Translate

Sabtu, 21 April 2012

OPTIMISME SEJARAH MANUSIA PENCERAHAN “ Kritik Herder terhadap Filsafat Sejarah Kant”

Zaman Pencerahan merupakan zaman yang optimistik dengan kemajuan sains dan rasionalitasnya. Kemajuan-kemajuan tersebut membawa keyakinan bahwa manusia bisa dan pada akhirnya akan menuju ke arah kemajuan yang paripurna. Pandangan yang optimistik tersebut kiranya berdampak pada konsepsi sejarah manusia pada zaman itu. Makalah ini akan mempresentasikan filsafat sejarah yang ada ada pemikiran Kant dan tanggapan Herder terhadapnya. Karena itu pembahasan akan dimulai dengan konsep diri. Ini penting karena otonomi diri di zaman Pencerahan begitu diagung-agungkan. Pembahasan ini akan memberikan gambaran singkat tentang diri sebelum melihat mengenai kesejarahan manusia. Pembahasan kemudian akan melihat hubungan filsafat sejarah dan diri, di mana keduanya sebenarnya merupakan hal yang spekulatif adanya. lalu akan dibahas singkat filsafat sejarah Kant dengan dilanjutkan tanggapan dari Herder. makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan kristis.
Diri Sebagai Acuan
Zaman Pencerahan tidak dapat dilepaskan dari keterpesonaan terhadap manusia yang terjadi sejak zaman Renaisans sekitar abad 16. Melalui kelahiran kembali (Renaissance) ini orang mulai memandang diri sebagai sesuatu yang unik. Mereka melihat diri dan tubuh mereka dengan tidak asing seperti sebelumnya, melainkan dengan rasa takjub. Takjub terhadap dirinya sebagai manusia. Rasa keterpesonaan itu nantinya membawa manusia pada subjektivitasnya. Ia menjadi pusat dan penentu bagi apa yang ada di dunianya.
Sejak itu pula rasionalitas manusia menjadi penting. Dengan rasio manusia mulai menalar kehidupannya dan bersikap kritis terhadap tradisi-tradisi yang selama ini mengungkungnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya, yakni: pertama, kesadaran diri sebagai subjek; kedua, sikap kritis terhadap prasangka-prasangka dari tradisi/percaya kepada otoritas sains; dan ketiga, progresivitas. Ketiga jiwa modernitas di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mereka eksis secara utuh bersama-sama. Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom merupakan tujuan manusia. Dengan sadar akan diri sebagai subjek otonom, maka dewasalah ia.[1]
Di sini konsepsi mengenai diri sebagai subjek yang otonom menjadi penting adanya. Namun demikian, diri yang dimaksud bukanlah diri dalam pengertian biasa, melainkan diri yang transenden; yang melampaui kedirian personal. Schroeder mengatakan:
Diri yang dipertanyakan (di zaman modern – HS) bukanlah diri yang biasa, bukan individu secara personal... Diri yang menjadi primadona (star performer) pada filsafat modern Eropa adalah diri transendental atau ego transendental... Diri transenden itu adalah diri yang tak lekang waktu, universal, dan berada di dalam setiap manusia sepanjang sejarah.”[2]
lebih lanjut, dalam filsafat Kant dapat ditemukan bahwa
Diri tidak hanya menjadi fokus perhatian, melainkan keseluruhan materi – subjek dari filsafat. Diri tidak hanya sebuah entitas tertentu di dunia, melainkan  sesuatu yang menciptakan dunia. Memikirkan diri tidak hanya mengetahui diri, melainkan mengetahui diri-diri yang lain, juga mengetahui struktur dari tiap diri ada dan setiap diri yang mungkin.”[3]
Dari pernyataan Schroeder tersebut dapat dilihat bagaimana keuniversalan itu penting adanya di dalam zaman Pencerahan. Suatu konsepsi itu harus dapat benar dan berlaku menyeluruh. Tidak terbatasi oleh tempat atau waktu.
Filsafat Sejarah dan Diri
Apakah hubungan antara filsafat sejarah dan diri? Di atas telah disebutkan bahwa diri dalam konsepsi Pencerahan adalah diri yang transenden, yang universal. Filsafat sejarah berbicara tentang sesuatu yang transenden, ia adalah kebeluman. Apa yang dibicarakan di dalam filsafat sejarah bukanlah sejarah dalam artian biasa, yang telah lewat di belakang, melainkan adalah apa yang dapat ada di dalam historisitas manusia itu sendiri. Namun demikian, ada baiknya jika jelas dahulu pengertian sejarah dan filsafat sejarah sebelum kita melihat lebih jauh keterkaitan filsafat sejarah dengan diri.
Sejarah dan Pendekatan Terhadapnya
Kelahiran manusia adalah keterlemparannya ke dalam sejarah. Ia terlempar ke dalam sejarah hidupnya sendiri, terlempar ke dalam sejarah keluarga, ke dalam sejarah suku, bangsa, negara, dunia dan terlebih ia terlempar ke dalam sejarah umat manusia. Tidak ada cara lain, keterlemparan ke dalam sejarah merupakan faktisitas kehidupan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ia ada di dalam sejarah dan bersama-sama menyejarah, sering kali sejarah itu menjadi sesuatu yang sangat berjarak dari dirinya. Manusia baru menyadari akan adanya keterkaitan hidupnya dengan “sejarah”[4] justru ketika ia berusaha memaknai hidupnya. Dalam usaha memaknai itulah ia melihat keterkaitan sejarah hidupnya sengan “sejarah”.
Keberjarakan dan pemaknaan hidup memberikan pendekatan tersendiri yang khusus bagi sejarah. Baiklah kita melihatnya demikian: Pendekatan terhadap sejarah dengan pengandaian adanya jarak adalah sejarah saintifik. Sementara itu, pendekatan dengan pemaknaan adalah sejarah spekulatif atau disebut juga filsafat sejarah.[5] Sejarah saintifik, menurut Gordon Graham adalah:
Sebuah usaha yang hanya sampai pada pelaporan akan hal-hal yang terjadi pada masa lampau dengan berdasarkan bukti-bukti yang ada tanpa perlu berefleksi atas hal tersebut, tanpa perlu memprediksi arah dari kejadian-kejadian itu di masa depan, atau memahami makna yang ada bagi umat manusia.”[6]
Dari penjelasan Gordon tersebut dapat dilihat bagaimana suatu kejadian dihadapi sebagai data-data. Orang melihat sejarah hanya sebagai sesuatu yang telah terjadi. Ini berarti bahwa sejarah tidak dipahami sebagai sesuatu yang sedang berlangsung melainkan sebagai sesuatu yang telah dilewati. Karena ia adalah masa yang telah dilewati, maka pengetahuan terhadapnya juga hanya sebagai informasi atas peristiwa. Misalnya, pernah terjadi gempa di kota A, atau penah di masa hidupku aku mengalami kejadian X. Itulah yang terjadi di dalam pengetahuan akan sejarah sebagai data-data.
Sementara itu, dalam sejarah spekulatif dimungkinkan pemaknaan terhadap hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam filsafat sejarah terdapat usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan. Gordon mengatakan bahwa filsafat sejarah adalah “untuk melihat dasar dari kejadian-kejadian dan menemukan makna terdalam atau terutama.”[7] Di sini dapat dilihat bagaimana filsafat sejarah mencoba menguak apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena yang timbul di dalam sejarah. Sekilas, orang dapat mengatakan bahwa antara filsafat sejarah dan sejarah saintifik itu berbeda sama sekali. Namun demikian, sungguh merupakan kekeliruan jika kita memandang dua pendekatan ini sebagai sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Filsafat sejarah tidak mungkin berdiri tanpa fenomena-fenomena aktual sebagaimana yang dilaporkan di dalam sejarah saintifik. Dengan kata lain, filsafat sejarah membutuhkan atau bahkan hadir sebagai “kanopi komprehensif” dari sejarah saintifik.

Filsafat Sejarah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, filsafat sejarah merupakan suatu usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan, maka pada bagian ini akan berfokus pada penjelasan terhadapnya. Istilah “filsafat sejarah” diperkenalkan pertama kali oleh Voltaire dalam karyanya Essay on the Customs and the Spirit of Nations, 1769. Di situ ia meneliti mengenai kebiasaan-kebiasaan dan agama dari berbagai negara termasuk Cina, India, dan tentu saja Eropa. Apa yang menarik dari karyanya itu adalah pertama perspektif baru yang digunakannya untuk melihat kemajuan (progress) dari umat manusia. Kedua, kesadaran untuk menggunakan metode yang rasional dalam menjelaskan kemajuan umat manusia tersebut.[8]
Dari dua hal yang menarik dari Voltaire tersebut dapat dilihat bagaimana sejarah, sebagai sesuatu yang lebih besar dari pada sekedar data-data dari masa lampau, harus mendapat penjelasan yang rasional. Maksudnya adalah tidak cukup hanya dengan penjelasan-penjelasan mitis dan mitologis mengapa sesuatu dapat terjadi dan akan membawa kita ke mana peristiwa yang terjadi tersebut. Rasionalitas dalam filsafat sejarah kiranya terangkum melalui tiga pertanyaan mendasar yang di catat oleh Roland H. Nash sebagai berikut. [9]
1.      Apakah pola dari sejarah itu?
2.      Apakah mekanisme yang berlaku di dalam sejarah?
3.      Apakah tujuan atau nilai dari sejarah?

Pada pertanyaan pertama tertuang tiga jawaban yang berbeda. Pertama pola sejarah dipahami sebagai suatu pola yang berulang atau siklis. Pada filsafat Yunani misalnya, sejarah dipahami sebagai sesuatu yang berulang adanya. Jawaban kedua adalah pola sejarah itu linear. Sementara jawaban ketiga, yang dikembangkan di kemudian hari merupakan gabungan dari pola sejarah siklis dan linear (namun demikian, untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai Kant dan Herder, saya menekankan hanya pada pola siklis dan linear saja).  Tradisi Kristen kiranya cendrung memahami sejarah sebagai sesuatu yang linear.

Jawaban bagi pertanyaan kedua adalah menyangkut soal bagaimana perubahan itu terjadi. Di sini dicoba diungkap apakah yang memungkinkan sejarah itu terjadi. Pada Kant rasionalitas merupakan pembentuk, sementara pada Hegel dikemukakan bahwa roh-lah yang memungkinkan perubahan demi menemukan dirinya sendiri. Sementara itu pada pertanyaan ketiga merupakan pertanyaan teleologis yang mau memberikan jawaban apa yang ada di ujung proses sejarah yang berlangsung.

Kant dan Filsafat Sejarah
Immanuel Kant merupakan pemikir yang sangat sentral di dalam alam pikir pencerahan. Gagasan filosofis yang diusungnya bersumber dari usahanya untuk mendamaikan pertentangan yang terdapat di dalam rasionalisme dan empirisisme. Secara sederhana problem yang dihadapi oleh dua aliran pemikiran itu adalah dari manakah sumber pengetahuan tersebut? Kaum rasionalis meyakini bahwa rasiolah yang menjadi  sumber pengetahuan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat apriori. Sementara itu, kaum empiris meyakini bahwa melalui pengalamanlah pengetahuan itu dimungkinkan, atau pengetahuan itu bersifat aposteriori.
Pendamaian yang dilakukan oleh Kant adalah “membenarkan” apa yang diyakini oleh kaum rasionalis dan juga apa yang diyakini oleh kaum empiris. Namun demikian, ia memberikan catatan terhadap kedua aliran itu pula. Baginya pengalaman memang merupakan sumber dari pengetahuan, namun apa yang didapat dari pengalaman belumlah sungguh-sungguh sebuah pengetahuan. Untuk menjadi pengetahuan, pengalaman harus diolah lagi oleh rasio. Di sini diperlukan kategori-kategori (yang berjumlah 12[10]) untuk dapat menjadikan pengalaman menjadi sebuah pengetahuan. Melalui 12 kategori tersebut, pengalaman (pengetahuan taraf awal, pengetahuan kaum empiris) dikonseptualisasi sedemikian sehingga menjadi pengetahuan. Jadi pengetahuan sebenarnya adalah sintesis dari unsur apriori dan unsur aposteriori.
Dalam proses untuk mencapai pengetahuan, Kant membagi tiga tahap proses pengetahuan, yakni: taraf pengenalan inderawi, taraf Verstand, dan taraf Vernunft.
1.      Taraf Pengenalan Inderawi
Sebelum melihat lebih jauh apa itu yang dapat diketahui, perlu kiranya kita mengerti bahwa Kant membagi realitas menjadi fenomena dan noumena. Fenomena adalah realitas yang dapat ditangkap oleh indera-indera manusia, seperti alam, kursi, meja dan hal-hal material lainnya. Sementara itu, realitas noumena tidak dapat diinderai. Namun demikian, bukan berarti noumena adalah sebuah “omong kosong” belaka. Bagi Kant, noumena ini berada dan menjadi unsur penting adanya fenomena.  Jika fenomena adalah das Ding für mich (benda bagi diriku), maka noumena adalah das Ding an Sich (benda pada dirinya sendiri).
Apa yang dapat diketahui oleh manusia adalah apa yang dapat diinderai olehnya. Apa yang dapat diinderai itu tidak lain adalah realitas fenomena. Taraf pengenalan inderawi terdapat pada realitas ini. Kita mengetahui bahwa ada air, ada batu, ada hujan dan banyak hal lain karena kita memiliki pengalaman terhadap realitas-realitas itu.
2.      Taraf Verstand (nalar)
Pada taraf ini pengalaman-pengalaman inderawi kemudian di konseptualisasi sedemikian rupa melalui 12 kategori yang dimiliki oleh manusia. Hasil dari konseptualisasi itulah yang kemudian disebut sebagai pengetahuan. Misalnya, saya meletakan sepanci air di atas api. Saat air itu mencapai suhu 100 derajat celcius ia mendidih. Berdasarkan pengalaman yang saya jumpai, akal budi saya pada taraf ini akan menerapkan kategori kausalitas pada fenomena ini. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa jika air dipanaskan hingga mencapai suhu 100 derajat celcius, maka ia mendidih. Itulah pengetahuan.
3.      Taraf Vernunft (budhi)
Taraf ini tidak menndasarkan diri pada fenomena seperti pada taraf-taraf sebelumnya. Apa yang ada pada taraf ini adalah perangkuman pengetahuan dan mengangkatnya ke taraf yang lebih tinggi. Maksudnya adalah pengetahuan yang ada selama ini dirangkum sedemikian rupa dalam suatu kesatuan tertinggi (ide). Kant melihat ada tiga idea, yakni: ide jiwa, ide dunia dan ide Allah. Ide jiwa itu  merupakan ide yang mendasari semua fenomena batiniah yang ada. Sementara ide dunia menyatukan fenomena-fenomena lahiriah. Sedangka ide Allah adalah dasar bagi ide jiwa dan ide dunia. Ketiga ide tersebut mengarahkan seluruh pengetahuan manusia kea rah yang lebih tinggi.
Sebagai sebuah ilmu, filsafat sejarah Kant berada pada tataran Verstand. Maksudnya adalah dengan bertumpu pada apa yang terjadi di realitas empirik, ia menyimpulkan dan memprediksi jalannya sejarah. Sebagaimana yang terjadi di sejak zaman Renaisans, di mana kemajuan ilmu-ilmu alam berkembang dengan pesatnya, maka filsafat sejarah Kant tidak terlepas dari “roh kemajuan”itu sendiri. Ia dengan optimis melihat bahwa sejarah manusia akan menjadi semakin lebih baik dan semakin rasional.
Filsafat sejarah Kant membawa ide-ide zaman Pencerahan di dalamnya.[11] Sebagaimana telah disebutkan di atas, tiga elemen penting dalam Pencerahan, yakni: rasionalitas, kritis terhadap tradisi (percaya pada sains), dan kemajuan, ada di dalam konsepsi filsafat sejarah Kant. Ketiga elemen tersebut kemudian membentuk pandangan sejarah yang bersifat linear, maju ke arah tertentu. Dengan kata lain, sejarah itu memiliki telos-nya yang rasional. Seperti yang diungkapkan oleh Nash:
Kant menghadirkan sejarah secara linear yang mendorong optimisme ke arah masa depan. Ia begitu yakin bahwa manusia akan terus ke arah pemerintahan dunia (worldwide government) yang akan menetapkan kedamaian dan hukum rasional.”[12]

Terkait dengan  pandangan tentang rasionalitas manusia di zaman Pencerahan, sejarah dalam pandangan Kant terkait dengan nalar (reason). Dengan kata lain sejarah adalah sejarah nalar (history of reason). Sejarah nalar sendiri terejawantah menjadi menjai (1) sejarah nalar pembentuk kembali dunia dan (2) sejarah nalar yang kemudian diketahui (becoming known) dan menjelaskan dirinya.[13]
Kategori sejarah nalar pertama bersifat praksis. Maksudnya adalah dalam kategori praksis ini nalar manusia mengejawantahkan dirinya ke dalam dunia aktual, atau fenomenal. Misalnya saat kita menulis. Ketika menulis, nalar yang berada di dalam pikiran mengejawantahkan diri ke dalam tulisan-tulisan yang kita buat. Dalam arti tertentu, sesuatu yang noumenal terejawantah ke alam fenomenal dan dapat diinderai. Di sini aktivitas sejarah bersifat terbuka dan dinamis. Sementara itu, kategori sejarah kedua ada pada lingkup teoritis. Di sini nalar manusia membentuk paradigma atas sejarah itu sendiri. Ia mengartikulasikan konsep, prinsip dan kepentingan lain dalam suatu sistem yang koheren. Di sini sejarah menjadi tertutup adanya karena terbelenggu pada disiplin ilmu teoritis tertentu.[14]
Sejarah praxis merupakan sejarah yang begitu penting bagi Kant. Mengapa? Karena ia melihat adanya tugas moral di dalam sejarah itu sendiri. Di sini, sejarah menjadi domain di mana tindakan manusia secara normatif untuk membuat sintesa antara tuntutan dan dunia keseharian. Hasil dari sintesa tersebut adalah prinsip totalisasi tertinggi yang bermuara pada kebaikan tertinggi di dunia. Tentu sangat jelas kebaikan tertinggi itu sendiri adalah moralitas yang rasional. Dengan demikian, apa yang terjadi di dalam sejarah terkait erat dengan maxim yang terdapat di dalam etika Kant.

Filsafat Sejarah Herder (Tanggapan terhadap sejarah rasional Pencerahan)
Johann Gottfried Herder lahir di Prusia tahun 1744. pendidikan yang dienyamnya adalah filsafat, sastra, dan teologi di universitas Köningsberg. Ia adalah salah seorang murid Kant dan banyak dipengaruhi olehnya, namun dikemudian hari pandangannya menjadi berbeda dengan Kant sendiri.
Filsafat sejarah Herder tertuang di dalam bukunya Ideas Toward a Philosophy of the History of man. Buku ini sendiri terbit pada tahun yang sama dengan karya Kant (esai), Idea of a Universal History, yaitu tahun 1784.
Berbeda dengan Kant, Herder tidak memandang sejarah sebagai sesuatu yang lurus dan menuju pada sesuatu yang melulu  pasti lebih baik adanya. Tidak ada tujuan di dalam sejarah itu sendiri. Lebih lanjut, tidak ada  tempat bagi impian utopis tentang kesempurnaan yang dapat dicapai manusia.[15] Dengan demikian,  seperti apakah filsafat sejarah Herder itu? Berbeda dengan Kant yang memandang sejarah itu bersifat universal dan rasional, Herder lebih menekankan aspek partikular di dalam sejarah. Maksudnya, sejarah itu berbeda di tiap tempat dan zaman. Masing-masing budaya mengembangkan atau menjalani sejarahnya sendiri. Di sini nampak bahwa apa yang digagas oleh Kant dengan universalitas dan  rasionalitas sejarahnya itu terlalu memaksakan  dan bersifat utopis. Bagaimana mungkin budaya yang berbeda dapat menjadi sama. Paling tidak, walau pun pada budaya lain ada rasionalitas tetapi apakah rasionalitas yang sama dengan apa yang dimaksud Kant? Berbeda dari Kant yang melihat bahwa perkembangan manusia ditandai dengan rasionalitas, pada Herder perkembangan itu ditandai oleh kapasitas-kapasitas lain di dalam manusia.[16] Misalnya, kepercayaan, seni, sosialitas, dan lain-lain.
Kritik Herder sebenarnya memperlihatkan kelemahan pengandaian filsafat sejarah Pencerahan yang begitu menekankan kesatuan (universalitas) dan rasioalitas. Nash mencatat empat perbedaan dari filsafat sejarah Kant (Pencerahan) dan filsafat sejarah yang digagas oleh Herder.[17]
  1. Zaman pencerahan menekankan kemajuan. Sejarah dipandang  sebagai perkembangan umat manusia dari bentuk yang paling barbar dan dipenuhi tahayul ke arah tercerahkan dan rasional. Herder melihat bahwa sejarah itu tidak berjalan secara rasional, melainkan justru nonrasional dan tak sadar (unconcious). Dengan demikian, berbeda dari Kant yang melihat sejarah itu adalah hasil dari  kesadaran pikiran dan rencana manusia, Herder melihat bahwa manusia di berbagai tempat dan waktu mengembangkan dirinya tanpa diikuti oleh kepatuhan pada harapan-harapan rasional.
  2. Zaman Pencerahan melihat masa lalu sebagai masa barbar dan tak tercerahkan. Sementara itu, Herder memandang bahwa masa lalu itu harus dilihat dengan simpati. Kita tidak bisa menilai masa lalu dengan standar masa kini melainkan kita harus mengerti dari dalam masa lalu itu sendiri. maksudnya adalah jika kita mau menilai masa lalu, maka kita harus melihat pula aspek-aspek lain yng ada saat itu. Dengan demikian, masa lalu dapat dipahami dalam keunikannya.
  3. Zaman Pencerahan memandang umat manusia itu seragam dan tak berubah. Implikasinya, setiap kelompok masyarakat digerakan oleh  ideal-ideal yang sama yaitu rasional. Sementara itu, Herder melihat bahwa manusia itu berbeda di tiap tempat dan zamannya. Untuk menjelaskan hal tersebut, tidak seperti Pencerahan yang gemar menganalogikan sesuatu dengan mesin, Herder memakai analogi tumbuhan. Baginya pertumbuhan budaya di tiap tempat dan daerah adalah hasil dari orang yang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Budaya itu tumbuh dengan caranya masing-masing tanpa dibatasi oleh hukum universal tertentu.
  4. Zaman Pencerahan mengandaikan keajegan manusia. Ia mengesampingkan pengaruh lingkungan pada sejarah manusia. Bagi Herder sejarah manusia itu sendiri berkembang dengan pengaruh dari kondisi-kondisi tertentu dan lingkungan di sekitarnya.
  5. Zaman Pencerahan mendekati sejarah dengan kontrol dari pengandaian akan data-data. Maksudnya adalah data-data aktual yang ada di dalam sejarah dapat dijadikan tolok ukur untuk merumuskan pola sejarah. Bagi Herder masa lalu itu harus diperlakukan tanpa bias dari masa kini.
Penutup
Cita-cita manusia pencerahan yang mengacu pada otonomi dan rasionalitas diri memiliki kaitan erat dengan konsepsi mereka mengenai kesejarahan umat manusia. Dari sudut filsafat sejarah sendiri, konsepsi Pencerahan (dalam hal ini Kant) tidak dapat melepaskan diri dari semangat Pencerahan yaitu: kesadaran diri sebagai subjek yang otonom, Kritis terhadap tradisi, dan percaya akan progresivitas. Sejarah dipahami sebagai tunggal dan bersifat universal dibawah hukum rasional; dan secara rasional pula sejarah menuju ke arah yang lebih baik.
Herder, meskipun  hidup di zaman Pencerahan memiliki tendensi yang berbeda dalam melihat sejarah. Ia melihat bahwa totalitas sejarah yang terdapat di dalam semangat Pencerahan itu sendiri dapat menimbulkan bias-bias tertentu dalam memahami kemanusiaan dan juga sejarah atasnya. Penekanan pada partikularitas di dalam sejarah dari Herder tentunya penting mengingat dalam setiap totalitas akan ada banyak yang tertindas.
Namun demikian, masih bisa diperdebatkan mengenai sanggahan-sanggahan yang dikemukakan oleh Herder. Misalnya, tidakkah pandangannya dapat jatuh ke dalam relativisme? jika melihat bahwa ia menolak universalitas, maka ia tentu bisa jatuh ke dalam relativisme. Lebih lanjut, ketika ia menawarkan untuk melihat sejarah dari dalam untuk meminimalisir bias yang dapat timbul. Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar melihat dari dalam masa lalu itu sendiri? ini kiranya merupakan pertanyaan epistemologis yang mendasar bagi Herder. Kemudian, pandangannya yang menolak data-data faktual untuk merumuskan sejarah. Bagaimana mungkin ada rumusan tanpa didasari data aktual? Bukankah Herder sendiri membangun gagasannya berdasarkan data-data yang ia terima? Dari sini terlihat ada paradox dalam pandangan Herder. Namun demikian, Ada hal penting yang dapat kita pelajari dari Herder pada kritiknya terhadap sejarah model Pencerahan. Kritik Herder tersebut mengingatkan kita untuk melihat bagaimana proyek-proyek kemajuan, seperti yang diusung dalam filsafat sejarah Kant dapat menjadi tendensius jika dikaitkan dengan otoritarian dalam politik. Lebih dari itu, pandangan sejarah yang mengacu pada kemajuan itu kiranya kurang melihat aspek keragaman dari kpasitas manusia terhadap ide kemajuan tersebut. Di sini saya pikir kritik Herder masih dapat bergaung di zaman ini.




* DAFTAR PUSTAKA DAN CATATAN KAKI TIDAK DIPERLIHATKAN GUNA MENGHINDARI HAL-HAL YANG TIDAK DIINGINKAN. NAMUN JIKA BERMINAT ANDA DAPAT MEMINTA VERSI LENGKAP DARI TULISAN INI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar