Zaman Pencerahan merupakan
zaman yang optimistik dengan kemajuan sains dan rasionalitasnya.
Kemajuan-kemajuan tersebut membawa keyakinan bahwa manusia bisa dan pada
akhirnya akan menuju ke arah kemajuan yang paripurna. Pandangan yang optimistik
tersebut kiranya berdampak pada konsepsi sejarah manusia pada zaman itu.
Makalah ini akan mempresentasikan filsafat sejarah yang ada ada pemikiran Kant
dan tanggapan Herder terhadapnya. Karena itu pembahasan akan dimulai dengan
konsep diri. Ini penting karena otonomi diri di zaman Pencerahan begitu
diagung-agungkan. Pembahasan ini akan memberikan gambaran singkat tentang diri sebelum
melihat mengenai kesejarahan manusia. Pembahasan kemudian akan melihat hubungan
filsafat sejarah dan diri, di mana keduanya sebenarnya merupakan hal yang
spekulatif adanya. lalu akan dibahas singkat filsafat sejarah Kant dengan
dilanjutkan tanggapan dari Herder. makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan
dan tanggapan kristis.
Diri
Sebagai Acuan
Zaman Pencerahan tidak
dapat dilepaskan dari keterpesonaan terhadap manusia yang terjadi sejak zaman
Renaisans sekitar abad 16. Melalui kelahiran kembali (Renaissance) ini orang
mulai memandang diri sebagai sesuatu yang unik. Mereka melihat diri dan tubuh
mereka dengan tidak asing seperti sebelumnya, melainkan dengan rasa takjub.
Takjub terhadap dirinya sebagai manusia. Rasa keterpesonaan itu nantinya
membawa manusia pada subjektivitasnya. Ia menjadi pusat dan penentu bagi apa
yang ada di dunianya.
Sejak itu pula rasionalitas
manusia menjadi penting. Dengan rasio manusia mulai menalar kehidupannya dan
bersikap kritis terhadap tradisi-tradisi yang selama ini mengungkungnya. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya,
yakni: pertama, kesadaran diri sebagai subjek; kedua, sikap
kritis terhadap prasangka-prasangka dari tradisi/percaya
kepada otoritas sains; dan ketiga, progresivitas. Ketiga
jiwa modernitas di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mereka
eksis secara utuh bersama-sama.
Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom merupakan tujuan manusia. Dengan
sadar akan diri sebagai subjek otonom, maka dewasalah ia.[1]
Di sini konsepsi mengenai
diri sebagai subjek yang otonom menjadi penting adanya. Namun demikian, diri yang
dimaksud bukanlah diri dalam pengertian biasa, melainkan diri yang transenden;
yang melampaui kedirian personal. Schroeder mengatakan:
“Diri yang dipertanyakan
(di zaman modern – HS) bukanlah diri yang biasa, bukan individu secara
personal... Diri yang menjadi primadona (star performer) pada filsafat modern
Eropa adalah diri transendental atau ego transendental... Diri transenden itu
adalah diri yang tak lekang waktu, universal, dan berada di dalam setiap
manusia sepanjang sejarah.”[2]
lebih
lanjut, dalam filsafat Kant dapat ditemukan bahwa
“Diri tidak hanya menjadi fokus perhatian,
melainkan keseluruhan materi – subjek dari filsafat. Diri tidak hanya sebuah
entitas tertentu di dunia, melainkan
sesuatu yang menciptakan dunia. Memikirkan diri tidak hanya mengetahui
diri, melainkan mengetahui diri-diri yang lain, juga mengetahui struktur dari
tiap diri ada dan setiap diri yang mungkin.”[3]
Dari
pernyataan Schroeder tersebut dapat dilihat bagaimana keuniversalan itu penting
adanya di dalam zaman Pencerahan. Suatu konsepsi itu harus dapat benar dan
berlaku menyeluruh. Tidak terbatasi oleh tempat atau waktu.
Filsafat Sejarah dan Diri
Apakah
hubungan antara filsafat sejarah dan diri? Di atas telah disebutkan bahwa diri
dalam konsepsi Pencerahan adalah diri yang transenden, yang universal. Filsafat
sejarah berbicara tentang sesuatu yang transenden, ia adalah kebeluman. Apa
yang dibicarakan di dalam filsafat sejarah bukanlah sejarah dalam artian biasa,
yang telah lewat di belakang, melainkan adalah apa yang dapat ada di dalam
historisitas manusia itu sendiri. Namun demikian, ada baiknya jika jelas dahulu
pengertian sejarah dan filsafat sejarah sebelum kita melihat lebih jauh
keterkaitan filsafat sejarah dengan diri.
Sejarah
dan Pendekatan Terhadapnya
Kelahiran manusia adalah
keterlemparannya ke dalam sejarah. Ia terlempar ke dalam sejarah hidupnya
sendiri, terlempar ke dalam sejarah keluarga, ke dalam sejarah suku, bangsa,
negara, dunia dan terlebih ia terlempar ke dalam sejarah umat manusia. Tidak
ada cara lain, keterlemparan ke dalam sejarah merupakan faktisitas kehidupan
itu sendiri. Namun demikian, meskipun ia ada di dalam sejarah dan bersama-sama
menyejarah, sering kali sejarah itu menjadi sesuatu yang sangat berjarak dari
dirinya. Manusia baru menyadari akan adanya keterkaitan hidupnya dengan
“sejarah”[4]
justru ketika ia berusaha memaknai hidupnya. Dalam usaha memaknai itulah ia
melihat keterkaitan sejarah hidupnya sengan “sejarah”.
Keberjarakan dan pemaknaan
hidup memberikan pendekatan tersendiri yang khusus bagi sejarah. Baiklah kita
melihatnya demikian: Pendekatan terhadap sejarah dengan pengandaian adanya
jarak adalah sejarah saintifik. Sementara itu, pendekatan dengan pemaknaan
adalah sejarah spekulatif atau disebut juga filsafat sejarah.[5]
Sejarah saintifik, menurut Gordon Graham adalah:
“Sebuah usaha yang hanya
sampai pada pelaporan akan hal-hal yang terjadi pada masa lampau dengan
berdasarkan bukti-bukti yang ada tanpa perlu berefleksi atas hal tersebut,
tanpa perlu memprediksi arah dari kejadian-kejadian itu di masa depan, atau
memahami makna yang ada bagi umat manusia.”[6]
Dari penjelasan Gordon
tersebut dapat dilihat bagaimana suatu kejadian dihadapi sebagai data-data.
Orang melihat sejarah hanya sebagai sesuatu yang telah terjadi. Ini berarti
bahwa sejarah tidak dipahami sebagai sesuatu yang sedang berlangsung melainkan
sebagai sesuatu yang telah dilewati. Karena ia adalah masa yang telah dilewati,
maka pengetahuan terhadapnya juga hanya sebagai informasi atas peristiwa.
Misalnya, pernah terjadi gempa di kota A, atau penah di masa hidupku aku
mengalami kejadian X. Itulah yang terjadi di dalam pengetahuan akan sejarah
sebagai data-data.
Sementara itu, dalam
sejarah spekulatif dimungkinkan pemaknaan terhadap hidup dan kehidupan itu
sendiri. Dalam filsafat sejarah terdapat usaha untuk memahami makna sejarah
manusia sebagai keseluruhan. Gordon mengatakan bahwa filsafat sejarah adalah “untuk melihat dasar dari kejadian-kejadian
dan menemukan makna terdalam atau terutama.”[7]
Di sini dapat dilihat bagaimana filsafat sejarah mencoba menguak apa yang
tersembunyi di balik fenomena-fenomena yang timbul di dalam sejarah. Sekilas,
orang dapat mengatakan bahwa antara filsafat sejarah dan sejarah saintifik itu
berbeda sama sekali. Namun demikian, sungguh merupakan kekeliruan jika kita
memandang dua pendekatan ini sebagai sesuatu yang tidak berhubungan sama
sekali. Filsafat sejarah tidak mungkin berdiri tanpa fenomena-fenomena aktual
sebagaimana yang dilaporkan di dalam sejarah saintifik. Dengan kata lain,
filsafat sejarah membutuhkan atau bahkan hadir sebagai “kanopi komprehensif”
dari sejarah saintifik.
Filsafat
Sejarah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, filsafat sejarah
merupakan suatu usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan,
maka pada bagian ini akan berfokus pada penjelasan terhadapnya. Istilah
“filsafat sejarah” diperkenalkan pertama kali oleh Voltaire dalam karyanya Essay on the Customs and the Spirit of Nations, 1769. Di situ ia meneliti
mengenai kebiasaan-kebiasaan dan agama dari berbagai negara termasuk Cina,
India, dan tentu saja Eropa. Apa yang menarik dari karyanya itu adalah pertama
perspektif baru yang digunakannya untuk melihat kemajuan (progress)
dari umat manusia. Kedua, kesadaran untuk menggunakan metode yang
rasional dalam menjelaskan kemajuan umat manusia tersebut.[8]
Dari dua
hal yang menarik dari Voltaire tersebut dapat dilihat bagaimana sejarah,
sebagai sesuatu yang lebih besar dari pada sekedar data-data dari masa lampau,
harus mendapat penjelasan yang rasional. Maksudnya adalah tidak cukup hanya
dengan penjelasan-penjelasan mitis dan mitologis mengapa sesuatu dapat terjadi
dan akan membawa kita ke mana peristiwa yang terjadi tersebut. Rasionalitas
dalam filsafat sejarah kiranya terangkum melalui tiga pertanyaan mendasar yang
di catat oleh Roland H. Nash sebagai berikut. [9]
1.
Apakah pola dari sejarah itu?
2.
Apakah mekanisme yang berlaku di dalam sejarah?
3.
Apakah tujuan atau nilai dari sejarah?
Pada
pertanyaan pertama tertuang tiga jawaban yang berbeda. Pertama pola
sejarah dipahami sebagai suatu pola yang berulang atau siklis. Pada filsafat
Yunani misalnya, sejarah dipahami sebagai sesuatu yang berulang adanya. Jawaban
kedua adalah pola sejarah itu linear. Sementara jawaban ketiga, yang
dikembangkan di kemudian hari merupakan gabungan dari pola sejarah siklis dan
linear (namun demikian, untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai Kant dan
Herder, saya menekankan hanya pada pola siklis dan linear saja). Tradisi Kristen kiranya cendrung memahami
sejarah sebagai sesuatu yang linear.
Jawaban
bagi pertanyaan kedua adalah menyangkut soal bagaimana perubahan itu terjadi.
Di sini dicoba diungkap apakah yang memungkinkan sejarah itu terjadi. Pada Kant
rasionalitas merupakan pembentuk, sementara pada Hegel dikemukakan bahwa
roh-lah yang memungkinkan perubahan demi menemukan dirinya sendiri. Sementara
itu pada pertanyaan ketiga merupakan pertanyaan teleologis yang mau memberikan
jawaban apa yang ada di ujung proses sejarah yang berlangsung.
Kant dan Filsafat Sejarah
Immanuel
Kant merupakan pemikir yang sangat sentral di dalam alam pikir pencerahan.
Gagasan filosofis yang diusungnya bersumber dari usahanya untuk mendamaikan
pertentangan yang terdapat di dalam rasionalisme dan empirisisme. Secara
sederhana problem yang dihadapi oleh dua aliran pemikiran itu adalah dari
manakah sumber pengetahuan tersebut? Kaum rasionalis meyakini bahwa rasiolah
yang menjadi sumber pengetahuan. Dalam
hal ini, dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat apriori. Sementara itu,
kaum empiris meyakini bahwa melalui pengalamanlah pengetahuan itu dimungkinkan,
atau pengetahuan itu bersifat aposteriori.
Pendamaian
yang dilakukan oleh Kant adalah “membenarkan” apa yang diyakini oleh kaum
rasionalis dan juga apa yang diyakini oleh kaum empiris. Namun demikian, ia
memberikan catatan terhadap kedua aliran itu pula. Baginya pengalaman memang
merupakan sumber dari pengetahuan, namun apa yang didapat dari pengalaman
belumlah sungguh-sungguh sebuah pengetahuan. Untuk menjadi pengetahuan,
pengalaman harus diolah lagi oleh rasio. Di sini diperlukan kategori-kategori
(yang berjumlah 12[10])
untuk dapat menjadikan pengalaman menjadi sebuah pengetahuan. Melalui 12
kategori tersebut, pengalaman (pengetahuan taraf awal, pengetahuan kaum
empiris) dikonseptualisasi sedemikian sehingga menjadi pengetahuan. Jadi
pengetahuan sebenarnya adalah sintesis dari unsur apriori dan unsur
aposteriori.
Dalam
proses untuk mencapai pengetahuan, Kant membagi tiga tahap proses pengetahuan,
yakni: taraf pengenalan inderawi,
taraf Verstand, dan taraf Vernunft.
1.
Taraf Pengenalan Inderawi
Sebelum
melihat lebih jauh apa itu yang dapat diketahui, perlu kiranya kita mengerti
bahwa Kant membagi realitas menjadi fenomena
dan noumena. Fenomena adalah realitas
yang dapat ditangkap oleh indera-indera manusia, seperti alam, kursi, meja dan
hal-hal material lainnya. Sementara itu, realitas noumena tidak dapat
diinderai. Namun demikian, bukan berarti noumena
adalah sebuah “omong kosong” belaka. Bagi Kant, noumena ini berada dan menjadi unsur penting adanya fenomena. Jika fenomena adalah das Ding für mich (benda bagi diriku), maka noumena adalah das Ding an Sich (benda pada dirinya
sendiri).
Apa yang
dapat diketahui oleh manusia adalah apa yang dapat diinderai olehnya. Apa yang
dapat diinderai itu tidak lain adalah realitas fenomena. Taraf pengenalan
inderawi terdapat pada realitas ini. Kita mengetahui bahwa ada air, ada batu,
ada hujan dan banyak hal lain karena kita memiliki pengalaman terhadap
realitas-realitas itu.
2.
Taraf Verstand (nalar)
Pada
taraf ini pengalaman-pengalaman inderawi kemudian di konseptualisasi sedemikian
rupa melalui 12 kategori yang dimiliki oleh manusia. Hasil dari konseptualisasi
itulah yang kemudian disebut sebagai pengetahuan. Misalnya, saya meletakan
sepanci air di atas api. Saat air itu mencapai suhu 100 derajat celcius ia
mendidih. Berdasarkan pengalaman yang saya jumpai, akal budi saya pada taraf
ini akan menerapkan kategori kausalitas pada fenomena ini. Dari situ saya
mengambil kesimpulan bahwa jika air dipanaskan hingga mencapai suhu 100 derajat
celcius, maka ia mendidih. Itulah pengetahuan.
3.
Taraf Vernunft (budhi)
Taraf ini
tidak menndasarkan diri pada fenomena seperti pada taraf-taraf sebelumnya. Apa
yang ada pada taraf ini adalah perangkuman pengetahuan dan mengangkatnya ke
taraf yang lebih tinggi. Maksudnya adalah pengetahuan yang ada selama ini dirangkum
sedemikian rupa dalam suatu kesatuan tertinggi (ide). Kant melihat ada tiga
idea, yakni: ide jiwa, ide dunia dan ide
Allah. Ide jiwa itu merupakan ide
yang mendasari semua fenomena batiniah yang ada. Sementara ide dunia menyatukan
fenomena-fenomena lahiriah. Sedangka ide Allah adalah dasar bagi ide jiwa dan
ide dunia. Ketiga ide tersebut mengarahkan seluruh pengetahuan manusia kea rah
yang lebih tinggi.
Sebagai
sebuah ilmu, filsafat sejarah Kant berada pada tataran Verstand. Maksudnya adalah dengan bertumpu pada apa yang terjadi di
realitas empirik, ia menyimpulkan dan memprediksi jalannya sejarah. Sebagaimana
yang terjadi di sejak zaman Renaisans, di mana kemajuan ilmu-ilmu alam
berkembang dengan pesatnya, maka filsafat sejarah Kant tidak terlepas dari “roh
kemajuan”itu sendiri. Ia dengan optimis melihat bahwa sejarah manusia akan
menjadi semakin lebih baik dan semakin rasional.
Filsafat
sejarah Kant membawa ide-ide zaman Pencerahan di dalamnya.[11]
Sebagaimana telah disebutkan di atas, tiga elemen penting dalam Pencerahan,
yakni: rasionalitas, kritis terhadap tradisi (percaya pada sains), dan
kemajuan, ada di dalam konsepsi filsafat sejarah Kant. Ketiga elemen tersebut
kemudian membentuk pandangan sejarah yang bersifat linear, maju ke arah
tertentu. Dengan kata lain, sejarah itu memiliki telos-nya yang rasional.
Seperti yang diungkapkan oleh Nash:
“Kant menghadirkan sejarah secara linear yang
mendorong optimisme ke arah masa depan. Ia begitu yakin bahwa manusia akan
terus ke arah pemerintahan dunia (worldwide government) yang akan menetapkan
kedamaian dan hukum rasional.”[12]
Terkait dengan pandangan tentang rasionalitas manusia di zaman
Pencerahan, sejarah dalam pandangan Kant terkait dengan nalar (reason). Dengan
kata lain sejarah adalah sejarah nalar (history of reason). Sejarah nalar
sendiri terejawantah menjadi menjai (1) sejarah nalar pembentuk kembali dunia
dan (2) sejarah nalar yang kemudian diketahui (becoming known) dan menjelaskan
dirinya.[13]
Kategori sejarah nalar pertama
bersifat praksis. Maksudnya adalah dalam kategori praksis ini nalar manusia
mengejawantahkan dirinya ke dalam dunia aktual, atau fenomenal. Misalnya saat
kita menulis. Ketika menulis, nalar yang berada di dalam pikiran
mengejawantahkan diri ke dalam tulisan-tulisan yang kita buat. Dalam arti
tertentu, sesuatu yang noumenal terejawantah ke alam fenomenal dan dapat
diinderai. Di sini aktivitas sejarah bersifat terbuka dan dinamis. Sementara
itu, kategori sejarah kedua ada pada lingkup teoritis. Di sini nalar manusia
membentuk paradigma atas sejarah itu sendiri. Ia mengartikulasikan konsep,
prinsip dan kepentingan lain dalam suatu sistem yang koheren. Di sini sejarah
menjadi tertutup adanya karena terbelenggu pada disiplin ilmu teoritis
tertentu.[14]
Sejarah praxis merupakan sejarah
yang begitu penting bagi Kant. Mengapa? Karena ia melihat adanya tugas moral di
dalam sejarah itu sendiri. Di sini, sejarah menjadi domain di mana tindakan
manusia secara normatif untuk membuat sintesa antara tuntutan dan dunia
keseharian. Hasil dari sintesa tersebut adalah prinsip totalisasi tertinggi
yang bermuara pada kebaikan tertinggi di dunia. Tentu sangat jelas kebaikan
tertinggi itu sendiri adalah moralitas yang rasional. Dengan demikian, apa yang
terjadi di dalam sejarah terkait erat dengan maxim yang terdapat di dalam etika
Kant.
Filsafat Sejarah Herder
(Tanggapan terhadap sejarah rasional Pencerahan)
Johann Gottfried Herder lahir di
Prusia tahun 1744. pendidikan yang dienyamnya adalah filsafat, sastra, dan
teologi di universitas Köningsberg. Ia adalah salah seorang murid Kant dan
banyak dipengaruhi olehnya, namun dikemudian hari pandangannya menjadi berbeda
dengan Kant sendiri.
Filsafat sejarah Herder tertuang
di dalam bukunya Ideas Toward a Philosophy of the History of man. Buku ini
sendiri terbit pada tahun yang sama dengan karya Kant (esai), Idea of a
Universal History, yaitu tahun 1784.
Berbeda dengan Kant, Herder tidak
memandang sejarah sebagai sesuatu yang lurus dan menuju pada sesuatu yang
melulu pasti lebih baik adanya. Tidak
ada tujuan di dalam sejarah itu sendiri. Lebih lanjut, tidak ada tempat bagi impian utopis tentang
kesempurnaan yang dapat dicapai manusia.[15]
Dengan demikian, seperti apakah filsafat
sejarah Herder itu? Berbeda dengan Kant yang memandang sejarah itu bersifat
universal dan rasional, Herder lebih menekankan aspek partikular di dalam
sejarah. Maksudnya, sejarah itu berbeda di tiap tempat dan zaman. Masing-masing
budaya mengembangkan atau menjalani sejarahnya sendiri. Di sini nampak bahwa
apa yang digagas oleh Kant dengan universalitas dan rasionalitas sejarahnya itu terlalu
memaksakan dan bersifat utopis.
Bagaimana mungkin budaya yang berbeda dapat menjadi sama. Paling tidak, walau
pun pada budaya lain ada rasionalitas tetapi apakah rasionalitas yang sama
dengan apa yang dimaksud Kant? Berbeda dari Kant yang melihat bahwa
perkembangan manusia ditandai dengan rasionalitas, pada Herder perkembangan itu
ditandai oleh kapasitas-kapasitas lain di dalam manusia.[16]
Misalnya, kepercayaan, seni, sosialitas, dan lain-lain.
Kritik Herder sebenarnya
memperlihatkan kelemahan pengandaian filsafat sejarah Pencerahan yang begitu menekankan kesatuan (universalitas) dan rasioalitas.
Nash mencatat empat perbedaan dari filsafat sejarah Kant (Pencerahan) dan
filsafat sejarah yang digagas oleh Herder.[17]
- Zaman pencerahan menekankan kemajuan. Sejarah dipandang sebagai perkembangan umat manusia dari bentuk yang paling barbar dan dipenuhi tahayul ke arah tercerahkan dan rasional. Herder melihat bahwa sejarah itu tidak berjalan secara rasional, melainkan justru nonrasional dan tak sadar (unconcious). Dengan demikian, berbeda dari Kant yang melihat sejarah itu adalah hasil dari kesadaran pikiran dan rencana manusia, Herder melihat bahwa manusia di berbagai tempat dan waktu mengembangkan dirinya tanpa diikuti oleh kepatuhan pada harapan-harapan rasional.
- Zaman Pencerahan melihat masa lalu sebagai masa barbar dan tak tercerahkan. Sementara itu, Herder memandang bahwa masa lalu itu harus dilihat dengan simpati. Kita tidak bisa menilai masa lalu dengan standar masa kini melainkan kita harus mengerti dari dalam masa lalu itu sendiri. maksudnya adalah jika kita mau menilai masa lalu, maka kita harus melihat pula aspek-aspek lain yng ada saat itu. Dengan demikian, masa lalu dapat dipahami dalam keunikannya.
- Zaman Pencerahan memandang umat manusia itu seragam dan tak berubah. Implikasinya, setiap kelompok masyarakat digerakan oleh ideal-ideal yang sama yaitu rasional. Sementara itu, Herder melihat bahwa manusia itu berbeda di tiap tempat dan zamannya. Untuk menjelaskan hal tersebut, tidak seperti Pencerahan yang gemar menganalogikan sesuatu dengan mesin, Herder memakai analogi tumbuhan. Baginya pertumbuhan budaya di tiap tempat dan daerah adalah hasil dari orang yang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Budaya itu tumbuh dengan caranya masing-masing tanpa dibatasi oleh hukum universal tertentu.
- Zaman Pencerahan mengandaikan keajegan manusia. Ia mengesampingkan pengaruh lingkungan pada sejarah manusia. Bagi Herder sejarah manusia itu sendiri berkembang dengan pengaruh dari kondisi-kondisi tertentu dan lingkungan di sekitarnya.
- Zaman Pencerahan mendekati sejarah dengan kontrol dari pengandaian akan data-data. Maksudnya adalah data-data aktual yang ada di dalam sejarah dapat dijadikan tolok ukur untuk merumuskan pola sejarah. Bagi Herder masa lalu itu harus diperlakukan tanpa bias dari masa kini.
Penutup
Cita-cita manusia pencerahan yang mengacu pada otonomi dan
rasionalitas diri memiliki kaitan erat dengan konsepsi mereka mengenai
kesejarahan umat manusia. Dari sudut filsafat sejarah sendiri, konsepsi
Pencerahan (dalam hal ini Kant) tidak dapat melepaskan diri dari semangat
Pencerahan yaitu: kesadaran diri sebagai subjek yang otonom, Kritis terhadap
tradisi, dan percaya akan progresivitas. Sejarah dipahami sebagai tunggal dan
bersifat universal dibawah hukum rasional; dan secara rasional pula sejarah
menuju ke arah yang lebih baik.
Herder,
meskipun hidup di zaman Pencerahan
memiliki tendensi yang berbeda dalam melihat sejarah. Ia melihat bahwa
totalitas sejarah yang terdapat di dalam semangat Pencerahan itu sendiri dapat
menimbulkan bias-bias tertentu dalam memahami kemanusiaan dan juga sejarah atasnya.
Penekanan pada partikularitas di dalam sejarah dari Herder tentunya penting
mengingat dalam setiap totalitas akan ada banyak yang tertindas.
Namun
demikian, masih bisa diperdebatkan mengenai sanggahan-sanggahan yang
dikemukakan oleh Herder. Misalnya, tidakkah pandangannya dapat jatuh ke dalam
relativisme? jika melihat bahwa ia menolak universalitas, maka ia tentu bisa
jatuh ke dalam relativisme. Lebih lanjut, ketika ia menawarkan untuk melihat
sejarah dari dalam untuk meminimalisir bias yang dapat timbul. Bagaimana
mungkin kita bisa benar-benar melihat dari dalam masa lalu itu sendiri? ini
kiranya merupakan pertanyaan epistemologis yang mendasar bagi Herder. Kemudian,
pandangannya yang menolak data-data faktual untuk merumuskan sejarah. Bagaimana
mungkin ada rumusan tanpa didasari data aktual? Bukankah Herder sendiri
membangun gagasannya berdasarkan data-data yang ia terima? Dari sini terlihat
ada paradox dalam pandangan Herder. Namun demikian, Ada hal penting yang dapat
kita pelajari dari Herder pada kritiknya terhadap sejarah model Pencerahan.
Kritik Herder tersebut mengingatkan kita untuk melihat bagaimana proyek-proyek
kemajuan, seperti yang diusung dalam filsafat sejarah Kant dapat menjadi
tendensius jika dikaitkan dengan otoritarian dalam politik. Lebih dari itu,
pandangan sejarah yang mengacu pada kemajuan itu kiranya kurang melihat aspek
keragaman dari kpasitas manusia terhadap ide kemajuan tersebut. Di sini saya
pikir kritik Herder masih dapat bergaung di zaman ini.
* DAFTAR PUSTAKA DAN CATATAN KAKI TIDAK DIPERLIHATKAN GUNA MENGHINDARI HAL-HAL YANG TIDAK DIINGINKAN. NAMUN JIKA BERMINAT ANDA DAPAT MEMINTA VERSI LENGKAP DARI TULISAN INI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar