Translate

Selasa, 27 November 2012

“Что,батюшка, чест, кагда нечего есть?” Kepentingan Diri dalam Pergulatan Etika Keutamaan dan Etika Orang Biasa Dalam Kisah Sang Inkuisitor


“Что,батюшка, чест, кагда нечего есть?”[1]
Kepentingan Diri dalam Pergulatan Etika Keutamaan dan Etika Orang Biasa
Dalam Kisah Sang Inkuisitor


Pada bahasan ini akan diperlihatkan masalah-masalah yang terkait dalam pemikiran utilitaisme. Untuk itu kasus yang akan dianalisa pada bahasan ini adalah kasus yang terdapat di dalam kisah Sang Inkuisitor yang ditulis oleh F. M. Dostoevsky  (1821 – 1881). Sang Inkuisitor sendiri terdapat di dalam novel terakhir Dostoevsky Karamazov Bersaudara, yang ditulis tahun 1878-1880. Di dalam kisah tersebut dapat dilihat bagaimana paradigma etis utilitaris yang menekankan manfaat suatu tindakan (diwakili oleh Kardinal) berhadapan dengan etika keutamaan (diwakili oleh Kristus). Atas nama orang-orang yang lemah, yang tidak dapat mengikuti etika keutamaan, sang Kardinal lantas menolak Kristus. Kedatangan Kristus ke dunia untuk kedua kalinya, bagi Kardinal, hanyalah mengacaukan stabilitas yang selama ini telah tercapai.
Pembahasan makalah ini akan mencoba menjawab tiga petanyaan berikut: (1) Mengapa Kardinal beranggapan bahwa ajaran Kristus gagal? (2)Apakah yang menjadi dasar dari argumen Kardinal tersebut? (3) Bagaimana Tanggapan Dostoevsky sendiri terhadap tokoh Kardinal? Guna menjawab tiga pertanyaan tersebut maka alur makalah ini adalah sebagai berikut: Pendahuluan yang akan memperlihatkan tokoh Kardinal dalam kisah Sang Inkuisitor. Dilanjutkan dengan argumen-argumen Kardinal untuk melihat mengapa ia menolak Kristus. Setelah itu akan dianalisa kisah Sang Inkuisitor dalam perspektif utilitaris. Sebagai pembanding akan dihadirkan pandangan Dostoevsky mengenai kisah Sang inkuisitor. Sebagai akhir akan disertakan penutup yang berisi kesimpulan dan refleksi.
Kisah Sang Inkuisitor dan Kardinal
Dalam kisah Sang Inkuisitor diceritakan mengenai kedatangan Yesus yang kedua kali di Seville, Spanyol pada masa inkuisisi. Kedatangan Yesus dianggap oleh Gereja, yang diwakili oleh Kardinal, membahayakan stabilitas yang selama ini telah tercapai di dalam keimanan umat secara umum. Oleh karena itulah Kardinal menangkap Yesus dan menjebloskannya ke dalam penjara. Di dalam penjara terjadilah dialog (lebih tepatnya monolog karena Yesus hanya diam saja; satu-satunya respon Yesus saat itu adalah ciuman pada Kardinal ketika ia dilepaskan dari penjara.). Di dalam dialog itu dapat dilihat mengenai pemikiran-pemikiran mengenai apa yang patut dan apa yang tidak. Singkatnya adalah apa yang diajarkan Kristus itu terlalu tinggi dan tak dapat dimengerti dan diikuti oleh orang kebanyakan. Yesus mewartakan keutamaan-keutamaan sementara apa yang dibutuhkan hanyalah makanan duniawi semata. Sang Kardinal mengatakan kepada Kristus demikian: “…Kau begitu bangga akan mereka yang terpilih, namun Kau hanya memiliki mereka, yang jumlahnya sedikit, sementara kami mampu memberi kedamaian pada seluruh umat manusia.” (BK: R. 320/ E. 311)
 Argumen-Argumen Kardinal
Sebagaimana disebutkan diatas, pandangan Kardinal ini bertumpu pada bagaimana menyelamatkan (membahagiakan) lebih banyak orang. Ajaran Kristus yang begitu sulit dianggap tidak memberikan jawaban kepada problem kemanusiaan yang dihadapi orang banyak di dalam hidup sehari-hari. Berikut Argumen-argumen penolakan Kardinal atas Yesus.
Argumen untuk Menolak Kristus
Atas nama penderitaan manusia, Kristus tidak diijinkannya kembali ke dunia ini untuk mengacau stabilitas yang telah dicapai oleh gereja. Mengapa gereja, yang direpresentasikan oleh Kardinal, menolak Kristus? Bukankah Kristus dipercaya sebagai kepala gereja? Kardinal memiliki dua alasan utama untuk menolak Kristus datang di dunia. Pertama, karena gereja telah menggantikan Kristus dalam misi melepaskan penderitaan manusia. Kedua, gereja telah mengoreksi kesalahan-kesalahan Kristus di masa lalu, dan untuk itu Ia tidak perlu lagi mengacaukan kestabilan yang telah tercipta.
            Kardinal menganggap kedatangan Kristus sebagai penambah beban kehidupan manusia. Mengapa? Karena Kristus datang dan  memberikan kebebasan yang lebih besar bagi manusia. Menurut Kardinal manusia itu lemah, bermental kawanan, dan takut menanggung kebebasan. Ia mengatakan bahwa  ”manusia itu tidak dapat hidup dengan kebebasannya karena manusia itu lemah, busuk, tidak layak, dan pemberontak.” (BK: 305.) Bagi Kardinal Kristus mungkin lupa atau tidak memahami atau tidak mau tahu kondisi manusia.
            Manusia adalah pembangkang sejati, dan karena itulah manusia menderita. Kebebasan hadir sebagai anugerah terbesar kehidupan menjadi sekaligus kutukan. Manusia takut akan kebebasannya. Ia ingin sesuatu yang tetap, konstan, dan tidak lagi mau berhadapan dengan pilihan-pilihan sebagaimana yang ditawarkan dalam kebebasan. Ia membutuhkan pemimpin yang dapat membimbingnya melalui kehidupan yang penuh derita. Oleh karena itulah, maka manusia menyerahkan diri pada institusi tertentu yang dapat mengatur kehidupan mereka dan menjadi tempat bagi mereka untuk meletakkan kebebasannya tepat di atas altar yang dijaga oleh para pemuka agama. Dalam kisah ini, institusi itu bernama Gereja.  
Kisah Pencobaan dalam Injil sebagai Referensi Kegagalan Kristus      
Penolakan Kardinal atas kedatangan Kristus didasari oleh suatu kisah yang terdapat di dalam injil. Dalam kisah tersebut dikisahkan bagaimana Iblis datang “mencobai” Kristus yang saat itu sedang berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam. Pada peristiwa itu iblis mengajukan tiga pertanyaan yang sangat penting dan merepresentasikan  keadaan kehidupan manusia. Pencobaan-pencobaan yang diajukan oleh Iblis tersebut di dalam injil adalah pertama “jika Engkau Anak Tuhan, ubahlah batu ini menjadi roti”. Kedua, Jika Engkau Anak Allah loncatlah dari menara ini karena malaikat-malaikat  Tuhan tidak akan membiarkanmu mati. Pencobaan ketiga adalah “Sembahlah aku (iblis), maka seluruh kerajan dunia akan menjadi milikmu.” Dalam tiga pencobaan tersebut termuat tiga masalah yang diangkat Kardinal dalam kehidupan manusia, yaitu: masalah pangan, masalah suara hati, dan masalah kesatuan umat manusia.
            Masalah Pangan
Salah satu masalah utama dalam kehidupan manusia adalah masalah pangan. Sejak dari dahulu, jika mengacu pada mitos penciptaan dalam Perjanjian Lama, manusia dihukum harus memenuhi kebutuhan pangannya dengan bekerja. Memang manusia tidak hidup untuk makan, tetapi makan untuk hidup. Namun makanan toh harus dicari atau diusahakan. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, disamping kebutuhan akan tempat tinggal dan pakaian tentunya. Orang bahkan dapat bertindak jahat karena kebutuhan pangannya tidak terpenuhi. Telah banyak contoh-contoh di mana orang mencuri, berbohong, mengemis, bahkan membunuh sesamanya untuk dapat makan.
            Kardinal yang adalah Sang Inkuisitor kiranya menyadari hal tersebut. Ia memberikan kebutuhan pangan bagi orang-orang yang lapar merupakan hal yang sangat penting untuk dapat memperoleh hati mereka. Ia sadar bahwa seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan kebutuhan dasar orang-orang yang dipimpinnya. Kristus di sini tidak dapat menyediakan kebutuhan pangan bagi orang-orang yang lapar. Ia hanya menjanjikan makanan surgawi, sementara yang dibutuhkan secara kongkret adalah makanan duniawi yang dapat mengenyangkan perut mereka.  Kardinal mengatakan bahwa karena telah mengabaikan kebutuhan pangan duniawi itulah maka manusia bangkit melawanNya.
Kau telah janjikan mereka makanan surgawi, tetapi kuulangi lagi, bagaimana makanan itu dapat bersaing dengan makanan duniawi di hadapan orang-orang lemah, berdosa dan tak bermartabat? Bahkan jika ada seratus atau seribu yang mampu untuk mengikutiMu dan menerima makanan surgawi, bagaimana dengan jutaan manusia lain yang begitu lemah untuk mengabaikan makanan duniawi mereka? (BK: 305)
... Dengan makanan, Kau dapat menawarkan sesuatu yang akan membuat mereka patuh padaMu dengan segenap kesetiaan: Kau memberi makan dan manusia akan membungkukkan badannya untukMu. Karena tidak ada yang lebih penting bagi mereka selain makanan. .... (BK: 306)
Kesalahan pertama Kristus pada masalah pangan ini adalah Ia menolak atau mengabaikan kebutuhan pangan manusia, Ia telah menolak mengubah batu menjadi makanan (roti). Di sini, Ia tak mampu memberikan bukti empiris bahwa Ia mampu mengubahnya. Argumen Kristus yang mengatakan bahwa manusia tidak hidup dari roti saja membuat Ia sulit dipahami dan tak dapat diikuti. Kristus justru dapat dianggap telah “melecehkan” kemanusiaan dengan menolak memberi makanan duniawi bagi manusia.
            Masalah Suara Hati
            Pada pencobaan kedua ini iblis mengajak Kristus untuk membuktikan keilahianNya. Namun Kristus sekali lagi menolak  untuk melakukan pembuktian tersebut. Penolakan ini, menurut Kardinal, berdampak pada ketidakpercayaan manusia pada keilahian Kristus. Bagaimana manusia dapat yakin jika Ia adalah anak Allah jika Ia tidak dapat memberikan pembuktian kongkret atas keilahianNya? Manusia mengikuti sesuatu berdasarkan bukti. Tanpa bukti tersebut, dapat dipastikan bahwa suatu kepercayaan akan gagal. Kardinal mengatakan:
“Kau mengacuhkannya, menolak sarannya, melawan cobaan dan tidak terjun dari menara. Oh, tentu saja tindakanMu membanggakan dan mulia; bahkan kau bertindak seperti Tuhan, tetapi dapatkah Kau mengharapkan hal yang sama terjadi pada manusia, dengan kelemahan yang mereka miliki, tak disiplin, dan keturunan terkutuk, yang bukan Tuhan? (BK: 307 – 8))
Kesalahan Kristus yang kedua ini membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki bukti konkret yang dapat membuat orang akan percaya bahwa ia adalah anak Allah. Kardinal mengatakan bahwa manusia membutuhkan pembuktian akan ke-Allah-an Kristus. Kesalahan Kristus ini, menurut Kardinal, telah membiarkan manusia untuk memilih apa yang ingin dipercayainya. Ia mengandaikan bahwa setiap manusia dapat memiliki suara hati sepertiNya. Namun, manusia lebih lemah dari yang Ia bayangkan, dan membiarkan mereka memilih dengan suara hatinya adalah keterlaluan karena mereka tidak memiliki kesadaran layaknya Kristus sendiri. Bukti tentang keilahianNya untuk tidak dapat mati juga tidak dipenuhi oleh-Nya dan dengan demikian manusia tidak dapat meyakinkan dirinya untuk mempercayai keilahian Kristus.
            Masalah Kesatuan Umat Manusia.
            Pada pencobaan ketiga, Kristus menolak kerajaan dunia yang ditawarkan oleh iblis. Kerajaan dunia ini, menurut Kardinal, merupakan satu-satunya cara untuk mengembalakan manusia. Bagaimana Kristus dapat menggembalakan manusia jika Ia menolak satu-satunya cara untuk mengorgansir manusia? Untuk membumikan suatu ajaran bagi manusia adalah dengan menerima kerajaan dunia (yang tentunya ada di bumi) lebih dahulu. Jika menolak dunia, bagaimana mau mendunia? Gereja yang dijunjung oleh Kardinal telah mengambil kesempatan yang ditawarkan iblis untuk menjadi raja dunia. Kardinal mengatakan:
“... sejak delapan abad yang lalu. Tepatnya delapan abad ketika kami menerima apa yang telah Kau tolak dengan kemarahan, pemberian terakhir yang ia tawarkan padaMu – semua kerajaan di muka bumi. Kami menerima Roma dan pedang kekaisaran darinya, dan kami memaklumatkan diri sebagai satu-satunya hukum di dunia,… Kau seharusnya menerima pedang kaisar ketika ia menawarkannya padaMu. Mengapa Kau menolak tawaran terakhirnya? Jika Engkau menerima tawaran ketiga yang diberikan oleh roh itu, kau akan dapat memenuhi kebutuhan paling mendasar dari umat manusia yaitu: kebutuhan untuk memiliki seorang yang dapat dipuja, seorang yang mampu untuk membebaskan mereka dari beban hati nurani yang mereka miliki dan akhirnya yang mampu menyatukan mereka dalam suatu harmoni di mana tak ada lagi suara-suara yang tak senada, karena haus yang tak dapat terpuaskan untuk kesatuan universal merupakan tawaran ketiga dan cobaan terakhir bagi manusia. Manusia selalu berusaha untuk mengorganisasikan diri menuju kesatuan universal... (BK: 310)
            Kesalahan ketiga Kristus adalah menolak kerajaan dunia. Jika Ia mau menerima tawaran untuk memimpin pemerintahan dunia, maka Ia akan dapat menciptakan perdamaian dunia. Jika Kristus menerima untuk memimpin dunia, maka ajaran-Nya dapat diberlakukan secara universal. Namun, karena ia menolak menjadi pemimpin, maka kesempatan-Nya untuk menjadikan dunia yang damai dan penuh cinta kasih menjadi mustahil.  Gereja telah mengambil apa yang pernah ditawarkan iblis pada Kristus. Ia menerima kekuasaan untuk menguasai dunia, dan karenanya gereja berhasil mengorganisir manusia-manusia pembangkang yang lemah secara eksistensial.
Gereja Menyelamatkan Lebih Banyak Dari Pada Kristus
          Menurut Kardinal, Kristus tidak sepenuhnya gagal dalam misinya. Terdapat orang-orang, yang dengan kebebasannya, berhasil memahami ajaran Kristus dan memilih untuk mengikutiNya. Tetapi berapakah jumlah mereka? Jumlah yang sangat sedikit diabandingkan dengan mereka yang gagal, karena kelemahannya tidak mengerti apa yang ditawarkan oleh Kristus. Mereka yang tidak memahami apa yang ditawarkan Kristus kemudian ditampung oleh gereja. Melalui gereja mereka mempunyai “pegangan” untuk dapat melalui hidup. Kardinal mengatakan:
”Ingatlah, bahwa jumlah mereka hanya sedikit dan mereka lebih merupakan dewa dari pada manusia. Lantas bagaimana dengan sisanya? Mengapa yang lain, mereka yang lemah, menderita karena mereka tidak dapat bertahan seperti mereka yang kuat dapat melalui rintangan tersebut? ... Benarkah bahwa Kau datang hanya untuk memilih sedikit orang dari mereka semua? .... Katakan padaku, salahkah kami memberitakan dan bertindak seperti yang telah kami lakukan? Tidakkah itu merupakan cinta kami pada umat manusia yang membuat kami dapat menerima ide dari ketidakmampuan mereka, bahkan memaklumkan kelemahan mereka untuk berdosa? (BK: 309)
            Dari pernyataan-pernyataan di atas, jelaslah bahwa cinta kasih Kristus, bagi Kardinal, tidak dapat menjangkau semua manusia. Ajarannya hanya dimengerti dan diikuti oleh orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan seluruh manusia dunia ini. Lebih jauh, bagaimana Ia dapat memenangkan jiwa-jiwa mereka yang tidak mengerti maksud dari ucapan dan tindakkanNya? PenyelamatanNya menjadi absurd. Menurut Kardinal, mereka yang mampu mengikuti Kristus adalah pribadi-pribadi yang egoistik karena mengabaikan mereka yang lemah. Kardinal mengatakan bahwa “… mereka yang bersama-sama denganMu hanya akan menyelamatkan diri sendiri sementara kami akan menyelamatkan seluruh umat manusia.” (BK: 313)
Kisah Sang Inkuisitor dalam Perspektif Utilitaris
Argumen-argumen kardinal dalam kisah Sang Inkuisitor dapat ditelaah melalui kacamata aliran utilitaris. Mengapa? Pertama, dari sisi historis, Dostoevsky memang menyerang pandangan kaum utilitaris yang saat itu berkembang di Rusia lewat pemikiran-pemikiran sosialisme. Chernyshevsky seorang utilitaris, yang juga masyur sebagai seorang revolusioner abad 19, merupakan titik serangan argumen-argumen Dostoevsky. Chernyshevsky sendiri dipengaruhi oleh pandangan-pandangan J. S. Mill, bahkan ia menerjemahkan karya-karya Mill dan juga ulasan tentangnya.[2] Kedua, Argumen-argumen Sang Inkuisitor mengenai penyelamatan bagi lebih banyak orang itu begitu lekat dengan diktum utilitaris sendiri yaitu kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang paling besar. Dengan demikian, kita dapat melihat relasi setiap ungkapan Sang Inkuisitor dengan pandangan aliran utilitaris.

Karena kedekatan Mill dengan sejarah pemikiran Rusia, maka saya akan mengambil argumen-argumen yang berasal dari dirinya untuk menganalisa Sang Inkuisitor. Secara garis besar, pemikiran Mill menekankan pentingnya manfaat dari suatu tindakkan. Dengan kata lain, tujuan memperoleh status yang sangat penting dari tindakan manusia. Apakah tujuan dari manusia itu sendiri? Dalam konsepsi utilitarian, tujuan manusia adalah memperoleh kenikmatan. Mill mengatakan:
“Credo yang diterima sebagai dasar moral utiliti, atau kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang paling besar, adalah tindakan itu benar jika ia mengusahakan kebahagiaan. Tindakan adalah salah jika ia membawa dampak sebaliknya dari kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan yang dimaksud di sini adalah kenikmatan (pleasure); dan juga ketiadaan rasa sakit (pain).[3]

Dari pernyataan di atas dapat dilihat bagaimana tindakan itu baik atau buruk tergantung pada apakah tindakan itu mendatangkan kebahagiaan/kenikmatan atau sebaliknya. Setiap manusia, dapat dipastikan, menginginkan kebahagiaan. Namun demikian bagaimana kita dapat tahu bahwa apa yang membahagiakan bagi kita juga merupakan hal yang membahagiakan orang lain? Bukankah dapat terjadi hal yang membahagiakan bagi kita justru mencedrai orang lain? Di sini Mill membagi dua jenis kepentingan dalam diri manusia, yaitu: kepentingan yang mementingkan diri (selfish interest) dan kepentingan yang tak mementingkan diri (unselfish interst). Yang pertama bertindak dengan berorientasi ke masa lalu, sementara yang kedua selalu memperhitungkan dampak yang akan terjadi di masa depan.[4] Tentu saja kepentingan diri yang baik adalah yang memperhitungkan segala dampak yang dapat terjadi di masa depan. Kepentingan diri bagi tiap orang ini berbeda-beda. Namun demikian, secara umum konsepsi kepentingan diri menurut Mill adalah cara memproteksi diri manusia, di mana di dalam melakukan hal tersebut ia harus memperhitungkan dampak-dampak yang mungkin terjadi dan sebisa mungkin untuk tidak mencederai orang lain.[5]

Dalam kisah Sang Inkuisitor, dapat dilihat bagaimana sang Kardinal memiliki pertimbangan tertentu untuk “menyelamatkan” umat manusia dalam hidup yang menyedihkan. Mereka tidak dapat masuk ke dalam arus “orang-orang utama” yang dapat memahami dan melakukan apa yang diajarkan oleh Kristus. Dikatakan pada awal tulisan ini mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga tidak sanggup menjadi “orang-orang utama”. Atas dasar kecintaan pada umat manusia, Kardinal beserta Gereja lantas “menggembalakan” mereka, kaum manusia biasa itu. (lih. kutipan BK: 309) Banyak orang menjadi bahagia (dan mungkin juga memiliki pengharapan), meski mereka adalah orang-orang lemah. Dari kacamata utilitaris pandangan Kardinal dengan Gereja itu adalah baik adanya. Mereka “menyelamatkan” umat manusia lebih banyak dari pada Kristus.

Gereja pun telah mengambil alih tugas Kristus sebagai pemimpin umat manusia. Mengapa bisa begitu? Pertama, ajaran Kristus itu tidak bisa diikuti. Kedua, manusia harus memiliki panduan untuk dapat diacu. Sebab manusia itu pada dasarnya takut akan kebebasan. Kebebasan membuat ia melayang dan tidak memiliki pijakan. Dalam pandangan Mill:

“... tinggal di dalam masyarakat membuat tak terhidari bahwa setiap orang harus melihat ke arah panduan. Panduan yang pertama adalah tidak merugikan kepentingan orang lain; kedua adalah setiap orang saling berbagi kerja dan mengorbankan apa yang ia dapat untuk kelangsungan masyarakat atau pun anggota-anggotanya dari  ketidakadilan dan penganiyayaan.”[6]

Panduan seperti yang dimaksud di dalam kutipan di atas, dalam kisah Sang Inkuisitor, disediakan oleh Gereja. Gereja adalah otoritas tertinggi dalam memberikan panduan hidup manusia-manusia lemah itu. Selain itu, tidak seperti gagasan Hobbes yang mengharuskan manusia menyerahkan kedaulatan personalnya, dalam kisah Sang Inkuisitor manusia-manusia itu sendiri yang rela memberikan kedaulatannya tanpa paksaan kepada Gereja. Di sini teori kontrak tidak berlaku. Dengan demikian, ini sesuai dengan apa yang digagas oleh Mill bahwa “... masyarakat tidak didirikan berdasarkan kontrak,...[7]
Dari apa yang tertuang di dalam di dalam kisah Sang Inkuisitor, terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kardinal dan Gereja lebih baik dari apa yang dilakukan oleh Kristus. Tetapi, apakah benar bahwa apa yang dilakukan Kristus hanya akan menyelamatkan sedikit orang saja, dan apakah yang sedikit itu adalah mereka yang egois karena tidak berdampak pada orang lain sebagaimana Kardinal melihatnya? Saya akan melanjutkan pembahasan ini dengan mengangkat gagasan Dostoevsky sang penulis kisah itu.

Sang Inkuisitor dan Dostoevsky
Sang Inkuisitor bersama dengan Gerejanya merupakan perwujudan tanggung jawab manusia setelah Tuhan tidak lagi berfungsi untuk menjawab problem kemanusiaan. Penolakan Kristus oleh Kardinal dapat dilihat sebagai penolakan terhadap campur tangan Ilahi di dalam kehidupan manusia. Tuhan telah gagal menyelamatkan umat manusia dari penderitaan. Oleh karena itu Ia tidak perlu datang lagi untuk mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Gereja telah mengambil alih dan mengoreksi apa yang dahulu gagal dilakukan oleh Kristus.
Apa yang menjadi argumen Sang Inkuisitor tidak dapat diidentikan dengan pandangan Dostoevsky mengenai problem yang tengah kita bahas ini. Kardinal bukanlah Dostoevsky, meskipun ia adalah figur yang diciptakan di dalam novelnya, Karamazov Bersaudara. Dostoevsky justru memiliki pandangan yang berbeda dari kedua tokoh tersebut.  Berikut adalah Pandangan Dostoevsky
Penderitaan merupakan pembebas
Yang menarik dari pandangan Dostoevsky adalah ia menempatkan penderitaan sebagai jalan bagi penemuan eksistensi diri. Melalui penderitaan manusia langsung berhadapan dengan beragam pilihan eksistensial untuk dirinya. Pilihan (vybor) dengan pertimbangan kesadaran suara hati ( soznanie) kemudian yang menentukan eksistensi manusia. Melalui tindakkan memilih kebebasan hadir sebagai perwujudan eksistensi. Kristus memberikan kebebasan bagi Suara hati manusia untuk mengikutinya tau tidak. Meski bagi Kardinal ini merupakan kesalahan, bagi Dostoevsky hal ini tidak dapat disalahkan. Kristus mengajarkan untuk mencintai seluruh umat manusia dan ini berarti kebebasan pilihan dalam bertindak tidak boleh bersifat tertutup, atau egoistis (svoevolie). Kesadaran memilih harus dilakukan atas dasar cinta kasih dan rasa sepenanggungan atas penderitaan yang dialami oleh manusia. Dengan demikian, bereksistensi  adalah bergumul bersama mengatasi penderitaan.
            Jika demikian, bukankah sama dengan Sang Inkuisitor yang memiliki empati kepada manusia yang menderita, dan berusaha untuk mengatasi penderitaan tersebut? Memang benar, bahwa Sang Inkuisitor berempati dan merasa terpanggil untuk mengatasi penderitaan manusia. Namun, bagi Dostoevsky, cara Kardinal untuk mengatasi penderitan manusia tidak akan pernah membebaskan manusia dari penderitaan. Mengapa? Karena apa yang mereka lakukan justru membuat manusia menjadi tidak sadar akan adanya pilihan-pilihan di dalam hidupnya.
Apa yang dilakukan oleh Kardinal dilihat Dostoevsky sebagai sebuah deifikasi terhadap manusia. Deifikasi sendiri sebenarnya berasal dari kata apotheoō (ποθεόω) yang berarti menjadi ilahi. Secara teologis apotheoō atau deifikasi dapat dipahami sebagai peninggian level manusia menjadi serupa dengan yang ilahi. Deifikasi dipahami sebagai manusia menjadi tuhan dan berhak menentukan apa saja yang dianggap layak dilakukan oleh dirinya. Bagi Dostoevsky, yang harus dilakukan bukanlah dengan deifikasi melainkan dengan kenosis (κένωσις = pengosongan diri) penderitaan dapat diatasi. Kisah tentang kenosis terdapat di dalam Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi 2:7, yang mengatakan “Kristus telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.
            Dostoevsky percaya bahwa jika seseorang melakukan pengosongan diri, seperti yang dilakukan Kristus bagi manusia, ia tidak lagi menganggap diri lebih tinggi atau lebih sadar dari manusia-manusia lain. Pandangan Dostoevsky ini direpresentasikan melalui ajaran tokoh Pastor Zosima, ia mengatakan: “Cintailah sesamamu, cintailah umat Tuhan,... Kita tidak lebih suci dari mereka.” (BK: 196) Dengan tindakan pengosongan diri, seluruh umat manusia adalah sama dan sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih sadar, dan tidak ada yang perlu untuk mengembalakan orang-orang yang dianggap lemah. Dengan demikian, Dostoevsky menggagas perlunya kenosis sebagai jalan untuk mengatasi penderitaan manusia.
Bukan Dalam Institusi Melainkan Dengan Cinta Kasih
             Cintakasih merupakan jawaban Dostoevsky untuk masalah penderitaan manusia.[8] Dengan cinta kasih manusia akan benar-benar menjadi tujuan bagi tindakan seseorang karena dengan cinta kasih manusia akan dimampukan untuk bersikap adil terhadap sesamanya.[9] Dengan demikian tidak ada lagi penindasan dan ketidakadilan yang menjadi penyebab penderitaan manusia. Ia mengatakan bahwa dengan cintakasih “manusia akan menjadi suci dan [lebih] saling mencintai satu sama lain, tidak akan ada yang menjadi kaya atau miskin, tidak ada yang kuat atau lemah, semua akan menjadi anak-anak Allah”.[10] Pandangan Dostoevsky tentang cinta kasih ini adalah cinta yang aktif (delatel’naya lyobov).           
Bagaimanakah cinta kasih Kristus digambarkan dalam kisah Sang Inkuisitor? Bukankah Kristus hanya diam saja? Memang, ketika Kardinal memenjarakan dan mengancam akan membakarNya, Kristus hanya diam. Ia tidak menggugat balik sang Inkuisitor yang menolak kedatanganNya, menolak mujizat-mujizat yang dilakukanNya, dan merendahkan kuasaNya. Kristus diam dan hanya tersenyum. Satu-satunya  respon Kristus terhadap Sang Inkuisitor adalah ciuman yang membara dihati pemimpin gereja tersebut. Apakah Kristus tidak mampu menunjukan kuasaNya pada Sang Inkuisitor? Mengapa Ia tidak menjawab argumen-argumen yang menentangNya? Apa maksud dari ciumanNya? Ke-diam-an, senyum, dan ciuman tersebut kiranya mengatakan: Penalarannmu memang tajam, tetapi cintaku lebih kuat.
Penutup
Dalam kaitannya dengan kepentingan diri, apakah yang dapat kita petik dari kisah Sang Inkuisitor ini? Pertama, penderitaan manusia haruslah diatasi. Orang lain menjadi paradigma yang menentukan suatu tindakan yang akan diambil. kedua, kita dapat melihat paradigma kepentingan diri yang dipakai, baik itu Kardinal maupun Kristus dan Dostoevsky adalah altruisme.
Pemikiran utilitarian memang memiliki rujukan pada orang lain, dengan kata lain adalah altruis. Dari kisah Sang Inkuisitor terkuak bagaimana konsep altruisme utilitaris antara Kardinal dengan Kristus; sesuatu yang dapat diterapkan (gagasan Kardinal) berhadapan dengan keutamaan (Kristus). Dari sisi kongkret dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan Kardinal itu baik karena memang bermanfaat bagi banyak orang. Namun gagasan Dostoevsky mengenai Kristus sendiri kiranya tidak dapat dianggap remeh. Ajaran mengenai cinta kasih kiranya dapat menjadi dasar bagi utilitarianisme sendiri. Ajaran Kristus tidak serta merta hanyalah ajaran utama yang hanya dapat menyelamatkan sedikit orang saja. Justru sebaliknya, ”orang-orang utama” memiliki tugas untuk memberikan pencerahan  pada banyak orang. Jadi tidk seperti Kardinal yang memimpin orang-orang lain yang lemah, orang-orang utama dalam pandangan Dostoevsky dan juga Kristus justru menjadi pelayan bagi orang-orang yang lemah.

 1] Chto, batyushka, chest, kagda nechego est/ Apa itu kehormatan kawan,  jika tidak ada yang dapat dimakan?

* Catatan kaki dan daftar pustaka tidak diberikan untuk meminimalisir hal-hal yang tidak berkenan dikemudian hari. Bagi yang berminat membaca versi lengkap silakan menghubungi penulis.