Translate

Rabu, 12 Desember 2012

SASTRA SEBAGAI PENYADARAN F.M. DOSTOEVSKY dan N. G. CHERNYSHEVSKY



Karya sastra sering kali dianggap sebagai hiburan atau pengisi waktu luang. Kegiatan sastra sendiri lebih dipandang sebagai kegiatan komersil yang berorientasi pada kapital belaka. Karya politik, filsafat, ekonomi, sosiologi, dan lain-lain dianggap sebagai karya yang lebih serius dibanding dengan karya sastra. ”Belajarlah serius, jangan terlalu banyak baca buku cerita (novel, cerpen atau karya sastra yang lain), nanti tak tajam otakmu!” begitulah kira-kira tanggapan masyarakat mengenai orang yang gemar akan karya sastra.
            Anggapan akan kedangkalan suatu karya sastra tentu tidak akan terlihat dalam tradisi sastra Rusia. Sastra di sana digandrungi tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan melainkan juga para pemikir serius, seperti filsuf dan politisi. Orang-orang seperti Lenin gemar membaca sastra, seperti karya-karya dari Chernyshevsky. Dan filsuf seperti Berdyaev membaca karya-karya Dostoevsky. Singkatnya karya sastra tidak menjadi sesuatu yang ”murahan” di Rusia, karena di dalam karya sastra mereka terdapat begitu banyak perenungan filosofis untuk selalu direnungkan dan dipikirkan.
            Sebaliknya, sastrawan Rusia pun memiliki kepekaan filosofis yang tertuang di dalam karya-karya mereka. Chernyshevsky misalnya, ia adalah seorang pemikir yang genuine. Karya estetikanya merupakan perlawanan terhadap konsep estetika Hegel dan para hegelian, yang saat itu menjadi trend dikalangan para intelektual dunia. Begitu juga dengan Dostoevsky, Karya-karya sastranya merupakan perlawanan terhadap konsep manusia yang mekanistis, yang merupakan hasil dari modernisasi ala Barat. Singkatnya, mereka tidak hanya sastrawan, melainkan juga pemikir yang konsisten dengan gagasan-gagasan yang dianutnya.
            Merupakan hal yang menarik untuk melihat kedua sastrawan besar Rusia di abad 19, yaitu F. M. Dostoevsky dan N. G. Chernyshevsky. Keduanya menyampaikan gagasan-gagasan yang cemerlang, provokatif, politis dan sekaligus filosofis melalui karya-karya sastranya. Mengapa dua tokoh ini penting untuk diangkat dan dibahas bersama? Jawabannya adalah karena pertama kedua tokoh ini hidup di masa yang sama. Kedua, kedua tokoh ini merupakan rival dari polemik budaya yang terjadi di Rusia pada abad 19. Ketiga, baik Dostoevsky dan Chernyshevky, memiliki pandangan yang khas mengenai apa yang harus dilakukan untuk kemajuan dan kemakmuraan bangsa Rusia.

Latar Belakang Sosial Politik Rusia Abad 19
Apa yang digumuli oleh Dostoevsky dan Chernyshevsky di Rusia pada abad 19 tidak dapat dilepaskan dari reformasi[1] yang pernah dicanangkan oleh Tsar Peter Agung (1672-1725) pada abad XVII. Saat itu, Tsar Peter mengirimkan siswa-siswa unggulan untuk belajar di luar negeri dengan tujuan agar dapat menyerap sains dan teknologi yang sedang berkembang di Eropa (Barat) dan membawanya ke Russia.[2] Gema dari reformasi tersebut tidak hanya berhenti pada masa pemerintahan Tsar Peter Agung melainkan tetap dilanjutkan oleh Tsar-Tsar lain setelah ia wafat.[3]
Namun demikian, reformasi tersebut belum cukup untuk menyejahterakan rakyat Russia. Secara ekonomis mayoritas dari mereka tetap hidup ‘pas-pasan’. Dan secara intelektual, saat itu masih banyak orang yang buta huruf. Jadi apa yang dicanangkan oleh pemerintah dengan reformasinya tidaklah berdampak kuat pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Reformasi hanya menyenangkan kaum atas saja dan rakyat biasa hanya menjadi “pelengkap penderita”. Situasi demikian membuat  banyak intelektual merasa terpanggil untuk memikirkan ketidakadilan yang terjadi. Mereka kecewa terhadap apa yang menimpa bangsanya dan berusaha untuk merumuskan yang terbaik untuk semua. Situasi kekecewan tersebut kiranya yang dalam pandangan Berdyaev menjadi sumber bagi para penulis Russia untuk berkarya.[4]
Pada abad XIX, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah feodal saat itu. Sekitar tahun 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda yang mencoba mengeritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal-bakal dari gerakan yang disebut ‘Intelegensia’. Intelegensia sendiri merupakan istilah khas Rusia yang timbul pada masa itu. Istilah ini tidak sama artinya dengan intelektual, intelegensia lebih bernuansa “propetik”. Setiap intelegensia beranggapan bahwa mereka memiliki ikatan yang sama, yakin bahwa mereka memiliki tugas khusus untuk “mewartakan” pembaruan sosial. Tugas mereka laksana seorang pendeta atau pastor namun dalam bentuk sekular.[5] Ikatan tersebut kiranya melebihi ide pemikiran yang mereka miliki (anut) masing-masing. Karena kegigihan mereka memperjuangkan ide-ide kemasyarakatan, mereka bahkan dikenal sebagai sebuah “kelas” yang siap untuk dipenjara, menjalani kerja paksa bahkan kematian sebagai upah dari pemikiran mereka.[6]
Wacana yang begitu diminati oleh para intelegensia saat itu adalah bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi salah satu tema pemikiran mereka. Di sini, usaha untuk merumuskan identitas bangsa Rusia giat dilakukan oleh para intelegensia. Selain itu, mereka juga mencari alternatif sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan agar dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Pencarian akan kerusiaan orang Rusia kemudian menimbulkan sebuah polemik kebudayaan di antara mereka. Perlu diingat bahwa intelegensia bukanlah golongan homogen, malainkan terbagi menjadi dua kelompok, yang satu adalah kelompok yang menginginkan pengadopsian pola-pola Eropa Barat untuk kemajuan bangsa Rusia, yang disebut Zapadniki (westernizer); sedangkan yang lain adalah kelompok yang menginginkan Rusia untuk kembali ke akar budayanya sendiri, yaitu kelompok Slavophil. Dua kelompok ini sebenarnya menginginkan hal yang sama, yaitu pembaharuan dan kemajuan bangsa Rusia. Orang-orang Zapadniki beranggapan bahwa jika Rusia ingin maju, maka ia harus mencontoh apa yang terjadi di Eropa Barat. Seperti diketahui, bahwa bangsa Barat dengan rasionalitas yang mereka miliki telah mengalami kemajuan yang pesat dibidang ilmu-ilmu, terlebih pada ilmu alam. Kaum zapaniki beranggapan bahwa masa depan Rusia hanya dapat dituju dengan mengikuti apa yang terjadi di belahan Eropa Barat. Sementara itu, kaum slavophil percaya bahwa untuk mencapai  kemajuan bangsa Rusia harus kembali pada tradisi di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama. Mereka percaya bahwa melalui ortodoksi yang mereka miliki, mereka dapat sebanding atau tidak kalah dengan  bangsa-bangsa Eropa Barat. Meskipun pilihan idiologis mereka berbeda, tetapi terdapat benang merah yang serupa dari pemikiran-pemikiran kedua kelompok tersebut. Hal yang menyatukan mereka adalah sosialisme (yang dapat berbentuk sekular atau religius).
            Sosialisme merupakan idiologi profetik di dalam kehidupan manusia modern. Sosialisme merupakan suatu doktrin yang mengagas kebersamaan sebagai panji utamanya. Kebersamaan ini diwujudkan dengan tiadanya kepemilikan dan keuntugan pribadi. Semua hal yang diusahakan manusia haruslah untuk tujuan bersama dan milik bersama pula karena kepemilikan pribadi dapat menimbulkan penindasan dan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Dengan tiadanya kepemilikan secara pribadi sosialisme percaya dapat membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik dan tanpa penindasan karena setiap orang akan menjadi saudara.
Sosialisme sendiri hadir di Russia dalam tiga bentuk. Pertama,  sosialisme utopis,  yang beranggapan bahwa pembaharuan sosial hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan.[7] Kedua adalah sosialisme Narodnik[8] yang percaya bahwa pembaharuan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire yang menghisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah.[9] Ketiga adalah sosialisme  ilmiah atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis. Bentuk pemikiran seperti sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut sosialisme ketiga ini secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan Tsar di abad 19, dan reformasi yang pernah dicanangkan oleh Tsar Peter Agung.[10]
Chernyshevsky adalah seorang zapadniki (westernaizer). Ia percaya bahwa perubahan dapat terjadi jika cara kerja ilmu-ilmu alam diterapkan pada sistem sosial. Ia percaya bahwa hanya ilmu alam yang dapat mempertahankan objektivitasnya. Dengan ilmu alam yang rasional itu, bangsa Rusia akan sanggup untuk mencapai tujuannya, yaitu kesejahteran bagi seluruh rakyat. Melalui tulisan dan tindakannya, Chernyshevsky ingin mendidik rakyat Rusia  untuk melaksanakan tugas termulia: berbakti pada rakyat dengan jalan melaksanakan revolusi sosialis.[11] Pengaruhnya begitu kuat bagi gerakan-gerakan revolusioner Russia pada saat itu. Mulai dari tokoh-tokoh Nachaev, seorang nihilis[12], hingga Lenin dipengaruhi oleh pemikiran Chernyshevsky. Lenin bahkan mengadopsi judul novelnya yang berjudul ‘What is to be Done?’[13] untuk judul traktat politiknya. Keberadaannya di Russia dapat dikatakan sebagai santo sekular.[14]  
Sementara itu, Dostoevsky sebagai seorang Slavophil beranggapan bahwa Rusia tidak perlu mengikuti (apa lagi mengimitasi) bangsa-bangsa Barat. Rusia memiliki keutamaan dan identitasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat. Keutamaan dan identitas Rusia yang luhur itu terdapat di dalam  tradisi, di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama. Ortodoks (prasvo-slavie – bhs. Rusia)  berarti kepercayaan yang murni. Ortodoksi yang mereka miliki tersebut sebanding atau tidak kalah dengan modernitas yang dimiliki bangsa-bangsa Eropa Barat. Dengan kembali kepada akar budaya, mereka yakin bahwa Rusia akan memperoleh kembali kejayaan mereka. Dostoesvky sebagai seorang Slavophil pernah mengatakan bahwa:  “Keselamatan kita (Rusia – HS) berada pada tanah dan rakyat”.[15]

Realisme Sebagai Landasan
Baik Dostoevsky maupun Chernyshevsky menggunakan faham realisme di dalam karya-kaya mereka. Realisme sendiri di dalam ranah pemikiran (secara umum) berarti suatu usaha untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Maksudnya adalah menerima fenomen-fenomen seperti benda-benda atau pikiran sebagaimana adanya, tanpa idealisasi dan spekulasi.
            Di dalam realisme, fenomen-fenomen “dilihat” sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, lepas dari gagasan-gagasan (seperti idealisasi atau spekulasi) yang dimiiki oleh manusia. Jadi jika ada sebuah meja, maka meja itu ada secara tersendiri. Meja bukanlah suatu yang eksis di dalam pikiran belaka, seperti yang bayangkan oleh pada penganut idealisme. Meja itu ada, dan tetap ada tanpa perlu kehadiran seseorang untuk mempersepsikannya. Lebih lanjut, seperti layaknya meja, dunia juga merupakan fenomen yang berdiri sendiri. Dunia itu ada secara kongkret dan bukan dalam persepsi manusia. Jika dunia itu hanya ada di dalam persepsi seseorang, maka ketika orang itu meninggal, maka dunia itu ikut mati bersamanya. Tetapi kenyataannya tidak. Dunia tetap ada walaupun orang yang mempersepsikannya telah tiada. Pendapat ini tentu masih dapat dipertanyakan. Bukankah manusia di dalam dunia juga mendunia? Maksudnya bukankah manusia juga membentuk dunianya sendiri, seperti dunia bisnis, dunia olah raga, dunia pemikiran, dan lain-lain. Tetapi bukan dunia seperti itu yang dimaksudkan di dalam realisme. Dunia seperti yang tadi disebutkan merupakan dunia kedua yang dikonstruksi oleh manusia. Dunia yang dimaksud dalam realisme adalah dunia yang juga di sebut bumi dalam arti yang khusus. Jadi bukan dunia yang terdapat di dalam dan dikonstruksi oleh manusia sendiri.
            Di dalam ranah seni, realisma muncul sebagai perlawanan terhadap dua arus pemikiran, yaitu idealisme dan romantisisme. Idealisme adalah pemikiran yang dingin, abstrak dan melulu teoritis, sehingga tidak menjejak lagi di dalam kenyataan kongkret. Sementara romantisime adalah gerakan yang telah memisahkan seniman dan juga karya seni dari akarnya, yaitu masyarakat. Semboyan Romantik yang mengatakan l’art pour l’art merupakan jargon yang memuakkan dalam pandangan realisme. Mengapa? Karena l’art pour l’art itu absurd. Tidak ada seni yang dapat berdiri sendiri tanpa ada manusia dan masyarakat yang menjadi dasarnya. Bagi faham realisme, seni itu haruslah berasal dari manusia dan masyarakat, dan haruslah bagi masyarakat.
            Jika dirunut lebih jauh, faham realis dalam seni sebenarnya dapat ditelusuri dari pandangan August Comte (1798-1857). Comte mengatakan bahwa pengalaman akan keindahan dan seluruh bidang kesenian tidak bisa merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Sebaliknya, seni harus lahir dari masyarakat dan demi masyarakat pula.[16] Pandangan tentang seni ini kemudian dilanjutkan pula oleh pemikir-pemikir lain seperti Hyppolyte-Adolphe Taine (1828-1893), Charles Fourier ( 1772-1837), Pierre Joseph Proudhon (1809-1865), dan lain-lain. Dua tokoh terakhir merupakan tokoh yang memiliki pengaruh kuat terhadap intelektual Rusia abad 19.
            Dasar dari metode realisme  dalam seni, secara sederhana, adalah analisa sosial, yaitu studi dan penggambaran manusia di dalam masyarakat. Realisme tidak seperti faham-faham lain (idealisme maupun romantisisme) yang mengisolasi manusia dari latar belakang sosial yang dihidupinya. Sebaliknya, realisme mengungkapkan apa yang ada di dalam masyarakat dan menyodorkan kembali kepada masyarakat agar mereka menyadari situasi tersebut.[17] Hal tersebut kiranya nampak dalam karya-karya sastra realis. Di dalam karya sastra realis dapat dijumpai gambaran-gambaran kongkret mengenai situasi sosial yang tertuang dan menjadi latar belakang yang dihidupi oleh tokoh-tokoh di dalam karya tersebut.
            Chernyshevsky dan Dostoevsky adalah orang-orang realis. Di dalam karya-karya mereka dapat ditemukan gambaran-gambaran kehidupan serta kepelikan yang terdapat di dalamnya. Lebih lanjut, Chernyshevsky sendiri memandang seni sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan alam ini karena seni merupakan reproduksi dari keindahan yang terdapat di dalam kehidupan dam alam itu sendiri. Sebagai sesuatu yang hadir dan eksis di kehidupan, seni juga memiliki fungsi moral, yaitu seni harus membuat orang semakin menyadari kemanusiaan yang dimiliki dan dihidupinya. Maksudnya adalah selain mengangkat realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat, seni juga harus menggugah masyarakat untuk meyadari realitas hidupnya. Dengan mengguangkapkan realitas kehidupan dan apa yang penting di dalam kehidupan manusia dan alam, bagi Chernyshevsky, seni telah menjalakan fungsi moralnya.[18] Pentingnya seni di dalam kehidupan manusia, maka seperti juga ilmu-ilmu alam, menurutnya, seni haruslah terbuka atau dapat diakses secara masal.[19]
             Seperti para realis lainnya, Dostoevsky menolak l’art pour l’art. Baginya seni adalah ekspresi kreativitas manusia. Seniman, pencipta karya seni, adalah manusia yang hidup di sini dan kini, dan seni sebagai karya adalah hasil dari pengungkapan kehidupan itu sendiri. Seni tidak dapat dilepaskan dari kehidupan.[20] Sepintas, pandangan Dostoevsky dan Chernyshevsky mengenai seni nampak serupa, namun demikian dua tokoh ini berbeda di dalam memandang fungsi dari seni. Jika pada Chernyshevsky seni dipandang sebagai alat untuk menyadarkan manusia akan kemanusiaan dan realitas hidupnya serta bertujuan untuk mengubah masyarakat, pada Dostoevsky manfaat seni tidak dipahami demikian. Manfaat seni baginya adalah keindahan itu sendiri. Seni menjalankan fungsinya jika seni dibiarkan bebas dan menjadi dirinya sendiri ketimbang dipaksakan untuk suatu tujuan-tujuan politik (yang menjadi tujuan dari realisme sosialis).  Menurutnya, manfaat seni, dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia, adalah keindahan dirinya. Keindahan seni bermanfaat karena ia indah.[21] Dari pendapatnya tersebut, apakah kemudian Dostoevsky jatuh ke dalam romantisisme yang digugat para realis? Jawabannya tidak. Di dalam novel-novelnya dapat ditemukan bahwa ia konsisten dengan realisme. Ia bahkan tidak menolak tema-tema sosial yang menjadi latar belakang dari karya-karya sastra. Namun demikian, yang menjadi maksud darinya adalah ia menolak jika usaha kreatif seniman dalam menulis dibatasi oleh tuntutan-tuntutan di luar kreativitas itu senidiri. Ia menolak jika tujuan karya sastra hanya direduksi menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan nonestetik, sepeti tujuan politik.[22]
            Perbedaan mengenai manfaat seni dalam pandangan kedua tokoh ini mungkin menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, tetapi di dalam tulisan ini saya tidak akan membahasnya secara lebih lanjut. Yang akan kita gumuli bersama di dalam tulisan ini adalah bagaimana mereka menggambarkan realitas yang ada di zamannya dan bagaimana mereka melihat apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Rusia.

Sto Delat? Versus Zapiski iz Podpol’ya
Gambaran akan kondisi Rusia di abad 19 dan apa yang harus diperbuat oleh bangsa itu, kiranya tertuang di dalam karya dua sastrawan besar ini. Situasi ambigu yang lahir dari ketegangan antara modernitas dan tradisi, antara kaum zapadniki dan slavophil kiranya tercermin jelas di dalam novel Chernyshevsky dan Dostoevsky.
            Novel Sto Delat? atau ‘Apa Yang Harus Dilakukan?’ merupakan novel yang ditulis Chernyshevsky di Siberia tahun 1862, ketika ia menjalani hukuman akibat aktivitas politiknya. Sebagaimana diketahui bahwa Dalam peta pemikira Rusia, Chernyshevsky tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir dan sastrawan. Ia juga dikenal sebagai seorang yang melakukan apa yang digaungkan dalam tulisan-tulisannya. Dapat dikatakan bahwa teori dan praksis adalah kesatuan di dalam kehidupan Chernyshevsky.
            Semangat revolusioner merasuk pada diri Chernyshevsky ketika ia kuliah di universitas St. Petersburg. Dengan membaca karya-karya pemikir sosialis dunia seperti Fourier, Proudon, Robert Owen, dan lain-lain, ia mulai memahami bahwa dalam kehidupan berbangsa tidak boleh ada satu kelas yang menindas kelas lainnya. Berbekal pemikiran tokoh-tokoh sosialis, ia melihat bahwa Rusia adalah contoh kongkret adanya penindasan suatu kelas terhadap kelas lainnya, yaitu kelas borjuis (juga feodal) terhadap kelas petani. Baginya  jalan damai tidak akan berhasil untuk menumbangkan kelas penghisap darah rakyat, harus dengan revolusi-lah petani dan rakyat tertindas akan memperoleh kebebasannya.
            Keyakinan bahwa harus ada revolusi dibuktikannya dengan keluarnya ia dari dunia akademik tempatnya mengajar, dan memulai aktivitas politiknya dengan menceburkan diri dalam bidang sastra dan jurnalis di St. Petersburg tahun 1853.  Ia membantu dua majalah yang kiri Otechestvenniya Zapiski (Catatan Tanah Air) dan Sovremennyik (Orang Sejaman). Melalui dua majalah tersebut gagasan-gagasannya mengenai revolusi sosialis mengalir dan membakar semangat para pembacanya.
Di tahun 1860-an  Chernyshevsky ikut aktif berperan dalam kelompok pochva i svoboda (tanah dan kebebasan). Lebih dari itu, ia juga memproklamasikan perlawanan terhadap Tsar. Proklamasi tersebut ditujukan bagi para Barskim krestyanam (petani tanpa tanah atau petani budak). Dalam proklamasi tersebut, ia menganjurkan adanya sebuah revolusi sebagai jalan bagi terciptanya kesamaan harkat dan derajat bagi para petani dan para petani diminta untuk bersatu dan menyiapkan senjata untuk kepentingan revolusi. Selain itu, ia juga meminta petani untuk lebih mendekatkan diri dan bersahabat dengan para tentara.  
Chernyshevsky dijebloskan ke dalam penjara pada tahun 1862 namun ia baru menjalani sidang setelah dua tahun menjalani masa tahanan di Penjara Peter and Paul di St. Petersburg. Di dalam persidangan, sebenarnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjang untuk menetapkan kesalahannya, namun dengan tuduhan palsu bahwa ia menjalankan usaha percetakan ilegal ia akhirnya dihukum kerja paksa selama empatbelas tahun dan menjalani pembuangan di Siberia (Tsar kemudian mengubah hukumannya menjadi tujuh tahun). Chernyshevsky tahu bahwa tuduhan itu adalah tuduhan palsu, dan untuk menunukan pebelaannya ia melakukan aksi mogok makan selama sembilan hari yang mengakibatkannya hampir mati karena lemas. Senat Rusia saat itu mencabut semua hak-hak sipil yang dimiliki Chernyshevsky.
Sebelum menjalani hukuman kerja paksa, Chernyshevsky dipermalukan di depan publik. Ia diikat rantai dan di arak ketengah kota serta dinaikan ke panggung dengan mengenakan papan yang dikalungkan dilehernya. Panpan tersebut bertuliskan ‘Penjahat Bangsa’. Di penjara, jiwa revolusioner Chernyshevsky tidak padam. Di Siberia ia menuliskan banyak karya berbentuk sastra, roman, politik, ekonomi, sejarah, dan juga terjemahan-terjemahan. Karya yang sangat terkenal, yang ditulis ketika ia dipenjara yaitu karya sastra berjudul ‘Apa Yang Harus Dilakukan’. Karya sastra ini merupakan sastra politik-filosofis. Di dalam karya tersebut ia mengungkapkan apa-apa saja yang diperlukan guna membebaskan bangsa dari penindasan kaum aristokrat. Revolusi rakyat adalah keniscayaan yang harus dilakukan jika petani dan orang miskin Rusia menginginkan kebebasan.
Di dalam novel ini dapat dilihat bagaimana Chernyshevsky merasa bahwa bangsa Rusia harus belajar banyak dari dunia Barat, di mana sains dan rasionalitas  menjadi perangkat mereka untuk mencapai kemajuan. Argumen-argumen yang dikemukakannya melalui figur Lopukhov jelas didasarkan atas pemikiran Eropa Barat mengenai rasionalitas dan perfeksibilitas manusia.[23] Di sini ia mengemukakan pentingnya sebuah kalkulasi atau perhitungan atas segala tindakan yang dilakukan oleh manusia. Baginya, suatu tindakan haruslah dipilih berdasarkan apa yang paling bermanfaat. Melalui Lopukhov ia mengatakan:
“Kita mulai dari melihat bahwa tindakan manusia didasarkan atas apa yang perlu untuk dilakukan. Tindakan-tindakan tersebut kiranya di dasarri oleh motovasi-motivasi yang dimilikinya. Dalam bertindak, salah satu motivasi menjadi dasar bagi apa yang dilakukannya. Dalam masalah hidup dan mati, di situlah kiranya tempat di mana kita meletakan proposisi kita antara apa yang paling bermanfaat untuk dilakukan. Pertarungan antarmotif di dalam diri manusiakita sebut sebagai pertimbangan apa yang paling bermanfaat untuk dilakukan. Dengan demikian, sebenarnya manusia selalu bertindak berdasarkan pertimbangan apa yang paling bermanfaat dan apa yang kuran bermanfaat.”[24]

                  Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep utilitarian yang digagas oleh Chernyshevsky untuk bangsa Rusia. Sepintas terlihat bahwa konsep tersebut begitu egoistik karena manusia menentukan apa yang paling bermanfaat atau menguntungkan bagi dirinya. Namun, kalkulasi tersebut tidak harus bersifat egoistik karena di dalam pandangan utilitarianisme, manusia dikatakan baik jika, ketika mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, ia juga harus memberikan keuntungan bagi orang lain. Selaras dengan pandangan John Stuart Mill, seorang pemikir yang dikagumi oleh Chernyshevsky, moralitas utilitaris juga mengenal konsep pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian, pencarian keuntungan atau manfaat dari suatu tindakan tidak melulu bersifat egoistik.[25]
             Tindakan untuk mencari apa yang paling bermanfaat haruslah mempertimbangkan keberadaan orang lain agar tidak jatuh ke dalam tindakan yang egoistik. Keberadaan orang lain perlu diperhitungkan karena manusia tidak hidup sendiri, dan individualitas manusia tidak cukup sebagai sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, individualitas harus diminimalisir supaya kebahagiaan bersama dapat dicapai. Di sini Chernyshevsky menekankan pentingnya kebersamaan manusia. Tindakan harus didasarkan pada kalkulasi terhadap apa yang paling bermanfaat bagi banyak orang. Jika tindakan itu hanya bermanfaat bagi sedikit orang, tindakan itu masih kurang baik. Suatu tindakan bisa menjadi benar-benar baik jika tindakan itu memberi manfaat bagi banyak orang. Semakin banyak orang yang menerima manfaat darinya, semakin baiklah tindakan itu.[26]
            Menurut Chernyshevsky, Rusia bisa melakukan tindakan yang akan memberikan banyak manfaat bagi rakyatnya jika ia mau mencontoh apa yang terjadi di Eropa Barat. Melalui sains dan teknologi Rusia akan mampu mencapai kemajuan yang akhirnya akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyatnya. Impian yang menunjukan hal tersebut nampak pada bagian  novelnya yang berjudul ‘Mimpi Vera Pavlona’. Di dalam mimpi tersebut, dikisahkan  Vera berada di dalam sel yang gelap. Sel tersebut kemudian terbuka dan Vera tiba-tiba berada di sebuah lapangan yang dipenuhi oleh orang-orang tua, baik lelaki maupun perempuan, yang lumpuh. Vera sendiri juga mengalami kelumpuhan, namun ia tidak pernah menyadari bahwa dirinya lumpuh. Hal ini menurutnya karena ia terlahir dengan kondisi demikian dan dikelilingi oleh orang-orang yang juga sama sehingga ia tidak menyadari kelumpuhannya. Ia tidak pernah berjalan maupun berlari. Dengan demikian, bagaimana ia tahu bahwa ada kondisi lain selain kelumpuhan yang dialaminya. Kelumpuhan kemudian dimaklumkan sebagai sesuatu yang memang harus demikian dan sudah semestinya ada di dalam kehidupan. Tiba-tiba sebuah suara yang tidak dikenalnya menyembuhkan Vera. Ia bisa berjalan, bahkan berlari. Ia bebas dan lepas berjalan dan berlari kesana-kemari hingga akhirnya ia mendapatkan tugas mulia dari suara tersebut. Tugas itu adalah suatu perintah agar Vera menyembuhkan juga orang-orang lumpuh di sekitarnya.
            Mimpi yang dialami oleh Vera Pavlovna kiranya merupakan representasi dari situasi yang terjadi di Rusia saat itu. Chernyshevsky melihat bahwa bangsanya tinggal di dalam kegelapan dan keterkungkungan (tradisi, agama dan feodalisme), yang digambarkan melalui orang-orang tua yang lumpuh. Suara yang membebaskan itu adalah representasi dari sains dan rasionalitas bangsa Eropa Barat. Orang-orang Rusia selama ini tidak menyadari dan mengerti bahwa mereka tinggal di dalam kegelapan dan mengalami kelumpuhan karena mereka lahir dan dibesarkan dalam kondisi seperti itu. Hanya sains dan Rasionaitas Barat-lah yang dapat menyembuhkan mereka dari kelumpuhan dan membawa mereka ke luar dari kegelapan yang mereka alami selama ini. Tugas yang diemban oleh Vera merupakan representasi dari apa yang harus dilakukan oleh orang-orang muda yang progresif. Mereka harus memberikan penyadaran akan realitas yang kelam dan membebaskan masyarakat dari kegelapan yang dialaminya serta menyembuhkan masyarakat dari ketidakberdayaanya.
    Novel Zapiski iz Podpol’ya yang ditulis Dostoevsky merupakan perlawanan dari apa yang dicetuskan Chernyshevsky dalam novelnya Sto Delat?. Dostoevsky, seperti telah disinggung di bagian awal, adalah seorang slavophil. Sebagai mana orang-orang slavophil, ia menolak pengadopsian budaya Barat oleh bangsa Rusia. Baginya kemajuan bangsa Rusia hanya dapat dicapai jika Rusia kembali kepada keutamaan dan identitasnya sendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat, yaitu tradisi, di mana gereja ortodoks menduduki tempat yang utama.
Di dalam novel ini dapat dilihat sanggahan-sanggahan yang dilakukan Dostoevsky terhadap pemikiran Chernyshevsky dan kaum zapadniki yang pro Barat. Ia mengatakan bahwa rasionalitas Barat yang merasuk ke dalam orang-orang Rusia itu sama dengan penyakit gigi yang diderita oleh manusia. Namun karena penyakit itu tidak kunjung sembuh, maka orang kemudian malah menikmatinya. Orang-orang sakit itu adalah orang-orang seperti Chernyshevsky dan kaum zapadniki, mereka tidak sadar akan “penyakit” yang merongrong kedaulatan bangsa Rusia. Mereka, karena tak dapat sembuh malah menikmati penyakit gigi tersebut. Bagi Dostoevsky tidak ada yang patut dibanggakan dari rasionalitas Barat, yang mendudukan pikiran di atas segalanya. Apakah rasionalitas itu? Rasionalitas hanyalah cara berpikir, dan sebagaimana pikiran, ia hanya akan memuaskan kapasitas berpikir manusia, tidak lebih.[27]
Mengenai konsep utilitarian yang digagas Chernyshevsky, di mana manusia harus mengkalkulasi tindakan-tindakannya berdasarkan apa yang paling bermanfaat atau yang paling menguntungkan, Dostoevsky membantah hal tersebut. Ia mengatakan bahwa perhitungan dan kalkulasi itu tidak dapat memberikan kepastian pada manusia. Apakah yang dapat dipastikan dari manusia? Hanya orang bodohlah yang dapat dipastikan.[28] Manusia sebenarnya lebih dari pada perhitungan dan kepastian-kepastian tersebut.
Dostoevsky tidak sependapat dengan proyek Chernyshevsky tersebut. Ia melihat bahwa perubahan harus dimulai dari manusia itu sendiri. Menurutnya apa yang digagas oleh Chernyshevsky tidak melihat manusia sebagai manusia melainkan mesin. Manusia bukan benda. Oleh karena itu maka ia tidak dapat ditentukan dalam kalkulasi-kalkulasi saintifik. Dostoevsky beranggapan bahwa perlu cintakasih bagi manusia  untuk bereksistensi. Dengan cintakasih penindasan terhadap manusia tidak akan terjadi karena cintakasih akan menjadikan manusia untuk bertindak secara adil.
Dostoevsky berpendapat bahwa apa yang ada di Barat tidak perlu menjadi identitas bangsanya. Rusia memiliki budayanya sendiri, yang lebih baik jika dibandingkan dengan budaya Barat. Perbedaan Rusia dengan bangsa Eropa Barat, mengikuti pembagian yang dilakukan Komyakov, seorang slavophil, diungkapkan dengan istilah iranstvo dan kushitstvo. Iranstvo adalah istilah yang berarti kebebasan dan spiritualitas, sedangkan kushitstvo berarti keniscayaan dan materialistik. Komyakov beranggapan bahwa identitas Bangsa Rusia adalah iranstvo dan dunia Barat adalah kushitstvo.[29] Kebebasan yang dimaksud dengan iranstvo tidak sama dengan kebebasan individual yang terdapat dalam liberalisme Barat. Di Rusia kebebasan dipahami sebagai kebebasan spiritual umat Tuhan. Menurut Dostoevsky, pengadopsian nilai-nilai Barat tidak perlu dilakukan karena peradaban Eropa akan jatuh karena liberalisme yang dianutnya, dan mengikuti liberalisme yang terjadi di Eropa sebagaimana yang berlangsung di Rusia saat itu sama saja dengan mengikuti kejatuhan mereka.[30]
Penutup
Pertarungan konsep dan idiologi kedua pemikir besar Rusia abad 19, yang dituangkan ke dalam karya-karya sastra mereka, kiranya bukan sekedar pertarungan intelektual belaka. Pertarungan ini adalah pertarungan untuk kedaulatan dan kemajuan bangsa Rusia sendiri. Apa yang dilakukan oleh Chernyshevsky dan Dostoevsky di dasarkan kepada rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka berdua memiliki kerinduan yang sama untuk melihat Rusia mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Apa yang menjadi pembeda dari dua sastrawan-filsuf ini adalah cara-cara yang mereka gagas untuk mencapai kemajuan tersebut.
          Dari perjalanan sejarah, menjelang revolusi Bolshevik, dukungan terhadap pemikiran kaum zapadniki menguat. Ini berarti apa yang digagas oleh Chernyshevsky mendapat dukungan di masa itu. Harus diakui bahwa dengan gagasan-gagasan sosialisme sekular (marxis), dalam waktu singkat Rusia (kemudian menjadi Uni Soviet) telah berhasil menjadi salah satu negara adi daya di dunia.
          Kehidupan Chernyshevsky memang telah usai ketika revolusi Bolshevik meletus, tetapi semangat dan gagasan-gagasan darinya kiranya telah mengilhami sejumlah tokoh-tokoh revolusioner untuk berjuang membebaskan rakyat Rusia dari ketertindasnnya. Lenin sendiri di dalam bukunya Emperio Criticism mengatakan:
Chernyshevsky merupakan satu-satunya pemikir besar yang, sejak tahun limapuluhan sampai 1888, mampu mempertahankan filsafat materialisme dan mendepak hal-hal tak masuk akal dari neo-Kantian, Machian dan para pemikir yang berpikiran kusut lainnya.[31]
Namun demikian, seturut dengan keberhasilan pendukung-pendukung zapadniki, apakah gagasan yang dibangun Dostoevsky dan kaum slavophil tenggelam dan hilang begitu saja? Nampaknya tidak. Justru, apa yang digagas Dostoevsky terbukti benar di kemudian hari. Gagasan Chernyshevky terbukti terjebak pada perbudakan “gaya baru”. Jika dahulu rakyat diperbudak oleh pemerintahan feodal, kini rakyat diperbudak oleh rezim komunis. Dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, individualitas hampir setiap warga negara tertindas. Harus diakui pula bahwa pengagungan terhadap rasionalitas manusia telah menimbulkan bencana yang tidak sedikit. Dostoevsky benar ketika ia mengatakan: Lihatlah darah mengalir di sungai-sungai... Lihatlah apa-apa yang terjadi sepanjang abad 19... Lihatlah Napoleon ... Lihatlah apa yang terjadi di Amerika Utara.”[32]
          Apa yang dapat kita petik dari kedua sastrawan besar dan bangsa Rusia untuk Indonesia kiranya adalah usaha untuk membangun karakter bangsa dan perdebatan logis atas suatu masalah. Perdebatan seperti itu memang pernah ada  di dalam sejarah sastra Indonesia sebelum peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965). Saat itu sastrawan baik dari pihak kiri maupun kanan, pihak Manipol maupun Manikebu berdebat mengenai hal-hal serupa untuk membangun karakter bangsa. Kini debat-debat untuk membangun karakter bangsa kiranya sudah jarang terjadi, terlebih dalam ranah sastra. Karya-karya sastra pun kini jarang ada yang mengangkat tema tersebut. Mungkin karena tidak “menjual” seperti tema-tema cinta remaja, maka tema kebangsaan sudah tidak menarik lagi. Ah, jika Chernyshevsky hidup di Indonesia pada zaman ini, tentu ia akan mengatakan “Что Делат Индонезийкий? Dan Dostoevsky akan menulis “Записки из Индонезя”, untuk menggagas keindonesiaan orang Indonesia

* Catatan kaki dan daftar pustaka tidak disertakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Edisi lengkap dapat dilihat di  Journal Glasnost (FIB Universitas Indonesia), Vol.  IV. April 2008 – September 2008 atau dapat diminta pada penulis