“Что,батюшка,
чест, кагда нечего есть?”[1]
Kepentingan
Diri dalam Pergulatan Etika Keutamaan dan Etika Orang Biasa
Dalam
Kisah Sang Inkuisitor
Pada bahasan ini akan diperlihatkan
masalah-masalah yang terkait dalam pemikiran utilitaisme. Untuk itu kasus yang
akan dianalisa pada bahasan ini adalah kasus yang terdapat di dalam kisah Sang
Inkuisitor yang ditulis oleh F. M. Dostoevsky
(1821 – 1881). Sang Inkuisitor sendiri terdapat di dalam novel terakhir
Dostoevsky Karamazov Bersaudara, yang ditulis tahun 1878-1880. Di dalam kisah
tersebut dapat dilihat bagaimana paradigma etis utilitaris yang menekankan
manfaat suatu tindakan (diwakili oleh Kardinal) berhadapan dengan etika
keutamaan (diwakili oleh Kristus). Atas nama orang-orang yang lemah, yang tidak
dapat mengikuti etika keutamaan, sang Kardinal lantas menolak Kristus.
Kedatangan Kristus ke dunia untuk kedua kalinya, bagi Kardinal, hanyalah
mengacaukan stabilitas yang selama ini telah tercapai.
Pembahasan makalah
ini akan mencoba menjawab tiga petanyaan berikut: (1) Mengapa Kardinal
beranggapan bahwa ajaran Kristus gagal? (2)Apakah yang menjadi dasar dari
argumen Kardinal tersebut? (3) Bagaimana Tanggapan Dostoevsky sendiri terhadap
tokoh Kardinal? Guna menjawab tiga pertanyaan tersebut maka alur makalah ini
adalah sebagai berikut: Pendahuluan yang akan memperlihatkan tokoh Kardinal
dalam kisah Sang Inkuisitor. Dilanjutkan dengan argumen-argumen Kardinal untuk
melihat mengapa ia menolak Kristus. Setelah itu akan dianalisa kisah
Sang Inkuisitor dalam perspektif utilitaris. Sebagai pembanding akan dihadirkan
pandangan Dostoevsky mengenai kisah Sang inkuisitor. Sebagai akhir akan
disertakan penutup yang berisi kesimpulan dan refleksi.
Kisah
Sang Inkuisitor dan Kardinal
Dalam kisah Sang Inkuisitor diceritakan mengenai
kedatangan Yesus yang kedua kali di Seville, Spanyol pada masa inkuisisi.
Kedatangan Yesus dianggap oleh Gereja, yang diwakili oleh Kardinal,
membahayakan stabilitas yang selama ini telah tercapai di dalam keimanan umat
secara umum. Oleh karena itulah Kardinal menangkap Yesus dan menjebloskannya ke
dalam penjara. Di dalam penjara terjadilah dialog (lebih tepatnya monolog
karena Yesus hanya diam saja; satu-satunya respon Yesus saat itu adalah ciuman
pada Kardinal ketika ia dilepaskan dari penjara.). Di dalam dialog itu dapat
dilihat mengenai pemikiran-pemikiran mengenai apa yang patut dan apa yang
tidak. Singkatnya adalah apa yang diajarkan Kristus itu terlalu tinggi dan tak
dapat dimengerti dan diikuti oleh orang kebanyakan. Yesus mewartakan
keutamaan-keutamaan sementara apa yang dibutuhkan hanyalah makanan duniawi
semata. Sang Kardinal mengatakan kepada Kristus demikian: “…Kau
begitu bangga akan mereka yang terpilih, namun Kau hanya memiliki mereka, yang
jumlahnya sedikit, sementara kami mampu memberi kedamaian pada seluruh umat
manusia.” (BK: R.
320/ E. 311)
Argumen-Argumen Kardinal
Sebagaimana disebutkan diatas, pandangan Kardinal ini
bertumpu pada bagaimana menyelamatkan (membahagiakan) lebih banyak orang.
Ajaran Kristus yang begitu sulit dianggap tidak memberikan jawaban kepada
problem kemanusiaan yang dihadapi orang banyak di dalam hidup sehari-hari.
Berikut Argumen-argumen penolakan Kardinal atas Yesus.
Argumen
untuk Menolak Kristus
Atas nama penderitaan manusia, Kristus tidak diijinkannya
kembali ke dunia ini untuk mengacau stabilitas yang telah dicapai oleh gereja.
Mengapa gereja, yang direpresentasikan oleh Kardinal, menolak Kristus? Bukankah
Kristus dipercaya sebagai kepala gereja? Kardinal memiliki dua alasan utama untuk
menolak Kristus datang di dunia. Pertama,
karena gereja telah menggantikan Kristus dalam misi melepaskan penderitaan
manusia. Kedua, gereja telah
mengoreksi kesalahan-kesalahan Kristus di masa lalu, dan untuk itu Ia tidak
perlu lagi mengacaukan kestabilan yang telah tercipta.
Kardinal
menganggap kedatangan Kristus sebagai penambah beban kehidupan manusia.
Mengapa? Karena Kristus datang dan memberikan kebebasan yang lebih besar bagi
manusia. Menurut Kardinal manusia itu lemah, bermental kawanan, dan takut
menanggung kebebasan. Ia mengatakan bahwa
”manusia itu tidak dapat hidup
dengan kebebasannya karena manusia itu lemah, busuk, tidak layak, dan
pemberontak.” (BK: 305.) Bagi Kardinal Kristus mungkin lupa atau tidak memahami atau tidak mau
tahu kondisi manusia.
Manusia
adalah pembangkang sejati, dan karena itulah manusia menderita. Kebebasan hadir
sebagai anugerah terbesar kehidupan menjadi sekaligus kutukan. Manusia takut
akan kebebasannya. Ia ingin sesuatu yang tetap, konstan, dan tidak lagi mau
berhadapan dengan pilihan-pilihan sebagaimana yang ditawarkan dalam kebebasan.
Ia membutuhkan pemimpin yang dapat membimbingnya melalui kehidupan yang penuh
derita. Oleh karena itulah, maka manusia menyerahkan diri pada institusi
tertentu yang dapat mengatur kehidupan mereka dan menjadi tempat bagi mereka
untuk meletakkan kebebasannya tepat di atas altar yang dijaga oleh para pemuka
agama. Dalam kisah ini, institusi itu bernama Gereja.
Kisah Pencobaan dalam Injil sebagai Referensi Kegagalan
Kristus
Penolakan Kardinal
atas kedatangan Kristus didasari oleh suatu kisah yang terdapat di dalam injil.
Dalam kisah tersebut dikisahkan bagaimana Iblis datang “mencobai” Kristus yang
saat itu sedang berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam. Pada
peristiwa itu iblis mengajukan tiga pertanyaan yang sangat penting dan
merepresentasikan keadaan kehidupan
manusia. Pencobaan-pencobaan yang diajukan oleh Iblis
tersebut di dalam injil adalah pertama
“jika Engkau Anak Tuhan, ubahlah batu ini menjadi roti”. Kedua, Jika Engkau Anak Allah loncatlah dari menara ini karena
malaikat-malaikat Tuhan tidak akan
membiarkanmu mati. Pencobaan ketiga
adalah “Sembahlah aku (iblis), maka seluruh kerajan dunia akan menjadi milikmu.”
Dalam tiga pencobaan tersebut termuat tiga masalah yang
diangkat Kardinal dalam kehidupan manusia, yaitu: masalah pangan, masalah suara
hati, dan masalah kesatuan umat manusia.
Masalah Pangan
Salah satu masalah utama dalam kehidupan manusia adalah
masalah pangan. Sejak dari dahulu, jika mengacu pada mitos penciptaan dalam
Perjanjian Lama, manusia dihukum harus memenuhi kebutuhan pangannya dengan
bekerja. Memang manusia tidak hidup untuk makan, tetapi makan untuk hidup. Namun
makanan toh harus dicari atau
diusahakan. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, disamping kebutuhan akan tempat tinggal dan
pakaian tentunya. Orang bahkan dapat bertindak jahat karena kebutuhan pangannya
tidak terpenuhi. Telah banyak contoh-contoh di mana orang mencuri, berbohong, mengemis,
bahkan membunuh sesamanya untuk dapat makan.
Kardinal
yang adalah Sang Inkuisitor kiranya menyadari hal tersebut. Ia memberikan
kebutuhan pangan bagi orang-orang yang lapar merupakan hal yang sangat penting
untuk dapat memperoleh hati mereka. Ia sadar bahwa seorang pemimpin tidak dapat
mengabaikan kebutuhan dasar orang-orang yang dipimpinnya. Kristus di sini tidak
dapat menyediakan kebutuhan pangan bagi orang-orang yang lapar. Ia hanya
menjanjikan makanan surgawi, sementara yang dibutuhkan secara kongkret adalah
makanan duniawi yang dapat mengenyangkan perut mereka. Kardinal mengatakan bahwa karena telah
mengabaikan kebutuhan pangan duniawi itulah maka manusia bangkit melawanNya.
Kau
telah janjikan mereka makanan surgawi, tetapi kuulangi lagi, bagaimana makanan
itu dapat bersaing dengan makanan duniawi di hadapan orang-orang lemah, berdosa
dan tak bermartabat? Bahkan jika ada seratus atau seribu yang mampu untuk
mengikutiMu dan menerima makanan surgawi, bagaimana dengan jutaan manusia lain
yang begitu lemah untuk mengabaikan makanan duniawi mereka? (BK: 305)
...
Dengan makanan, Kau dapat menawarkan sesuatu yang akan membuat mereka patuh
padaMu dengan segenap kesetiaan: Kau memberi makan dan manusia akan
membungkukkan badannya untukMu. Karena tidak ada yang lebih penting bagi mereka
selain makanan.
.... (BK: 306)
Kesalahan pertama Kristus pada masalah pangan ini
adalah Ia menolak atau mengabaikan kebutuhan pangan manusia, Ia telah menolak
mengubah batu menjadi makanan (roti). Di sini, Ia tak mampu memberikan bukti
empiris bahwa Ia mampu mengubahnya. Argumen Kristus yang mengatakan bahwa
manusia tidak hidup dari roti saja membuat Ia sulit dipahami dan tak dapat
diikuti. Kristus justru dapat
dianggap telah “melecehkan” kemanusiaan dengan
menolak memberi makanan duniawi bagi manusia.
Masalah Suara Hati
Pada
pencobaan kedua ini iblis mengajak Kristus untuk membuktikan keilahianNya.
Namun Kristus sekali lagi menolak untuk
melakukan pembuktian tersebut. Penolakan ini, menurut Kardinal, berdampak pada
ketidakpercayaan manusia pada keilahian Kristus. Bagaimana manusia dapat yakin
jika Ia adalah anak Allah jika Ia tidak dapat memberikan pembuktian kongkret
atas keilahianNya? Manusia mengikuti sesuatu berdasarkan bukti. Tanpa bukti
tersebut, dapat dipastikan bahwa suatu kepercayaan akan gagal. Kardinal
mengatakan:
“Kau
mengacuhkannya, menolak sarannya, melawan cobaan dan tidak terjun dari menara.
Oh, tentu saja tindakanMu membanggakan dan mulia; bahkan kau bertindak seperti
Tuhan, tetapi dapatkah Kau mengharapkan hal yang sama terjadi pada manusia,
dengan kelemahan yang mereka miliki, tak disiplin, dan keturunan terkutuk, yang
bukan Tuhan? (BK: 307 – 8))
Kesalahan Kristus yang kedua ini
membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki bukti konkret yang dapat membuat orang
akan percaya bahwa ia adalah anak Allah. Kardinal mengatakan bahwa manusia
membutuhkan pembuktian akan ke-Allah-an Kristus. Kesalahan Kristus ini, menurut Kardinal,
telah membiarkan manusia untuk memilih apa yang ingin dipercayainya. Ia
mengandaikan bahwa setiap manusia dapat memiliki suara hati sepertiNya. Namun,
manusia lebih lemah dari yang Ia bayangkan, dan membiarkan mereka memilih
dengan suara hatinya adalah keterlaluan karena mereka tidak memiliki kesadaran
layaknya Kristus sendiri. Bukti tentang keilahianNya untuk tidak dapat mati
juga tidak dipenuhi oleh-Nya dan dengan demikian manusia tidak dapat meyakinkan
dirinya untuk mempercayai keilahian Kristus.
Masalah Kesatuan Umat Manusia.
Pada pencobaan ketiga, Kristus
menolak kerajaan dunia yang ditawarkan oleh iblis. Kerajaan dunia ini, menurut
Kardinal, merupakan satu-satunya cara untuk mengembalakan manusia. Bagaimana
Kristus dapat menggembalakan manusia jika Ia menolak satu-satunya cara untuk
mengorgansir manusia? Untuk membumikan suatu ajaran bagi manusia adalah dengan
menerima kerajaan dunia (yang tentunya ada di bumi) lebih dahulu. Jika menolak
dunia, bagaimana mau mendunia? Gereja yang dijunjung oleh Kardinal telah
mengambil kesempatan yang ditawarkan iblis untuk menjadi raja dunia. Kardinal mengatakan:
“...
sejak delapan abad yang lalu. Tepatnya delapan abad ketika kami menerima apa
yang telah Kau tolak dengan kemarahan, pemberian terakhir yang ia tawarkan
padaMu – semua kerajaan di muka bumi. Kami menerima Roma dan pedang kekaisaran
darinya, dan kami memaklumatkan
diri sebagai satu-satunya hukum di dunia,… Kau seharusnya menerima pedang
kaisar ketika ia menawarkannya padaMu. Mengapa Kau menolak tawaran terakhirnya?
Jika Engkau menerima tawaran ketiga yang diberikan oleh roh itu, kau akan dapat
memenuhi kebutuhan paling mendasar dari umat manusia yaitu: kebutuhan untuk
memiliki seorang yang dapat dipuja, seorang yang mampu untuk membebaskan mereka
dari beban hati nurani yang mereka miliki dan akhirnya yang mampu menyatukan
mereka dalam suatu harmoni di mana tak ada lagi suara-suara yang tak senada,
karena haus yang tak dapat terpuaskan untuk kesatuan universal merupakan
tawaran ketiga dan cobaan terakhir bagi manusia. Manusia selalu berusaha untuk
mengorganisasikan diri menuju kesatuan universal...”
(BK: 310)
Kesalahan ketiga Kristus adalah menolak kerajaan
dunia. Jika Ia mau menerima tawaran untuk memimpin pemerintahan dunia, maka Ia
akan dapat menciptakan perdamaian dunia. Jika Kristus menerima untuk memimpin
dunia, maka ajaran-Nya dapat diberlakukan secara universal. Namun, karena ia
menolak menjadi pemimpin, maka kesempatan-Nya untuk menjadikan dunia yang damai
dan penuh cinta kasih menjadi mustahil.
Gereja telah mengambil apa yang pernah ditawarkan iblis pada Kristus. Ia
menerima kekuasaan untuk menguasai dunia, dan karenanya gereja berhasil
mengorganisir manusia-manusia pembangkang yang lemah secara eksistensial.
Gereja
Menyelamatkan Lebih Banyak Dari Pada Kristus
Menurut
Kardinal, Kristus tidak sepenuhnya gagal dalam misinya. Terdapat orang-orang,
yang dengan kebebasannya, berhasil memahami ajaran Kristus dan memilih untuk
mengikutiNya. Tetapi berapakah jumlah mereka? Jumlah yang sangat sedikit
diabandingkan dengan mereka yang gagal, karena kelemahannya tidak mengerti apa
yang ditawarkan oleh Kristus. Mereka yang tidak memahami apa yang ditawarkan
Kristus kemudian ditampung oleh gereja. Melalui gereja mereka mempunyai
“pegangan” untuk dapat melalui hidup. Kardinal mengatakan:
”Ingatlah,
bahwa jumlah mereka hanya sedikit dan mereka lebih merupakan dewa dari pada
manusia. Lantas bagaimana dengan sisanya? Mengapa yang lain, mereka yang lemah,
menderita karena mereka tidak dapat bertahan seperti mereka yang kuat dapat
melalui rintangan tersebut? ... Benarkah bahwa Kau datang hanya untuk memilih
sedikit orang dari mereka semua? .... Katakan padaku, salahkah kami
memberitakan dan bertindak seperti yang telah kami lakukan? Tidakkah itu
merupakan cinta kami pada umat manusia yang membuat kami dapat menerima ide
dari ketidakmampuan mereka, bahkan memaklumkan kelemahan mereka untuk berdosa? (BK: 309)
Dari pernyataan-pernyataan di atas, jelaslah bahwa cinta
kasih Kristus, bagi Kardinal, tidak dapat menjangkau semua manusia. Ajarannya
hanya dimengerti dan diikuti oleh orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit
dibanding dengan seluruh manusia dunia ini. Lebih jauh, bagaimana Ia dapat
memenangkan jiwa-jiwa mereka yang tidak mengerti maksud dari ucapan dan
tindakkanNya? PenyelamatanNya menjadi absurd. Menurut Kardinal, mereka yang
mampu mengikuti Kristus adalah pribadi-pribadi yang egoistik karena mengabaikan
mereka yang lemah. Kardinal mengatakan bahwa “… mereka yang bersama-sama denganMu hanya akan menyelamatkan diri sendiri
sementara kami akan menyelamatkan seluruh umat manusia.” (BK: 313)
Kisah
Sang Inkuisitor dalam Perspektif Utilitaris
Argumen-argumen kardinal dalam kisah Sang Inkuisitor
dapat ditelaah melalui kacamata aliran utilitaris. Mengapa? Pertama, dari sisi historis, Dostoevsky
memang menyerang pandangan kaum utilitaris yang saat itu berkembang di Rusia
lewat pemikiran-pemikiran sosialisme. Chernyshevsky seorang utilitaris, yang
juga masyur sebagai seorang revolusioner abad 19, merupakan titik serangan
argumen-argumen Dostoevsky. Chernyshevsky sendiri dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan J. S. Mill, bahkan ia menerjemahkan karya-karya Mill dan
juga ulasan tentangnya.[2] Kedua, Argumen-argumen Sang Inkuisitor
mengenai penyelamatan bagi lebih banyak orang itu begitu lekat dengan diktum
utilitaris sendiri yaitu kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang paling besar.
Dengan demikian, kita dapat melihat relasi setiap ungkapan Sang Inkuisitor
dengan pandangan aliran utilitaris.
Karena
kedekatan Mill dengan sejarah pemikiran Rusia, maka saya akan mengambil
argumen-argumen yang berasal dari dirinya untuk menganalisa Sang Inkuisitor. Secara
garis besar, pemikiran Mill menekankan pentingnya manfaat dari suatu tindakkan.
Dengan kata lain, tujuan memperoleh status yang sangat penting dari tindakan
manusia. Apakah tujuan dari manusia itu sendiri? Dalam konsepsi utilitarian,
tujuan manusia adalah memperoleh kenikmatan. Mill mengatakan:
“Credo yang diterima sebagai dasar
moral utiliti, atau kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang paling besar, adalah
tindakan itu benar jika ia mengusahakan kebahagiaan. Tindakan adalah salah jika
ia membawa dampak sebaliknya dari kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan yang
dimaksud di sini adalah kenikmatan (pleasure); dan juga ketiadaan rasa sakit
(pain).[3]
Dari
pernyataan di atas dapat dilihat bagaimana tindakan itu baik atau buruk tergantung
pada apakah tindakan itu mendatangkan kebahagiaan/kenikmatan atau sebaliknya.
Setiap manusia, dapat dipastikan, menginginkan kebahagiaan. Namun demikian
bagaimana kita dapat tahu bahwa apa yang membahagiakan bagi kita juga merupakan
hal yang membahagiakan orang lain? Bukankah dapat terjadi hal yang
membahagiakan bagi kita justru mencedrai orang lain? Di sini Mill membagi dua
jenis kepentingan dalam diri manusia, yaitu: kepentingan yang mementingkan diri
(selfish interest) dan kepentingan
yang tak mementingkan diri (unselfish
interst). Yang pertama bertindak dengan berorientasi ke masa lalu,
sementara yang kedua selalu memperhitungkan dampak yang akan terjadi di masa
depan.[4]
Tentu saja kepentingan diri yang baik adalah yang memperhitungkan segala dampak
yang dapat terjadi di masa depan. Kepentingan diri bagi tiap orang ini
berbeda-beda. Namun demikian, secara umum konsepsi kepentingan diri menurut
Mill adalah cara memproteksi diri manusia, di mana di dalam melakukan hal
tersebut ia harus memperhitungkan dampak-dampak yang mungkin terjadi dan sebisa
mungkin untuk tidak mencederai orang lain.[5]
Dalam
kisah Sang Inkuisitor, dapat dilihat bagaimana sang Kardinal memiliki
pertimbangan tertentu untuk “menyelamatkan” umat manusia dalam hidup yang
menyedihkan. Mereka tidak dapat masuk ke dalam arus “orang-orang utama” yang
dapat memahami dan melakukan apa yang diajarkan oleh Kristus. Dikatakan pada
awal tulisan ini mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga tidak sanggup
menjadi “orang-orang utama”. Atas dasar kecintaan pada umat manusia, Kardinal
beserta Gereja lantas “menggembalakan” mereka, kaum manusia biasa itu. (lih.
kutipan BK: 309) Banyak orang menjadi bahagia (dan mungkin juga memiliki
pengharapan), meski mereka adalah orang-orang lemah. Dari kacamata utilitaris
pandangan Kardinal dengan Gereja itu adalah baik adanya. Mereka “menyelamatkan”
umat manusia lebih banyak dari pada Kristus.
Gereja
pun telah mengambil alih tugas Kristus sebagai pemimpin umat manusia. Mengapa
bisa begitu? Pertama, ajaran Kristus itu
tidak bisa diikuti. Kedua, manusia
harus memiliki panduan untuk dapat diacu. Sebab manusia itu pada dasarnya takut
akan kebebasan. Kebebasan membuat ia melayang dan tidak memiliki pijakan. Dalam
pandangan Mill:
“...
tinggal di dalam masyarakat membuat tak terhidari bahwa setiap orang
harus melihat ke arah panduan. Panduan yang pertama adalah tidak merugikan
kepentingan orang lain; kedua adalah setiap orang saling berbagi kerja dan
mengorbankan apa yang ia dapat untuk kelangsungan masyarakat atau pun anggota-anggotanya
dari ketidakadilan dan penganiyayaan.”[6]
Panduan
seperti yang dimaksud di dalam kutipan di atas, dalam kisah Sang Inkuisitor,
disediakan oleh Gereja. Gereja adalah otoritas tertinggi dalam memberikan
panduan hidup manusia-manusia lemah itu. Selain itu, tidak seperti gagasan
Hobbes yang mengharuskan manusia menyerahkan kedaulatan personalnya, dalam
kisah Sang Inkuisitor manusia-manusia itu sendiri yang rela memberikan
kedaulatannya tanpa paksaan kepada Gereja. Di sini teori kontrak tidak berlaku.
Dengan demikian, ini sesuai dengan apa yang digagas oleh Mill bahwa “...
masyarakat tidak didirikan berdasarkan kontrak,...”[7]
Dari apa yang tertuang di dalam
di dalam kisah Sang Inkuisitor, terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kardinal
dan Gereja lebih baik dari apa yang dilakukan oleh Kristus. Tetapi, apakah
benar bahwa apa yang dilakukan Kristus hanya akan menyelamatkan sedikit orang
saja, dan apakah yang sedikit itu adalah mereka yang egois karena tidak
berdampak pada orang lain sebagaimana Kardinal melihatnya? Saya akan
melanjutkan pembahasan ini dengan mengangkat gagasan Dostoevsky sang penulis
kisah itu.
Sang
Inkuisitor dan Dostoevsky
Sang
Inkuisitor bersama dengan Gerejanya merupakan perwujudan tanggung jawab manusia
setelah Tuhan tidak lagi berfungsi untuk menjawab problem kemanusiaan. Penolakan Kristus oleh Kardinal
dapat dilihat sebagai penolakan terhadap campur tangan Ilahi di dalam kehidupan
manusia. Tuhan telah gagal menyelamatkan umat manusia dari penderitaan. Oleh
karena itu Ia tidak perlu datang lagi untuk mengulangi kesalahan yang sama
untuk kedua kalinya. Gereja telah mengambil alih dan mengoreksi apa yang dahulu
gagal dilakukan oleh Kristus.
Apa yang menjadi
argumen Sang Inkuisitor tidak dapat diidentikan dengan pandangan Dostoevsky
mengenai problem yang tengah kita bahas ini. Kardinal bukanlah Dostoevsky,
meskipun ia adalah figur yang diciptakan di dalam novelnya, Karamazov
Bersaudara. Dostoevsky justru memiliki pandangan yang berbeda dari kedua tokoh
tersebut. Berikut adalah Pandangan
Dostoevsky
Penderitaan merupakan pembebas
Yang
menarik dari pandangan Dostoevsky adalah ia menempatkan penderitaan sebagai
jalan bagi penemuan eksistensi diri. Melalui penderitaan manusia langsung
berhadapan dengan beragam pilihan eksistensial untuk dirinya. Pilihan (vybor) dengan
pertimbangan kesadaran suara hati ( soznanie)
kemudian yang menentukan eksistensi manusia. Melalui
tindakkan memilih kebebasan hadir sebagai perwujudan eksistensi. Kristus
memberikan kebebasan bagi Suara hati manusia untuk mengikutinya tau tidak.
Meski bagi Kardinal ini merupakan kesalahan, bagi Dostoevsky hal ini tidak
dapat disalahkan. Kristus mengajarkan untuk mencintai seluruh umat manusia dan
ini berarti kebebasan pilihan dalam bertindak tidak boleh bersifat tertutup, atau egoistis (svoevolie).
Kesadaran memilih harus dilakukan atas dasar cinta kasih dan rasa
sepenanggungan atas penderitaan yang dialami oleh manusia. Dengan demikian,
bereksistensi adalah bergumul bersama
mengatasi penderitaan.
Jika demikian, bukankah sama
dengan Sang Inkuisitor yang
memiliki empati kepada manusia yang menderita, dan
berusaha untuk mengatasi penderitaan tersebut? Memang benar, bahwa Sang
Inkuisitor berempati dan merasa terpanggil untuk mengatasi penderitaan manusia.
Namun, bagi Dostoevsky, cara Kardinal untuk mengatasi penderitan manusia tidak akan pernah
membebaskan manusia dari penderitaan. Mengapa? Karena apa yang mereka lakukan
justru membuat manusia menjadi tidak sadar akan adanya pilihan-pilihan di dalam
hidupnya.
Apa
yang dilakukan oleh Kardinal dilihat Dostoevsky sebagai sebuah deifikasi terhadap manusia. Deifikasi sendiri
sebenarnya berasal dari kata apotheoō (ἀποθεόω) yang berarti menjadi ilahi. Secara teologis apotheoō
atau deifikasi dapat dipahami sebagai peninggian level manusia menjadi serupa
dengan yang ilahi. Deifikasi dipahami sebagai manusia menjadi tuhan dan berhak
menentukan apa saja yang dianggap layak dilakukan oleh dirinya. Bagi
Dostoevsky, yang harus
dilakukan bukanlah dengan deifikasi melainkan dengan kenosis (κένωσις
= pengosongan diri)
penderitaan dapat diatasi. Kisah tentang kenosis terdapat di dalam Surat Rasul Paulus kepada
jemaat di Filipi 2:7, yang mengatakan “Kristus
telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia”.
Dostoevsky percaya bahwa jika seseorang melakukan
pengosongan diri, seperti yang dilakukan Kristus bagi manusia, ia tidak lagi
menganggap diri lebih tinggi atau lebih sadar dari manusia-manusia lain.
Pandangan Dostoevsky ini direpresentasikan melalui ajaran tokoh Pastor Zosima,
ia mengatakan: “Cintailah sesamamu, cintailah umat
Tuhan,... Kita tidak lebih suci dari mereka.” (BK: 196) Dengan tindakan pengosongan diri, seluruh umat manusia
adalah sama dan sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih
sadar, dan tidak ada yang perlu untuk mengembalakan orang-orang yang dianggap
lemah. Dengan demikian, Dostoevsky menggagas perlunya kenosis sebagai jalan
untuk mengatasi penderitaan manusia.
Bukan Dalam Institusi
Melainkan Dengan Cinta Kasih
Cintakasih merupakan jawaban Dostoevsky untuk
masalah penderitaan manusia.[8] Dengan cinta kasih manusia akan benar-benar menjadi
tujuan bagi tindakan seseorang karena dengan cinta kasih manusia akan
dimampukan untuk bersikap adil terhadap sesamanya.[9]
Dengan demikian tidak ada lagi penindasan dan ketidakadilan yang menjadi
penyebab penderitaan manusia.
Ia mengatakan bahwa dengan cintakasih “manusia akan menjadi suci dan [lebih]
saling mencintai satu sama lain, tidak akan ada yang menjadi kaya atau miskin,
tidak ada yang kuat atau lemah, semua akan menjadi anak-anak Allah”.[10] Pandangan
Dostoevsky tentang cinta kasih ini adalah cinta yang aktif (delatel’naya lyobov).
Bagaimanakah
cinta kasih Kristus digambarkan dalam kisah Sang Inkuisitor? Bukankah Kristus
hanya diam saja? Memang, ketika Kardinal memenjarakan dan mengancam akan
membakarNya, Kristus hanya diam. Ia tidak menggugat balik sang Inkuisitor yang
menolak kedatanganNya, menolak mujizat-mujizat yang dilakukanNya, dan
merendahkan kuasaNya. Kristus diam dan hanya tersenyum. Satu-satunya respon Kristus terhadap Sang Inkuisitor
adalah ciuman yang membara dihati pemimpin gereja tersebut. Apakah
Kristus tidak mampu menunjukan kuasaNya pada Sang Inkuisitor? Mengapa Ia tidak
menjawab argumen-argumen yang menentangNya? Apa maksud dari ciumanNya? Ke-diam-an, senyum, dan ciuman
tersebut kiranya mengatakan: Penalarannmu memang tajam, tetapi cintaku lebih
kuat.
Penutup
Dalam kaitannya
dengan kepentingan diri, apakah yang dapat kita petik dari kisah Sang Inkuisitor
ini? Pertama, penderitaan manusia
haruslah diatasi. Orang lain menjadi paradigma yang menentukan suatu tindakan
yang akan diambil. kedua, kita dapat
melihat paradigma kepentingan diri yang dipakai, baik itu Kardinal maupun
Kristus dan Dostoevsky adalah altruisme.
Pemikiran
utilitarian memang memiliki rujukan pada orang lain, dengan kata lain adalah
altruis. Dari kisah Sang Inkuisitor terkuak bagaimana konsep altruisme
utilitaris antara Kardinal dengan Kristus; sesuatu yang dapat diterapkan
(gagasan Kardinal) berhadapan dengan keutamaan (Kristus). Dari sisi kongkret
dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan Kardinal itu baik karena memang
bermanfaat bagi banyak orang. Namun gagasan Dostoevsky mengenai Kristus sendiri
kiranya tidak dapat dianggap remeh. Ajaran mengenai cinta kasih kiranya dapat
menjadi dasar bagi utilitarianisme sendiri. Ajaran Kristus tidak serta merta
hanyalah ajaran utama yang hanya dapat menyelamatkan sedikit orang saja. Justru
sebaliknya, ”orang-orang utama” memiliki tugas untuk memberikan pencerahan pada banyak orang. Jadi tidk seperti Kardinal
yang memimpin orang-orang lain yang lemah, orang-orang utama dalam pandangan
Dostoevsky dan juga Kristus justru menjadi pelayan bagi orang-orang yang lemah.
* Catatan kaki dan daftar pustaka tidak diberikan untuk meminimalisir hal-hal yang tidak berkenan dikemudian hari. Bagi yang berminat membaca versi lengkap silakan menghubungi penulis.