Translate

Selasa, 17 April 2012

MUSIK SEBAGAI METAFISIKA “Mengingat kembali yang terlupakan”





Musik  merupakan fenomen yang lekat dalam keseharian manusia. Ia hadir mengisi relung-relung tindak kehidupan. Pada acara makan malam, di dalam mobil, gedung-gedung konser, bahkan di kamar tidur pun ia dapat hadir untuk menemani. Namun demikian, sebagai bagian dari kehidupan manusia, ada sisi yang terlupakan dalam memahami musik, yaitu: Musik sebagai metafisika. Dalam tulisan ini saya akan menunjukan bagaimana pemahaman musik sebagai metafisika terlupakan dan mencoba mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan selama ini. Untuk itu, maka dalam tulisan ini saya akan membahas pemahaman musik dalam keseharian, kemudian hubungan musik dengan masyarakat. Dua bagian tersebut merupakan bagian dari ke-lupa-an akan musik. Selanjutnya akan dibahas hal yang akan mengingatkan kita akan sisi yang terlupakan dengan memahami pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno dan pemahaman musik sebagai metafisika, yaitu sebagai gerak Kehendak



Musik Dalam Keseharian
Dalam keseharian kita, disadari atau tidak, musik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam riuhnya suasana pesta, jamuan makan, bahkan ketika menghadapi kemacetan lalu-lintas musik menjadi kawan yang siap menemani. Bukan hanya itu, di saat-saat kala kesunyian dan kesendirian menyergap, musik dapat menjadi “mesias[1] yang menolong kita mendapat sedikit (atau mungkin juga banyak) pencerahan. Dapat dikatakan bahwa musik selalu ada di mana-mana. Ia dapat hadir dalam suasana religius maupun sekular, dalam kesendirian maupun keramaian.
            Musik merupakan fenomen yang begitu dekat dengan manusia. Ia laksana sahabat setia yang selalu siap menemani kala dibutuhkan dan seolah dapat mengerti apa yang kita rasakan. Namun demikian, apakah kita memahaminya? Apakah kita memahami sang sahabat tersebut? Dalam dunia keseharian dapat kita lihat bagaimana musik dipahami oleh manusia. Dari berbagai pemahaman yang ada, setidaknya dapat dilihat dua cara memahami musik, yaitu secara objektif dan secara subjektif.
            Secara objektif, musik dapat dipahami sebagai sebuah ilmu (seperti halnya matematika, fisika, geometrid dan lain-lain). Dengan memandangnya sebagai ilmu, terdapat jarak antara musik (sebagai objek) dan manusia (sebagai subjek). Memahami musik sebagai objek berarti juga memahaminya secara teknis. Hal-hal yang menjadi perhatian lewat cara ini adalah dengan memperhatikan hal-hal teknis seperti tekstur suara yang ada, harmonisasi, teknik penjarian, pernafasan dan lain-lain. Di sini keindahan terkait dengan hal-hal teknis tersebut.
            Cara pandang yang lain adalah dengan memahami musik secara subjektif. Yang menjadi penekanan dari cara pandang ini adalah manusianya. Musik dipandang sebagai media untuk mengekspresikan diri. Orang dapat melanggar hukum-hukum harmoni dan teknik (jika perlu) asalkan dapat membebaskan ekspresinya. Hal-hal teknis seperti penjarian, pernafasan dan lainnya , yang begitu ditekankan pada cara pandang objektif, menjadi sekunder pada cara ini.
            Dua cara pandang mengenai musik tersebut di atas merupakan cara pandang yang dominan dalam keseharian manusia. Namun demikian, dua cara tersebut nampaknya melupakan hal yang begitu penting dalam musik. Pada dunia modern, musik sebagai metafisika sangat dilupakan. Bagaimana kelupaan itu terjadi? Sebagaimana telah kita ketahui bahwa musik begitu lekat dengan kehidupan manusia, baik secara individual maupun komunal, maka pertanyaan tersebut  harus dilihat dari kacamata ke-ber-manusia-an itu sendiri. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk yang tak dapat lepas dari sesama dan lingkungan sosialnya. Untuk itu, ada baiknya jika kita melihat hubungan musik dengan masyarakat.

Musik dan Masyarakat (modern)
Zaman modern adalah zaman yang ditandai dengan kemajuan teknik dan industri. Hal demikian menyebabkan segala aspek kehidupan (pada titik tertentu) dikait-kaitkan dengan pola-pola teknik dan industri tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada musik. Musik pada zaman modern sangat berkaitan dengan industri Musik menjadi komoditas, sama seperti barang-barang lain yang diperdagangkan. Sebagai barang dagangan, ia harus memenuhi tuntutan atau kehendak pasar. Oleh karena itu, maka musik tidak lagi memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai yang disandangnya kini adalah nilai jual belaka. Pada kesadaran konsumen keindahan musik juga terkait dengan keakraban musik dengan telingga mereka. Di sini tentu dapat dipahami bagaimana sebuah promosi menjadi begitu penting untuk dilakukan. Dengan publikasi besar-besaran, maka produk akan terasa begitu dekat dengan konsumen. Membuat konsumen merasa membutuhkan produk tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehidupan musik dalam dunia modern sangat didominasi oleh bentuk-bentuk komoditas.[2]
            Ketika musik telah menjadi komoditas, maka perbedaan-perbedaan yang ada pada jenis musik itu sendiri tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi para penikmat (manusia). Tidak ada beda antara musik pop dan klasik. Semua menjadi sama di hadapan pasar. Sangat tepat apa yang dikatakan oleh Adorno, seorang filsuf neo-marxis, dalam menggambarkan situasi tersebut. Ia mengatakan bahwa “The differences in reception official ‘classical’ musik and light musik no longer have any real significance. They are only still manipulated for reason of marketability.”[3] Jadi, jangankan untuk membicarakan musik Apollonian atau Dyonisian, untuk membicarakan musik klasik dan musik pop pun sudah tidak lagi memikat karena perbedaan keduanya sudah tilak lagi mempunyai arti di hadapan pasar.
            Lebih jauh, dari pemaparan di atas, dapat dilanjutkan dengan fungsi musik pada masyarakat  modern. Pada zaman modern musik berfungsi untuk menunjukan status sosial seseorang. Orang pergi ke gedung-gedung konser bukan lagi untuk menikmati musik tertentu, melainkan karena dengan menghadiri konser tersebut ia dapat meraih suatu stetus sosial tertentu.[4]  Lantas, bagaimana status-status tersebut dapat dikenakan? Pada dunia modern kategorisasi terhadap penikamat jenis musik tertentu menjadi penentu status sosial mereka. Penikmat musik rock identik dengan pemuda/i pemberontak, musik jazz identik dengan orang-orang pesolek dan hidup santai., musik blues identik dengan para pemabuk di bar-bar, musik dang-dut dengan masyarakat pinggiran, musik klasik dengan masyarakat kelas atas dan lain-lain. Ada begitu banyak identifikasi status dengan jenis musik yang diminati di zaman modern. Nyatakah status-status tersebut? Sebenarnya, jika dicermati lebih dalam, maka status-status tersebut merupakan rekayasa para produsen. Prodesen menawarkan bentuk-bentuk identitas tertentu bagi jenis-jenis musik yang ada. Lantas, atas dasar apa hal tersebut dapat terjadi? Tentunya atas dasar keuntungan dagang. Di sisi lain orang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan identitas yang ditawarkan. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika di dalam gedung konser musik klasik tidak semua orang yang datang mengerti atau menyukai musik yang dimainkan. Begitu juga dengan orang-orang di klab-klab malam yang menyajinan jenis musik tertentu.
            Kelupaan manusia akan musik sebagai metafisika di zaman modern nampaknya menjadi suatu hal yang wajar karena pengaruh dari kemajuan industri dan teknologi yang ada. Pada zaman modern, di mana segala sesuatu berjalan dan berubah dengan cepat, musik tidak lagi memiliki status ontologis yang jelas. Keberadaannya hanya menjadi sesuatu yang bersifat instrumental atau sebuah perangkat saja. Keindahan juga kemudian hanya menjadi hal yang sangat teknis. Hal demikian nampaknya menjadi sebuah konsekwensi dari kemajuan yang ada di zaman modern.
            Pemahaman akan musik pada zaman modern tidak lebih dari sekedar bunyi-bunyian belaka, yang kemudian mempengaruhi status sosial seseorang.  Lantas apa sebenarnya musik itu? Untuk mengetahui apa sebenarnya musik tersebut, maka mau-tidak mau kita harus kembali mencari pengertian musik mula-mula (yang telah terlupakan selama ini),

Musik
Pengertian Musik pada Kebudayaan Yunani Kuno
Untuk berbicara mengenai pemahaman akan musik, maka mau tidak mau. Kita harus melihatnya pada pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno. Mengapa? Karena harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan Yunani pada dunia musik cukup besar adanya. Perbendaharaan kata pada istilah-istilah musik modern masih tetap mencerminkan pengaruh tersebut. Istilah-istilah seperti melodi, ritme, harmoni, dan khorus merupakan contoh berpengaruhnya kebudayaan Yunani pada musik hingga saat ini. Namun berbeda dari zaman modern, yang telah melupakan makna dari istilah-istilah tersebut dan hanya memandangnya  sebagai istilah teknis belaka, pada budaya Yunani kuno istilah-istilah tersebut merupakan cerminan dari suatu konsep pemikiran dan maksud dari musik itu sendiri.[5]
            Musik dalam bahasa Yunani kuno disebut dengan istilah Mousike (mousike). Kata ini dikembangkan dari asal kata Mousa dan Ike. Mousa berasal dari bahasa Mesir Muse, sedangkan kata Ike berasal dari bahasa Celtik Aik.[6] Pada mitologi Mesir, Muse dipahami memiliki tiga personalitas, yakni: Melete (dewi yang membangkitkan), Mneme (dewi yang memelihara/merancang) dan Aeode (dewi yang memberikan pengertian).[7] Orang Yunani kemudian mengambil alih pemakaian mitologi ini dengan pengertian yang lebih luas. Pada budaya Yunani kuno, Muse berada di bawah kekuasaan Appolo (dewa pelindung seni). Dewi-dewi muse yang  berjumlah tiga pada awalnya disebut dengan istilah mosagetes (mosagetes). Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, pada masa Homeros, jumlah dewi-dewi tersebut bertambah menjadi sembilan.[8]
            Orang Yunani kuno menganggap semua seni adalah pelengkap dari musik. Mengikuti makna dari kata musik, maka semua tindakan yang dihasilkan oleh pikiran untuk menggambarkan suatu bentuk perasaan dari wilayah intelektual mengacu pada musik. Pengertian musik pada zaman itu digunakan untuk menyatakan setiap ruang aktivitas di mana roh beralu dari potensi menuju aktus dan menggunakan bentuk yang dpt diindrai.[9] Dengan demikian, musik memiliki status ontology yang tinggi dibandingkan dengan seni-seni yang lain. Seni-seni lain seperti puisi, teater dan tari dipahami merupakan bagian dari musik. Oleh karena itu, maka hanya musik yang memiliki dewi pelindung. Seni pahat, arsitektur dan seni lukis tidak memiliki dewi pelindung. Dewi-dewi musik pada kebudayaan Yunani tersebut adalah:
  1. Kalliope      : Dewi seni sastra dan syair
  2. Klio             : Dewi sejarah
  3. Erato          : Dewi sastra erotis
  4. Entrepé        : Dewi seni sastra liris
  5. Thalia          : Dewi ria jenaka
  6. Melponemé : Dewi tragedi
  7. Terpsichoré : Dewi seni tari
  8. Polyhymnia : Dewi olah nada
  9. Urania : Dewi ilmu bintang

Selain dewi-dewi yang berada di bawah naungan dewa Apollo tersebut, bangsa Yunani juga mengenal dewa lain sebagai dewa musik yaitu dewa Dyonisos yang merupakan dewa anggur dan mabuk-mabukan.  Sebagai dewa musik figurnya bertolak belakang dari Apollo.[10]
            Arti pengertian di atas dapat kita lihat bahwa musik pada pemahaman yang paling primordial sangat berbeda dari musik yang dipahami pada zaman modern. Jika pada zaman modern musik  hanya dipandang sebagai hal teknis yang berhubungan dengan industri, maka pada pengertian mula-mula ia tidak hanya berbicara mengenai hal-hal praktis melainkan juga hal spiritual yang dibungkus dalam mitos-mitos. Menarik untuk melihat kitab Hermetik Asclepius atau yang dikenal dengan The Perfect Sermon bab XIII. Di situ dikatakan bahwa musik adalah pengetahuan yang mendasari segala sesuatu, ia adalah ilmu tentang hubungan harmoni dengan alam semesta.[11] Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa musik merupakan sesuatu yang “dasyat” yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.

Penggunaan Musik Zaman Yunani Kuno
Pada kebudayaan Yunani kuno, musik memiliki banyak kegunaan. Di antaranya musik digunakan untuk mengiringi suatu ritus, untuk menghalau kekuatan jahat, sebagai epiklese (doa permohonan kehadiran roh), sebagai pengantar menuju katarsis (pemurnian jiwa) dalam suatu inisiasi, sebagai pengiring pemakaman dan sebagai kekuatan magis tertentu.[12]  Dalam komunitas Pythagoras musik juga dikenal sebagai obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit.[13]
            Musik pada masa itu dimainkan berdasarkan suatu tropos. Tropos adalah bentuk penamaan Yunani untuk suatu nada dasar. Dalam bahasa latin istilah ini lebih dikenal dengan sebutan modus. Pada masa itu terdapat tiga tropos utama, yaitu: Lydian, Frigian dan Dorian. Ketiga tropos tersebut merupakan symbol dan memiliki makna tertentu. Lydian yang berada di bawah naungan planet Jupiter merupakan lambing dari suara bangsa. Phrygian yang berada di bawah naungan planet Mars melambangkan roh yang bergelora dari para ksatria. Sedangkan  Dorian yang berada di bawah naungan matahari merupakan lambang dari kebebasan dan kekuatan.[14] Penyimbolan tropos ini sangat erat hubungannya dengan ajaran mistik tentang alam semesta dan dipercaya dapat mempengaruhi manusia dan alam sekitarnya. Musik menjadi daya penyatu antara makrokosmos dan mikrokosmos.[15] Hal tersebut tercermin dari ritus-ritus yang mereka lakukan saat itu.

Musik sebagai Gerak Metafisis
Musik, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan sebuah gerak dari potensi menuju aktus. Jika demikian, apakah musik itu dalam pengertian yang sesungguhnya? Musik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah gerak kehendak. Apa maksudnya musik sebagai gerak kehendak? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya jika kita kembali melihat pada sejarah filsafat.
            Dalam sejarah filsafat, terutama mengenai metafisika, pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah: Apakah dunia ini seperti yang tampak atau terlihat oleh kita? Thales mengatakan bahwa dunia ini tidak seperti yang tampak. Kenyataan yang sesungguhnya dari dunia ini adalah air. Pada plato, kita temukan jawaban yang berbeda. Tentu telah kita ketahui perumpamaannya tentang  manusia gua yang melihat bayang-bayang. Manusia bodoh menganggap bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas atau dunia yang sesungguhnya. Tetapi, menurut Plato, bayang-bayang yang dilihat mereka bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah dunia tempat di mana cahaya yang menyinari gua itu berasal. Tentu maksud dari perumpamaan itu adalah dunia yang sejati atau yang sesungguhnya bukanlah apa yang tampak di depan kita. Dunia yang tampak di hadapan kita hanyalah pengejawantahan dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia Idea.
            Menarik untuk melihat pendapat Arthur Schopenhauer yang mengatakan bahwa realitas yang tampak ini merupakan pengejawantahan dari kehendak. Kehendak merupakan dasar dari realitas yang tampak ini. Menurutnya, dunia yang tampak tersebut hanya merupakan sensasi-sensasi belaka atau dengan kata lain kita dapat menyebutnya “maya”.
            Dalam filsafat Schopenhauer, terdapat dua dunia yaitu: Dunia sebagai representasi dan dunia sebagai kehendak. Pembagian ini tentu mengingatkan kita pada  filsuf lain yaitu Immanuel Kant yang membagi dunia menjadi dunia fenomenal dan dunia noumenal. Bagi Schopenhauer, terdapat dua cara untuk mengetahui  kedua dunia tersebut. Cara yang pertama adalah cara untuk mengetahui dunia fenomenal dan cara kedua adalah cara untuk mengetahui dunia noumenal. Pengetahuan untuk menyingkap dunia representasi atau fenomenal adalah dengan ilmu-ilmu alam atau sains. Pada tataran ini dibutuhkan jarak antara subjek sebagai penahu dan objek sebagai yang diketahui agar pengetahuan dapat berfungsi. Sedangkan untuk mengetahui dunia noumenal atau kehendak, orang harus tidak memikirkannya sebagai objek, karena ia memang bukan objek tertentu. Jalan untuk mengetahuinya, bagi Schopenhauer, adalah lewat seni. Mengapa? Karena dalam seni yang terjadi bukanlah suatu objektifikasi terhadap realitas, melainkan adalah kontemplasi.[16]  Dalam kontemplasi hubungan subjek-objek hilang. Mereka tidak lagi terpisah melainkan satu. Dengan melakukan kontemplasi subjek meniadakan dirinya dan melebur dengan objek sehingga tidak ada lagi dualitas yang memisahkan mereka. Schopenhauer menyebut tindak tersebut dengan istilah will-less subject of knowledge. [17]
            Seni, dalam pandangan Schopenhauer, berpuncak pada musik. Mengapa? Karena pada seni-seni lain seperti seni lukis, pahat atau arsitektur kontemplasi yang dilakukan hanya merupakan kontemplasi terhadap dunia objektif, dunia fenomenal atau representasi saja. Jadi dapat dikatakan bahwa seni-seni lain selain musik hanyalah tiruan dari penampakan-penampakan saja. Lalu apa yang membedakannya dari musik? Schopenhauer beranggapan bahwa musik tidak memiliki rujukan di dunia fenomenal melainkan di dunia noumenal. Dalam bahasanya ia mengatakan bahwa musik tidak seperti seni-seni yang lain, yang merupakan tiruan dunia fenomenal; Musik adalah kehendak itu sendiri (dunia noumenal)[18]  Jadi apa yang menjadi “objek” pada musik adalah sesuatu yang metafisis, yaitu dunia fenomenal. Di sinilah kita dapat menyebut kembali (seperti yang dipahami oleh bangsa Yunani kuno) bahwa musik merupakan metafisika.
            Musik merupakan pesan dari surga. Pemusik, seperti yang dikatakan Nietzsche (filsuf yang juga dipengaruhi Schopenhauer), merupakan ventriloquist of God; Musik merupakan bahasa dari jurang yang tak berdasar (abyss), ia murni metafisik.[19] Pendapat tersebut nampaknya tidak berlebihan mengingat bahwa musik, walaupun tidak memiliki objek material, seperti pada seni-seni lain, namun dapat begitu mempengaruhi kehidupan manusia.
            Pemahaman musik pada zaman modern memang telah melupakan makna musik dan arti musik itu sendiri. Hal tersebut nampaknya  menjadi perlu untuk disingkap melalui pengingatan kembali akan apa itu musik. Musik sebagai metafisika, yaitu kehendak yang diungkapkan Schopenhauer, menunjukan bahwa musik memiliki status yang berbeda sama sekali dengan yang dipahami dalam dunia modern. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa musik bukan hanya terbatas pada bunyi-bunyian belaka, melainkan terkait dengan pemikiran tertentu, yaitu: metafisika. Musik sebagai gerak kehendak merupakan cara lain untuk menyebut bahwa ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia bukanlah aspek belaka dari kehidupan ini, melainkan hidup yang melingkupi kehidupan ini.

Penutup
Telah kita lihat bagaimana kelupaan akan musik sebagai metafisika di zaman modern sangat terkait dengan kemajuan teknologi dan industri. Hal demikian membuat musik, tidak lebih, hanya dipandang sebagai komuditas pasar yang diperjual-belikan. Musik untuk suatu status social tertentu memang terdengar menggelikan, namun itulah yang terjadi di zaman modern. Apa yang menjadi bahasan tulisan ini adalah untuk mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan ini, yaitu musik sebagai metafisika. Musik sebagai gerak dari kehidupan itu sendiri. Dengan melihat pemahaman musik yang terdapat pada zaman Yunani kuno dan filsafat Schopenhauer setidaknya dapat memberikan kejutan akan kesalahpahaman kita yang terjadi selama ini terhadap musik. Kiranya tulisan ini dapat membantu kita untuk memahami musik dengan lebih baik dan terlepas dari belenggu kepalsuan (penampakan/representasi) dari dunia  modern.


*catatan kaki dan daftar pustaka dihilangkan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Jika ada yang berminat dapat meminta versi lengkapnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar