Musik merupakan fenomen yang lekat dalam keseharian
manusia. Ia hadir mengisi relung-relung tindak kehidupan. Pada acara makan
malam, di dalam mobil, gedung-gedung konser, bahkan di kamar tidur pun ia dapat
hadir untuk menemani. Namun demikian, sebagai bagian dari kehidupan manusia,
ada sisi yang terlupakan dalam memahami musik, yaitu: Musik sebagai metafisika.
Dalam tulisan ini saya akan menunjukan bagaimana pemahaman musik sebagai
metafisika terlupakan dan mencoba mengingatkan kembali apa yang telah
terlupakan selama ini. Untuk itu, maka dalam tulisan ini saya akan membahas
pemahaman musik dalam keseharian, kemudian hubungan musik dengan masyarakat.
Dua bagian tersebut merupakan bagian dari ke-lupa-an akan musik. Selanjutnya
akan dibahas hal yang akan mengingatkan kita akan sisi yang terlupakan dengan
memahami pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno dan pemahaman musik
sebagai metafisika, yaitu sebagai gerak Kehendak
Musik Dalam Keseharian
Dalam keseharian kita,
disadari atau tidak, musik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam
riuhnya suasana pesta, jamuan makan, bahkan ketika menghadapi kemacetan
lalu-lintas musik menjadi kawan yang siap menemani. Bukan hanya itu, di
saat-saat kala kesunyian dan kesendirian menyergap, musik dapat menjadi “mesias”[1]
yang menolong kita mendapat sedikit (atau mungkin juga banyak) pencerahan.
Dapat dikatakan bahwa musik selalu ada di mana-mana. Ia dapat hadir dalam
suasana religius maupun sekular, dalam kesendirian maupun keramaian.
Musik merupakan fenomen yang begitu
dekat dengan manusia. Ia laksana sahabat setia yang selalu siap menemani kala
dibutuhkan dan seolah dapat mengerti apa yang kita rasakan. Namun demikian,
apakah kita memahaminya? Apakah kita memahami sang sahabat tersebut? Dalam
dunia keseharian dapat kita lihat bagaimana musik dipahami oleh manusia. Dari
berbagai pemahaman yang ada, setidaknya dapat dilihat dua cara memahami musik,
yaitu secara objektif dan secara subjektif.
Secara objektif, musik dapat
dipahami sebagai sebuah ilmu (seperti halnya matematika, fisika, geometrid dan
lain-lain). Dengan memandangnya sebagai ilmu, terdapat jarak antara musik
(sebagai objek) dan manusia (sebagai subjek). Memahami musik sebagai objek
berarti juga memahaminya secara teknis. Hal-hal yang menjadi perhatian lewat
cara ini adalah dengan memperhatikan hal-hal teknis seperti tekstur suara yang
ada, harmonisasi, teknik penjarian, pernafasan dan lain-lain. Di sini keindahan
terkait dengan hal-hal teknis tersebut.
Cara pandang yang lain adalah dengan
memahami musik secara subjektif. Yang menjadi penekanan dari cara pandang ini
adalah manusianya. Musik dipandang sebagai media untuk mengekspresikan diri.
Orang dapat melanggar hukum-hukum harmoni dan teknik (jika perlu) asalkan dapat
membebaskan ekspresinya. Hal-hal teknis seperti penjarian, pernafasan dan
lainnya , yang begitu ditekankan pada cara pandang objektif, menjadi sekunder
pada cara ini.
Dua cara pandang mengenai musik tersebut di atas
merupakan cara pandang yang dominan dalam keseharian manusia. Namun demikian,
dua cara tersebut nampaknya melupakan hal yang begitu penting dalam musik. Pada
dunia modern, musik sebagai metafisika sangat dilupakan. Bagaimana kelupaan itu
terjadi? Sebagaimana telah kita ketahui bahwa musik begitu lekat dengan
kehidupan manusia, baik secara individual maupun komunal, maka pertanyaan
tersebut harus dilihat dari kacamata
ke-ber-manusia-an itu sendiri. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk yang tak
dapat lepas dari sesama dan lingkungan sosialnya. Untuk itu, ada baiknya jika
kita melihat hubungan musik dengan masyarakat.
Musik dan Masyarakat (modern)
Zaman modern
adalah zaman yang ditandai dengan kemajuan teknik dan industri. Hal demikian
menyebabkan segala aspek kehidupan (pada titik tertentu) dikait-kaitkan dengan
pola-pola teknik dan industri tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada musik.
Musik pada zaman modern sangat berkaitan dengan industri Musik menjadi
komoditas, sama seperti barang-barang lain yang diperdagangkan. Sebagai barang
dagangan, ia harus memenuhi tuntutan atau kehendak pasar. Oleh karena itu, maka
musik tidak lagi memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai yang disandangnya
kini adalah nilai jual belaka. Pada kesadaran konsumen keindahan musik juga
terkait dengan keakraban musik dengan telingga mereka. Di sini tentu dapat
dipahami bagaimana sebuah promosi menjadi begitu penting untuk dilakukan.
Dengan publikasi besar-besaran, maka produk akan terasa begitu dekat dengan
konsumen. Membuat konsumen merasa membutuhkan produk tersebut. Dapat dikatakan
bahwa kehidupan musik dalam dunia modern sangat didominasi oleh bentuk-bentuk
komoditas.[2]
Ketika musik telah menjadi komoditas, maka
perbedaan-perbedaan yang ada pada jenis musik itu sendiri tidak memiliki
pengaruh apa-apa bagi para penikmat (manusia). Tidak ada beda antara musik pop
dan klasik. Semua menjadi sama di hadapan pasar. Sangat tepat apa yang
dikatakan oleh Adorno, seorang filsuf neo-marxis, dalam menggambarkan situasi
tersebut. Ia mengatakan bahwa “The differences in reception official
‘classical’ musik and light musik no longer have any real significance. They
are only still manipulated for reason of marketability.”[3] Jadi,
jangankan untuk membicarakan musik Apollonian atau Dyonisian, untuk
membicarakan musik klasik dan musik pop pun sudah tidak lagi memikat karena
perbedaan keduanya sudah tilak lagi mempunyai arti di hadapan pasar.
Lebih jauh, dari pemaparan di atas,
dapat dilanjutkan dengan fungsi musik pada masyarakat modern. Pada zaman modern musik berfungsi
untuk menunjukan status sosial seseorang. Orang pergi ke gedung-gedung konser
bukan lagi untuk menikmati musik tertentu, melainkan karena dengan menghadiri
konser tersebut ia dapat meraih suatu stetus sosial tertentu.[4] Lantas, bagaimana status-status tersebut
dapat dikenakan? Pada dunia modern kategorisasi terhadap penikamat jenis musik
tertentu menjadi penentu status sosial mereka. Penikmat musik rock
identik dengan pemuda/i pemberontak, musik jazz identik dengan orang-orang
pesolek dan hidup santai., musik blues identik dengan para pemabuk di
bar-bar, musik dang-dut dengan masyarakat pinggiran, musik klasik dengan
masyarakat kelas atas dan lain-lain. Ada begitu banyak identifikasi status
dengan jenis musik yang diminati di zaman modern. Nyatakah status-status
tersebut? Sebenarnya, jika dicermati lebih dalam, maka status-status tersebut
merupakan rekayasa para produsen. Prodesen menawarkan bentuk-bentuk identitas
tertentu bagi jenis-jenis musik yang ada. Lantas, atas dasar apa hal tersebut
dapat terjadi? Tentunya atas dasar keuntungan dagang. Di sisi lain orang
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan identitas yang ditawarkan.
Oleh karena itu, tidak perlu heran jika di dalam gedung konser musik klasik
tidak semua orang yang datang mengerti atau menyukai musik yang dimainkan.
Begitu juga dengan orang-orang di klab-klab malam yang menyajinan jenis musik
tertentu.
Kelupaan manusia akan musik sebagai
metafisika di zaman modern nampaknya menjadi suatu hal yang wajar karena
pengaruh dari kemajuan industri dan teknologi yang ada. Pada zaman modern, di
mana segala sesuatu berjalan dan berubah dengan cepat, musik tidak lagi
memiliki status ontologis yang jelas. Keberadaannya hanya menjadi sesuatu yang
bersifat instrumental atau sebuah perangkat saja. Keindahan juga kemudian hanya
menjadi hal yang sangat teknis. Hal demikian nampaknya menjadi sebuah
konsekwensi dari kemajuan yang ada di zaman modern.
Pemahaman akan musik pada zaman
modern tidak lebih dari sekedar bunyi-bunyian belaka, yang kemudian
mempengaruhi status sosial seseorang.
Lantas apa sebenarnya musik itu? Untuk mengetahui apa sebenarnya musik
tersebut, maka mau-tidak mau kita harus kembali mencari pengertian musik mula-mula
(yang telah terlupakan selama ini),
Musik
Pengertian
Musik pada Kebudayaan Yunani Kuno
Untuk berbicara
mengenai pemahaman akan musik, maka mau tidak mau. Kita harus melihatnya pada
pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno. Mengapa? Karena harus diakui
bahwa pengaruh kebudayaan Yunani pada dunia musik cukup besar adanya.
Perbendaharaan kata pada istilah-istilah musik modern masih tetap mencerminkan
pengaruh tersebut. Istilah-istilah seperti melodi, ritme, harmoni, dan khorus
merupakan contoh berpengaruhnya kebudayaan Yunani pada musik hingga saat ini.
Namun berbeda dari zaman modern, yang telah melupakan makna dari
istilah-istilah tersebut dan hanya memandangnya
sebagai istilah teknis belaka, pada budaya Yunani kuno istilah-istilah
tersebut merupakan cerminan dari suatu konsep pemikiran dan maksud dari musik
itu sendiri.[5]
Musik dalam bahasa Yunani kuno
disebut dengan istilah Mousike (mousike). Kata ini dikembangkan dari asal
kata Mousa dan Ike. Mousa berasal dari bahasa Mesir Muse,
sedangkan kata Ike berasal dari bahasa Celtik Aik.[6] Pada
mitologi Mesir, Muse dipahami memiliki tiga personalitas, yakni: Melete
(dewi yang membangkitkan), Mneme (dewi yang memelihara/merancang) dan Aeode
(dewi yang memberikan pengertian).[7]
Orang Yunani kemudian mengambil alih pemakaian mitologi ini dengan pengertian
yang lebih luas. Pada budaya Yunani kuno, Muse berada di bawah kekuasaan
Appolo (dewa pelindung seni). Dewi-dewi muse yang berjumlah tiga pada awalnya disebut dengan
istilah mosagetes (mosagetes). Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu,
pada masa Homeros, jumlah dewi-dewi tersebut bertambah menjadi sembilan.[8]
Orang Yunani kuno menganggap semua seni adalah pelengkap
dari musik. Mengikuti makna dari kata musik, maka semua tindakan yang
dihasilkan oleh pikiran untuk menggambarkan suatu bentuk perasaan dari wilayah
intelektual mengacu pada musik. Pengertian musik pada zaman itu digunakan untuk
menyatakan setiap ruang aktivitas di mana roh beralu dari potensi menuju aktus
dan menggunakan bentuk yang dpt diindrai.[9]
Dengan demikian, musik memiliki status ontology yang tinggi dibandingkan dengan
seni-seni yang lain. Seni-seni lain seperti puisi, teater dan tari dipahami
merupakan bagian dari musik. Oleh karena itu, maka hanya musik yang memiliki
dewi pelindung. Seni pahat, arsitektur dan seni lukis tidak memiliki dewi
pelindung. Dewi-dewi musik pada kebudayaan Yunani tersebut adalah:
- Kalliope : Dewi seni sastra dan syair
- Klio : Dewi sejarah
- Erato : Dewi sastra erotis
- Entrepé : Dewi seni sastra liris
- Thalia : Dewi ria jenaka
- Melponemé : Dewi tragedi
- Terpsichoré : Dewi seni tari
- Polyhymnia : Dewi olah nada
- Urania : Dewi ilmu bintang
Selain dewi-dewi
yang berada di bawah naungan dewa Apollo tersebut, bangsa Yunani juga mengenal
dewa lain sebagai dewa musik yaitu dewa Dyonisos yang merupakan dewa anggur dan
mabuk-mabukan. Sebagai dewa musik
figurnya bertolak belakang dari Apollo.[10]
Arti pengertian di atas dapat kita
lihat bahwa musik pada pemahaman yang paling primordial sangat berbeda dari
musik yang dipahami pada zaman modern. Jika pada zaman modern musik hanya dipandang sebagai hal teknis yang
berhubungan dengan industri, maka pada pengertian mula-mula ia tidak hanya
berbicara mengenai hal-hal praktis melainkan juga hal spiritual yang dibungkus
dalam mitos-mitos. Menarik untuk melihat kitab Hermetik Asclepius atau
yang dikenal dengan The Perfect Sermon bab XIII. Di situ dikatakan bahwa
musik adalah pengetahuan yang mendasari segala sesuatu, ia adalah ilmu tentang
hubungan harmoni dengan alam semesta.[11]
Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa musik merupakan sesuatu yang “dasyat”
yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.
Penggunaan Musik Zaman Yunani Kuno
Pada kebudayaan
Yunani kuno, musik memiliki banyak kegunaan. Di antaranya musik digunakan untuk
mengiringi suatu ritus, untuk menghalau kekuatan jahat, sebagai epiklese (doa
permohonan kehadiran roh), sebagai pengantar menuju katarsis (pemurnian jiwa)
dalam suatu inisiasi, sebagai pengiring pemakaman dan sebagai kekuatan magis
tertentu.[12] Dalam komunitas Pythagoras musik juga dikenal
sebagai obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit.[13]
Musik pada masa itu dimainkan
berdasarkan suatu tropos. Tropos adalah bentuk penamaan Yunani
untuk suatu nada dasar. Dalam bahasa latin istilah ini lebih dikenal dengan
sebutan modus. Pada masa itu terdapat tiga tropos utama, yaitu: Lydian,
Frigian dan Dorian. Ketiga tropos tersebut merupakan symbol
dan memiliki makna tertentu. Lydian yang berada di bawah naungan planet
Jupiter merupakan lambing dari suara bangsa. Phrygian yang berada di
bawah naungan planet Mars melambangkan roh yang bergelora dari para ksatria.
Sedangkan Dorian yang berada di
bawah naungan matahari merupakan lambang dari kebebasan dan kekuatan.[14]
Penyimbolan tropos ini sangat erat hubungannya dengan ajaran mistik
tentang alam semesta dan dipercaya dapat mempengaruhi manusia dan alam
sekitarnya. Musik menjadi daya penyatu antara makrokosmos dan mikrokosmos.[15]
Hal tersebut tercermin dari ritus-ritus yang mereka lakukan saat itu.
Musik sebagai Gerak Metafisis
Musik,
sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan sebuah gerak dari potensi
menuju aktus. Jika demikian, apakah musik itu dalam pengertian yang
sesungguhnya? Musik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah gerak kehendak.
Apa maksudnya musik sebagai gerak kehendak? Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut ada baiknya jika kita kembali melihat pada sejarah filsafat.
Dalam sejarah filsafat, terutama
mengenai metafisika, pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah: Apakah dunia
ini seperti yang tampak atau terlihat oleh kita? Thales mengatakan bahwa dunia
ini tidak seperti yang tampak. Kenyataan yang sesungguhnya dari dunia ini
adalah air. Pada plato, kita temukan jawaban yang berbeda. Tentu telah kita
ketahui perumpamaannya tentang manusia
gua yang melihat bayang-bayang. Manusia bodoh menganggap bahwa bayang-bayang
itu merupakan realitas atau dunia yang sesungguhnya. Tetapi, menurut Plato,
bayang-bayang yang dilihat mereka bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas
yang sesungguhnya adalah dunia tempat di mana cahaya yang menyinari gua itu
berasal. Tentu maksud dari perumpamaan itu adalah dunia yang sejati atau yang
sesungguhnya bukanlah apa yang tampak di depan kita. Dunia yang tampak di hadapan
kita hanyalah pengejawantahan dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia Idea.
Menarik untuk melihat pendapat
Arthur Schopenhauer yang mengatakan bahwa realitas yang tampak ini merupakan
pengejawantahan dari kehendak. Kehendak merupakan dasar dari realitas yang
tampak ini. Menurutnya, dunia yang tampak tersebut hanya merupakan
sensasi-sensasi belaka atau dengan kata lain kita dapat menyebutnya “maya”.
Dalam filsafat Schopenhauer, terdapat dua dunia yaitu:
Dunia sebagai representasi dan dunia sebagai kehendak. Pembagian ini tentu
mengingatkan kita pada filsuf lain yaitu
Immanuel Kant yang membagi dunia menjadi dunia fenomenal dan dunia noumenal.
Bagi Schopenhauer, terdapat dua cara untuk mengetahui kedua dunia tersebut. Cara yang pertama
adalah cara untuk mengetahui dunia fenomenal dan cara kedua adalah cara untuk
mengetahui dunia noumenal. Pengetahuan untuk menyingkap dunia representasi atau
fenomenal adalah dengan ilmu-ilmu alam atau sains. Pada tataran ini dibutuhkan
jarak antara subjek sebagai penahu dan objek sebagai yang diketahui agar
pengetahuan dapat berfungsi. Sedangkan untuk mengetahui dunia noumenal atau
kehendak, orang harus tidak memikirkannya sebagai objek, karena ia memang bukan
objek tertentu. Jalan untuk mengetahuinya, bagi Schopenhauer, adalah lewat
seni. Mengapa? Karena dalam seni yang terjadi bukanlah suatu objektifikasi
terhadap realitas, melainkan adalah kontemplasi.[16] Dalam kontemplasi hubungan subjek-objek
hilang. Mereka tidak lagi terpisah melainkan satu. Dengan melakukan kontemplasi
subjek meniadakan dirinya dan melebur dengan objek sehingga tidak ada lagi
dualitas yang memisahkan mereka. Schopenhauer menyebut tindak tersebut dengan
istilah will-less subject of knowledge. [17]
Seni, dalam pandangan Schopenhauer,
berpuncak pada musik. Mengapa? Karena pada seni-seni lain seperti seni lukis,
pahat atau arsitektur kontemplasi yang dilakukan hanya merupakan kontemplasi
terhadap dunia objektif, dunia fenomenal atau representasi saja. Jadi dapat
dikatakan bahwa seni-seni lain selain musik hanyalah tiruan dari
penampakan-penampakan saja. Lalu apa yang membedakannya dari musik?
Schopenhauer beranggapan bahwa musik tidak memiliki rujukan di dunia fenomenal
melainkan di dunia noumenal. Dalam bahasanya ia mengatakan bahwa musik tidak
seperti seni-seni yang lain, yang merupakan tiruan dunia fenomenal; Musik
adalah kehendak itu sendiri (dunia noumenal)[18] Jadi apa yang menjadi “objek” pada musik
adalah sesuatu yang metafisis, yaitu dunia fenomenal. Di sinilah kita dapat
menyebut kembali (seperti yang dipahami oleh bangsa Yunani kuno) bahwa musik
merupakan metafisika.
Musik merupakan pesan dari surga.
Pemusik, seperti yang dikatakan Nietzsche (filsuf yang juga dipengaruhi
Schopenhauer), merupakan ventriloquist of God; Musik merupakan bahasa
dari jurang yang tak berdasar (abyss), ia murni metafisik.[19] Pendapat
tersebut nampaknya tidak berlebihan mengingat bahwa musik, walaupun tidak
memiliki objek material, seperti pada seni-seni lain, namun dapat begitu
mempengaruhi kehidupan manusia.
Pemahaman musik pada zaman modern
memang telah melupakan makna musik dan arti musik itu sendiri. Hal tersebut
nampaknya menjadi perlu untuk disingkap
melalui pengingatan kembali akan apa itu musik. Musik sebagai metafisika, yaitu
kehendak yang diungkapkan Schopenhauer, menunjukan bahwa musik memiliki status
yang berbeda sama sekali dengan yang dipahami dalam dunia modern. Dengan
demikian, dapat kita simpulkan bahwa musik bukan hanya terbatas pada
bunyi-bunyian belaka, melainkan terkait dengan pemikiran tertentu, yaitu:
metafisika. Musik sebagai gerak kehendak merupakan cara lain untuk menyebut
bahwa ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia bukanlah aspek belaka dari kehidupan
ini, melainkan hidup yang melingkupi kehidupan ini.
Penutup
Telah kita lihat
bagaimana kelupaan akan musik sebagai metafisika di zaman modern sangat terkait
dengan kemajuan teknologi dan industri. Hal demikian membuat musik, tidak
lebih, hanya dipandang sebagai komuditas pasar yang diperjual-belikan. Musik
untuk suatu status social tertentu memang terdengar menggelikan, namun itulah
yang terjadi di zaman modern. Apa yang menjadi bahasan tulisan ini adalah untuk
mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan ini, yaitu musik sebagai
metafisika. Musik sebagai gerak dari kehidupan itu sendiri. Dengan melihat
pemahaman musik yang terdapat pada zaman Yunani kuno dan filsafat Schopenhauer
setidaknya dapat memberikan kejutan akan kesalahpahaman kita yang terjadi
selama ini terhadap musik. Kiranya tulisan ini dapat membantu kita untuk
memahami musik dengan lebih baik dan terlepas dari belenggu kepalsuan (penampakan/representasi)
dari dunia modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar