugas
yang diemban oleh Vera merupakan representasi dari apa yang harus dilakukan
oleh orang-orang muda yang progresif. Mereka harus memberikan penyadaran akan
realitas yang kelam dan membebaskan masyarakat dari kegelapan yang dialaminya
serta menyembuhkan masyarakat dari ketidakberdayaanya.
Novel Zapiski iz Podpol’ya yang ditulis Dostoevsky merupakan perlawanan
dari apa yang dicetuskan Chernyshevsky dalam novelnya Sto Delat?. Dostoevsky, seperti telah disinggung di bagian awal,
adalah seorang slavophil. Sebagai mana orang-orang slavophil, ia menolak
pengadopsian budaya Barat oleh bangsa Rusia. Baginya kemajuan bangsa Rusia
hanya dapat dicapai jika Rusia kembali kepada keutamaan dan identitasnya sendiri yang
berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat, yaitu tradisi, di mana gereja
ortodoks menduduki tempat yang utama.
Di dalam novel ini dapat
dilihat sanggahan-sanggahan yang dilakukan Dostoevsky terhadap pemikiran
Chernyshevsky dan kaum zapadniki yang pro Barat. Ia mengatakan bahwa
rasionalitas Barat yang merasuk ke dalam orang-orang Rusia itu sama dengan
penyakit gigi yang diderita oleh manusia. Namun karena penyakit itu tidak
kunjung sembuh, maka orang kemudian malah menikmatinya. Orang-orang sakit itu
adalah orang-orang seperti Chernyshevsky dan kaum zapadniki, mereka tidak sadar
akan “penyakit” yang merongrong kedaulatan bangsa Rusia. Mereka, karena tak
dapat sembuh malah menikmati penyakit gigi tersebut. Bagi Dostoevsky tidak ada
yang patut dibanggakan dari rasionalitas Barat, yang mendudukan pikiran di atas
segalanya. Apakah rasionalitas itu? Rasionalitas hanyalah cara berpikir, dan
sebagaimana pikiran, ia hanya akan memuaskan kapasitas berpikir manusia, tidak
lebih.[27]
Mengenai
konsep utilitarian yang digagas Chernyshevsky, di mana manusia harus
mengkalkulasi tindakan-tindakannya berdasarkan apa yang paling bermanfaat atau
yang paling menguntungkan, Dostoevsky membantah hal tersebut. Ia mengatakan bahwa perhitungan dan kalkulasi itu tidak dapat
memberikan kepastian pada manusia. Apakah yang dapat dipastikan dari manusia?
Hanya orang bodohlah yang dapat dipastikan.[28]
Manusia sebenarnya lebih dari pada perhitungan dan kepastian-kepastian
tersebut.
Dostoevsky
tidak sependapat dengan proyek Chernyshevsky tersebut. Ia melihat bahwa
perubahan harus dimulai dari manusia itu sendiri. Menurutnya apa yang digagas
oleh Chernyshevsky tidak melihat manusia sebagai manusia melainkan mesin.
Manusia bukan benda. Oleh karena itu maka ia tidak dapat ditentukan dalam
kalkulasi-kalkulasi saintifik. Dostoevsky beranggapan bahwa perlu cintakasih
bagi manusia untuk bereksistensi. Dengan
cintakasih penindasan terhadap manusia tidak akan terjadi karena cintakasih
akan menjadikan manusia untuk bertindak secara adil.
Dostoevsky berpendapat bahwa
apa yang ada di Barat tidak perlu menjadi identitas bangsanya. Rusia memiliki
budayanya sendiri, yang lebih baik jika dibandingkan dengan budaya Barat.
Perbedaan Rusia dengan bangsa Eropa Barat, mengikuti pembagian yang dilakukan
Komyakov, seorang slavophil, diungkapkan dengan istilah iranstvo dan kushitstvo.
Iranstvo adalah istilah yang berarti kebebasan dan spiritualitas,
sedangkan kushitstvo berarti keniscayaan dan materialistik. Komyakov
beranggapan bahwa identitas Bangsa Rusia adalah iranstvo dan dunia Barat
adalah kushitstvo.[29]
Kebebasan yang dimaksud dengan iranstvo
tidak sama dengan kebebasan individual yang terdapat dalam liberalisme
Barat. Di Rusia kebebasan dipahami sebagai kebebasan spiritual umat Tuhan.
Menurut Dostoevsky, pengadopsian nilai-nilai Barat tidak perlu dilakukan
karena peradaban Eropa akan jatuh karena liberalisme yang dianutnya, dan
mengikuti liberalisme yang terjadi di Eropa sebagaimana yang berlangsung di
Rusia saat itu sama saja dengan mengikuti kejatuhan mereka.[30]
Penutup
Pertarungan konsep dan
idiologi kedua pemikir besar Rusia abad 19, yang dituangkan ke dalam
karya-karya sastra mereka, kiranya bukan sekedar pertarungan intelektual
belaka. Pertarungan ini adalah pertarungan untuk kedaulatan dan kemajuan bangsa
Rusia sendiri. Apa yang dilakukan oleh Chernyshevsky dan Dostoevsky di dasarkan
kepada rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka berdua memiliki kerinduan yang
sama untuk melihat Rusia mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Apa yang menjadi
pembeda dari dua sastrawan-filsuf ini adalah cara-cara yang mereka gagas untuk
mencapai kemajuan tersebut.
Dari perjalanan sejarah, menjelang revolusi Bolshevik,
dukungan terhadap pemikiran kaum zapadniki menguat. Ini berarti apa yang
digagas oleh Chernyshevsky mendapat dukungan di masa itu. Harus diakui bahwa
dengan gagasan-gagasan sosialisme sekular (marxis), dalam waktu singkat Rusia
(kemudian menjadi Uni Soviet) telah berhasil menjadi salah satu negara adi daya
di dunia.
Kehidupan Chernyshevsky memang telah usai ketika revolusi Bolshevik
meletus, tetapi semangat dan gagasan-gagasan darinya kiranya telah mengilhami
sejumlah tokoh-tokoh revolusioner untuk berjuang membebaskan rakyat Rusia dari
ketertindasnnya. Lenin sendiri di dalam bukunya Emperio Criticism mengatakan:
Chernyshevsky
merupakan satu-satunya pemikir besar yang, sejak tahun limapuluhan sampai 1888,
mampu mempertahankan filsafat materialisme dan mendepak hal-hal tak masuk akal
dari neo-Kantian, Machian dan para pemikir yang berpikiran kusut lainnya.[31]
Namun demikian, seturut
dengan keberhasilan pendukung-pendukung zapadniki, apakah gagasan yang dibangun
Dostoevsky dan kaum slavophil tenggelam dan hilang begitu saja? Nampaknya
tidak. Justru, apa yang digagas Dostoevsky terbukti benar di kemudian hari.
Gagasan Chernyshevky terbukti terjebak pada perbudakan “gaya baru”. Jika dahulu
rakyat diperbudak oleh pemerintahan feodal, kini rakyat diperbudak oleh rezim
komunis. Dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, individualitas hampir
setiap warga negara tertindas. Harus diakui pula bahwa pengagungan terhadap
rasionalitas manusia telah menimbulkan bencana yang tidak sedikit. Dostoevsky
benar ketika ia mengatakan: “Lihatlah darah mengalir di
sungai-sungai... Lihatlah apa-apa yang terjadi sepanjang abad 19... Lihatlah
Napoleon ... Lihatlah apa yang terjadi di Amerika Utara.”[32]
Apa yang dapat kita
petik dari kedua sastrawan besar dan bangsa Rusia untuk Indonesia kiranya
adalah usaha untuk membangun karakter bangsa dan perdebatan logis atas suatu
masalah. Perdebatan seperti itu memang pernah ada di dalam sejarah sastra Indonesia sebelum
peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965). Saat itu sastrawan baik dari
pihak kiri maupun kanan, pihak Manipol maupun Manikebu berdebat mengenai
hal-hal serupa untuk membangun karakter bangsa. Kini debat-debat untuk
membangun karakter bangsa kiranya sudah jarang terjadi, terlebih dalam ranah
sastra. Karya-karya sastra pun kini jarang ada yang mengangkat tema tersebut.
Mungkin karena tidak “menjual” seperti tema-tema cinta remaja, maka tema
kebangsaan sudah tidak menarik lagi. Ah, jika Chernyshevsky hidup di Indonesia
pada zaman ini, tentu ia akan mengatakan “Что Делат Индонезийкий? Dan
Dostoevsky akan menulis “Записки из Индонезя”,
untuk menggagas keindonesiaan orang Indonesia
* Catatan kaki dan daftar pustaka tidak disertakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Edisi lengkap dapat dilihat di
Journal Glasnost (FIB Universitas Indonesia),
Vol. IV. April 2008 – September 2008 atau dapat diminta pada penulis