Translate

Sabtu, 21 April 2012

OPTIMISME SEJARAH MANUSIA PENCERAHAN “ Kritik Herder terhadap Filsafat Sejarah Kant”

Zaman Pencerahan merupakan zaman yang optimistik dengan kemajuan sains dan rasionalitasnya. Kemajuan-kemajuan tersebut membawa keyakinan bahwa manusia bisa dan pada akhirnya akan menuju ke arah kemajuan yang paripurna. Pandangan yang optimistik tersebut kiranya berdampak pada konsepsi sejarah manusia pada zaman itu. Makalah ini akan mempresentasikan filsafat sejarah yang ada ada pemikiran Kant dan tanggapan Herder terhadapnya. Karena itu pembahasan akan dimulai dengan konsep diri. Ini penting karena otonomi diri di zaman Pencerahan begitu diagung-agungkan. Pembahasan ini akan memberikan gambaran singkat tentang diri sebelum melihat mengenai kesejarahan manusia. Pembahasan kemudian akan melihat hubungan filsafat sejarah dan diri, di mana keduanya sebenarnya merupakan hal yang spekulatif adanya. lalu akan dibahas singkat filsafat sejarah Kant dengan dilanjutkan tanggapan dari Herder. makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan kristis.
Diri Sebagai Acuan
Zaman Pencerahan tidak dapat dilepaskan dari keterpesonaan terhadap manusia yang terjadi sejak zaman Renaisans sekitar abad 16. Melalui kelahiran kembali (Renaissance) ini orang mulai memandang diri sebagai sesuatu yang unik. Mereka melihat diri dan tubuh mereka dengan tidak asing seperti sebelumnya, melainkan dengan rasa takjub. Takjub terhadap dirinya sebagai manusia. Rasa keterpesonaan itu nantinya membawa manusia pada subjektivitasnya. Ia menjadi pusat dan penentu bagi apa yang ada di dunianya.
Sejak itu pula rasionalitas manusia menjadi penting. Dengan rasio manusia mulai menalar kehidupannya dan bersikap kritis terhadap tradisi-tradisi yang selama ini mengungkungnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya, yakni: pertama, kesadaran diri sebagai subjek; kedua, sikap kritis terhadap prasangka-prasangka dari tradisi/percaya kepada otoritas sains; dan ketiga, progresivitas. Ketiga jiwa modernitas di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mereka eksis secara utuh bersama-sama. Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom merupakan tujuan manusia. Dengan sadar akan diri sebagai subjek otonom, maka dewasalah ia.[1]
Di sini konsepsi mengenai diri sebagai subjek yang otonom menjadi penting adanya. Namun demikian, diri yang dimaksud bukanlah diri dalam pengertian biasa, melainkan diri yang transenden; yang melampaui kedirian personal. Schroeder mengatakan:
Diri yang dipertanyakan (di zaman modern – HS) bukanlah diri yang biasa, bukan individu secara personal... Diri yang menjadi primadona (star performer) pada filsafat modern Eropa adalah diri transendental atau ego transendental... Diri transenden itu adalah diri yang tak lekang waktu, universal, dan berada di dalam setiap manusia sepanjang sejarah.”[2]
lebih lanjut, dalam filsafat Kant dapat ditemukan bahwa
Diri tidak hanya menjadi fokus perhatian, melainkan keseluruhan materi – subjek dari filsafat. Diri tidak hanya sebuah entitas tertentu di dunia, melainkan  sesuatu yang menciptakan dunia. Memikirkan diri tidak hanya mengetahui diri, melainkan mengetahui diri-diri yang lain, juga mengetahui struktur dari tiap diri ada dan setiap diri yang mungkin.”[3]
Dari pernyataan Schroeder tersebut dapat dilihat bagaimana keuniversalan itu penting adanya di dalam zaman Pencerahan. Suatu konsepsi itu harus dapat benar dan berlaku menyeluruh. Tidak terbatasi oleh tempat atau waktu.
Filsafat Sejarah dan Diri
Apakah hubungan antara filsafat sejarah dan diri? Di atas telah disebutkan bahwa diri dalam konsepsi Pencerahan adalah diri yang transenden, yang universal. Filsafat sejarah berbicara tentang sesuatu yang transenden, ia adalah kebeluman. Apa yang dibicarakan di dalam filsafat sejarah bukanlah sejarah dalam artian biasa, yang telah lewat di belakang, melainkan adalah apa yang dapat ada di dalam historisitas manusia itu sendiri. Namun demikian, ada baiknya jika jelas dahulu pengertian sejarah dan filsafat sejarah sebelum kita melihat lebih jauh keterkaitan filsafat sejarah dengan diri.
Sejarah dan Pendekatan Terhadapnya
Kelahiran manusia adalah keterlemparannya ke dalam sejarah. Ia terlempar ke dalam sejarah hidupnya sendiri, terlempar ke dalam sejarah keluarga, ke dalam sejarah suku, bangsa, negara, dunia dan terlebih ia terlempar ke dalam sejarah umat manusia. Tidak ada cara lain, keterlemparan ke dalam sejarah merupakan faktisitas kehidupan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ia ada di dalam sejarah dan bersama-sama menyejarah, sering kali sejarah itu menjadi sesuatu yang sangat berjarak dari dirinya. Manusia baru menyadari akan adanya keterkaitan hidupnya dengan “sejarah”[4] justru ketika ia berusaha memaknai hidupnya. Dalam usaha memaknai itulah ia melihat keterkaitan sejarah hidupnya sengan “sejarah”.
Keberjarakan dan pemaknaan hidup memberikan pendekatan tersendiri yang khusus bagi sejarah. Baiklah kita melihatnya demikian: Pendekatan terhadap sejarah dengan pengandaian adanya jarak adalah sejarah saintifik. Sementara itu, pendekatan dengan pemaknaan adalah sejarah spekulatif atau disebut juga filsafat sejarah.[5] Sejarah saintifik, menurut Gordon Graham adalah:
Sebuah usaha yang hanya sampai pada pelaporan akan hal-hal yang terjadi pada masa lampau dengan berdasarkan bukti-bukti yang ada tanpa perlu berefleksi atas hal tersebut, tanpa perlu memprediksi arah dari kejadian-kejadian itu di masa depan, atau memahami makna yang ada bagi umat manusia.”[6]
Dari penjelasan Gordon tersebut dapat dilihat bagaimana suatu kejadian dihadapi sebagai data-data. Orang melihat sejarah hanya sebagai sesuatu yang telah terjadi. Ini berarti bahwa sejarah tidak dipahami sebagai sesuatu yang sedang berlangsung melainkan sebagai sesuatu yang telah dilewati. Karena ia adalah masa yang telah dilewati, maka pengetahuan terhadapnya juga hanya sebagai informasi atas peristiwa. Misalnya, pernah terjadi gempa di kota A, atau penah di masa hidupku aku mengalami kejadian X. Itulah yang terjadi di dalam pengetahuan akan sejarah sebagai data-data.
Sementara itu, dalam sejarah spekulatif dimungkinkan pemaknaan terhadap hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam filsafat sejarah terdapat usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan. Gordon mengatakan bahwa filsafat sejarah adalah “untuk melihat dasar dari kejadian-kejadian dan menemukan makna terdalam atau terutama.”[7] Di sini dapat dilihat bagaimana filsafat sejarah mencoba menguak apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena yang timbul di dalam sejarah. Sekilas, orang dapat mengatakan bahwa antara filsafat sejarah dan sejarah saintifik itu berbeda sama sekali. Namun demikian, sungguh merupakan kekeliruan jika kita memandang dua pendekatan ini sebagai sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Filsafat sejarah tidak mungkin berdiri tanpa fenomena-fenomena aktual sebagaimana yang dilaporkan di dalam sejarah saintifik. Dengan kata lain, filsafat sejarah membutuhkan atau bahkan hadir sebagai “kanopi komprehensif” dari sejarah saintifik.

Filsafat Sejarah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, filsafat sejarah merupakan suatu usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan, maka pada bagian ini akan berfokus pada penjelasan terhadapnya. Istilah “filsafat sejarah” diperkenalkan pertama kali oleh Voltaire dalam karyanya Essay on the Customs and the Spirit of Nations, 1769. Di situ ia meneliti mengenai kebiasaan-kebiasaan dan agama dari berbagai negara termasuk Cina, India, dan tentu saja Eropa. Apa yang menarik dari karyanya itu adalah pertama perspektif baru yang digunakannya untuk melihat kemajuan (progress) dari umat manusia. Kedua, kesadaran untuk menggunakan metode yang rasional dalam menjelaskan kemajuan umat manusia tersebut.[8]
Dari dua hal yang menarik dari Voltaire tersebut dapat dilihat bagaimana sejarah, sebagai sesuatu yang lebih besar dari pada sekedar data-data dari masa lampau, harus mendapat penjelasan yang rasional. Maksudnya adalah tidak cukup hanya dengan penjelasan-penjelasan mitis dan mitologis mengapa sesuatu dapat terjadi dan akan membawa kita ke mana peristiwa yang terjadi tersebut. Rasionalitas dalam filsafat sejarah kiranya terangkum melalui tiga pertanyaan mendasar yang di catat oleh Roland H. Nash sebagai berikut. [9]
1.      Apakah pola dari sejarah itu?
2.      Apakah mekanisme yang berlaku di dalam sejarah?
3.      Apakah tujuan atau nilai dari sejarah?

Pada pertanyaan pertama tertuang tiga jawaban yang berbeda. Pertama pola sejarah dipahami sebagai suatu pola yang berulang atau siklis. Pada filsafat Yunani misalnya, sejarah dipahami sebagai sesuatu yang berulang adanya. Jawaban kedua adalah pola sejarah itu linear. Sementara jawaban ketiga, yang dikembangkan di kemudian hari merupakan gabungan dari pola sejarah siklis dan linear (namun demikian, untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai Kant dan Herder, saya menekankan hanya pada pola siklis dan linear saja).  Tradisi Kristen kiranya cendrung memahami sejarah sebagai sesuatu yang linear.

Jawaban bagi pertanyaan kedua adalah menyangkut soal bagaimana perubahan itu terjadi. Di sini dicoba diungkap apakah yang memungkinkan sejarah itu terjadi. Pada Kant rasionalitas merupakan pembentuk, sementara pada Hegel dikemukakan bahwa roh-lah yang memungkinkan perubahan demi menemukan dirinya sendiri. Sementara itu pada pertanyaan ketiga merupakan pertanyaan teleologis yang mau memberikan jawaban apa yang ada di ujung proses sejarah yang berlangsung.

Kant dan Filsafat Sejarah
Immanuel Kant merupakan pemikir yang sangat sentral di dalam alam pikir pencerahan. Gagasan filosofis yang diusungnya bersumber dari usahanya untuk mendamaikan pertentangan yang terdapat di dalam rasionalisme dan empirisisme. Secara sederhana problem yang dihadapi oleh dua aliran pemikiran itu adalah dari manakah sumber pengetahuan tersebut? Kaum rasionalis meyakini bahwa rasiolah yang menjadi  sumber pengetahuan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat apriori. Sementara itu, kaum empiris meyakini bahwa melalui pengalamanlah pengetahuan itu dimungkinkan, atau pengetahuan itu bersifat aposteriori.
Pendamaian yang dilakukan oleh Kant adalah “membenarkan” apa yang diyakini oleh kaum rasionalis dan juga apa yang diyakini oleh kaum empiris. Namun demikian, ia memberikan catatan terhadap kedua aliran itu pula. Baginya pengalaman memang merupakan sumber dari pengetahuan, namun apa yang didapat dari pengalaman belumlah sungguh-sungguh sebuah pengetahuan. Untuk menjadi pengetahuan, pengalaman harus diolah lagi oleh rasio. Di sini diperlukan kategori-kategori (yang berjumlah 12[10]) untuk dapat menjadikan pengalaman menjadi sebuah pengetahuan. Melalui 12 kategori tersebut, pengalaman (pengetahuan taraf awal, pengetahuan kaum empiris) dikonseptualisasi sedemikian sehingga menjadi pengetahuan. Jadi pengetahuan sebenarnya adalah sintesis dari unsur apriori dan unsur aposteriori.
Dalam proses untuk mencapai pengetahuan, Kant membagi tiga tahap proses pengetahuan, yakni: taraf pengenalan inderawi, taraf Verstand, dan taraf Vernunft.
1.      Taraf Pengenalan Inderawi
Sebelum melihat lebih jauh apa itu yang dapat diketahui, perlu kiranya kita mengerti bahwa Kant membagi realitas menjadi fenomena dan noumena. Fenomena adalah realitas yang dapat ditangkap oleh indera-indera manusia, seperti alam, kursi, meja dan hal-hal material lainnya. Sementara itu, realitas noumena tidak dapat diinderai. Namun demikian, bukan berarti noumena adalah sebuah “omong kosong” belaka. Bagi Kant, noumena ini berada dan menjadi unsur penting adanya fenomena.  Jika fenomena adalah das Ding fĂĽr mich (benda bagi diriku), maka noumena adalah das Ding an Sich (benda pada dirinya sendiri).
Apa yang dapat diketahui oleh manusia adalah apa yang dapat diinderai olehnya. Apa yang dapat diinderai itu tidak lain adalah realitas fenomena. Taraf pengenalan inderawi terdapat pada realitas ini. Kita mengetahui bahwa ada air, ada batu, ada hujan dan banyak hal lain karena kita memiliki pengalaman terhadap realitas-realitas itu.
2.      Taraf Verstand (nalar)
Pada taraf ini pengalaman-pengalaman inderawi kemudian di konseptualisasi sedemikian rupa melalui 12 kategori yang dimiliki oleh manusia. Hasil dari konseptualisasi itulah yang kemudian disebut sebagai pengetahuan. Misalnya, saya meletakan sepanci air di atas api. Saat air itu mencapai suhu 100 derajat celcius ia mendidih. Berdasarkan pengalaman yang saya jumpai, akal budi saya pada taraf ini akan menerapkan kategori kausalitas pada fenomena ini. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa jika air dipanaskan hingga mencapai suhu 100 derajat celcius, maka ia mendidih. Itulah pengetahuan.
3.      Taraf Vernunft (budhi)
Taraf ini tidak menndasarkan diri pada fenomena seperti pada taraf-taraf sebelumnya. Apa yang ada pada taraf ini adalah perangkuman pengetahuan dan mengangkatnya ke taraf yang lebih tinggi. Maksudnya adalah pengetahuan yang ada selama ini dirangkum sedemikian rupa dalam suatu kesatuan tertinggi (ide). Kant melihat ada tiga idea, yakni: ide jiwa, ide dunia dan ide Allah. Ide jiwa itu  merupakan ide yang mendasari semua fenomena batiniah yang ada. Sementara ide dunia menyatukan fenomena-fenomena lahiriah. Sedangka ide Allah adalah dasar bagi ide jiwa dan ide dunia. Ketiga ide tersebut mengarahkan seluruh pengetahuan manusia kea rah yang lebih tinggi.
Sebagai sebuah ilmu, filsafat sejarah Kant berada pada tataran Verstand. Maksudnya adalah dengan bertumpu pada apa yang terjadi di realitas empirik, ia menyimpulkan dan memprediksi jalannya sejarah. Sebagaimana yang terjadi di sejak zaman Renaisans, di mana kemajuan ilmu-ilmu alam berkembang dengan pesatnya, maka filsafat sejarah Kant tidak terlepas dari “roh kemajuan”itu sendiri. Ia dengan optimis melihat bahwa sejarah manusia akan menjadi semakin lebih baik dan semakin rasional.
Filsafat sejarah Kant membawa ide-ide zaman Pencerahan di dalamnya.[11] Sebagaimana telah disebutkan di atas, tiga elemen penting dalam Pencerahan, yakni: rasionalitas, kritis terhadap tradisi (percaya pada sains), dan kemajuan, ada di dalam konsepsi filsafat sejarah Kant. Ketiga elemen tersebut kemudian membentuk pandangan sejarah yang bersifat linear, maju ke arah tertentu. Dengan kata lain, sejarah itu memiliki telos-nya yang rasional. Seperti yang diungkapkan oleh Nash:
Kant menghadirkan sejarah secara linear yang mendorong optimisme ke arah masa depan. Ia begitu yakin bahwa manusia akan terus ke arah pemerintahan dunia (worldwide government) yang akan menetapkan kedamaian dan hukum rasional.”[12]

Terkait dengan  pandangan tentang rasionalitas manusia di zaman Pencerahan, sejarah dalam pandangan Kant terkait dengan nalar (reason). Dengan kata lain sejarah adalah sejarah nalar (history of reason). Sejarah nalar sendiri terejawantah menjadi menjai (1) sejarah nalar pembentuk kembali dunia dan (2) sejarah nalar yang kemudian diketahui (becoming known) dan menjelaskan dirinya.[13]
Kategori sejarah nalar pertama bersifat praksis. Maksudnya adalah dalam kategori praksis ini nalar manusia mengejawantahkan dirinya ke dalam dunia aktual, atau fenomenal. Misalnya saat kita menulis. Ketika menulis, nalar yang berada di dalam pikiran mengejawantahkan diri ke dalam tulisan-tulisan yang kita buat. Dalam arti tertentu, sesuatu yang noumenal terejawantah ke alam fenomenal dan dapat diinderai. Di sini aktivitas sejarah bersifat terbuka dan dinamis. Sementara itu, kategori sejarah kedua ada pada lingkup teoritis. Di sini nalar manusia membentuk paradigma atas sejarah itu sendiri. Ia mengartikulasikan konsep, prinsip dan kepentingan lain dalam suatu sistem yang koheren. Di sini sejarah menjadi tertutup adanya karena terbelenggu pada disiplin ilmu teoritis tertentu.[14]
Sejarah praxis merupakan sejarah yang begitu penting bagi Kant. Mengapa? Karena ia melihat adanya tugas moral di dalam sejarah itu sendiri. Di sini, sejarah menjadi domain di mana tindakan manusia secara normatif untuk membuat sintesa antara tuntutan dan dunia keseharian. Hasil dari sintesa tersebut adalah prinsip totalisasi tertinggi yang bermuara pada kebaikan tertinggi di dunia. Tentu sangat jelas kebaikan tertinggi itu sendiri adalah moralitas yang rasional. Dengan demikian, apa yang terjadi di dalam sejarah terkait erat dengan maxim yang terdapat di dalam etika Kant.

Filsafat Sejarah Herder (Tanggapan terhadap sejarah rasional Pencerahan)
Johann Gottfried Herder lahir di Prusia tahun 1744. pendidikan yang dienyamnya adalah filsafat, sastra, dan teologi di universitas Köningsberg. Ia adalah salah seorang murid Kant dan banyak dipengaruhi olehnya, namun dikemudian hari pandangannya menjadi berbeda dengan Kant sendiri.
Filsafat sejarah Herder tertuang di dalam bukunya Ideas Toward a Philosophy of the History of man. Buku ini sendiri terbit pada tahun yang sama dengan karya Kant (esai), Idea of a Universal History, yaitu tahun 1784.
Berbeda dengan Kant, Herder tidak memandang sejarah sebagai sesuatu yang lurus dan menuju pada sesuatu yang melulu  pasti lebih baik adanya. Tidak ada tujuan di dalam sejarah itu sendiri. Lebih lanjut, tidak ada  tempat bagi impian utopis tentang kesempurnaan yang dapat dicapai manusia.[15] Dengan demikian,  seperti apakah filsafat sejarah Herder itu? Berbeda dengan Kant yang memandang sejarah itu bersifat universal dan rasional, Herder lebih menekankan aspek partikular di dalam sejarah. Maksudnya, sejarah itu berbeda di tiap tempat dan zaman. Masing-masing budaya mengembangkan atau menjalani sejarahnya sendiri. Di sini nampak bahwa apa yang digagas oleh Kant dengan universalitas dan  rasionalitas sejarahnya itu terlalu memaksakan  dan bersifat utopis. Bagaimana mungkin budaya yang berbeda dapat menjadi sama. Paling tidak, walau pun pada budaya lain ada rasionalitas tetapi apakah rasionalitas yang sama dengan apa yang dimaksud Kant? Berbeda dari Kant yang melihat bahwa perkembangan manusia ditandai dengan rasionalitas, pada Herder perkembangan itu ditandai oleh kapasitas-kapasitas lain di dalam manusia.[16] Misalnya, kepercayaan, seni, sosialitas, dan lain-lain.
Kritik Herder sebenarnya memperlihatkan kelemahan pengandaian filsafat sejarah Pencerahan yang begitu menekankan kesatuan (universalitas) dan rasioalitas. Nash mencatat empat perbedaan dari filsafat sejarah Kant (Pencerahan) dan filsafat sejarah yang digagas oleh Herder.[17]
  1. Zaman pencerahan menekankan kemajuan. Sejarah dipandang  sebagai perkembangan umat manusia dari bentuk yang paling barbar dan dipenuhi tahayul ke arah tercerahkan dan rasional. Herder melihat bahwa sejarah itu tidak berjalan secara rasional, melainkan justru nonrasional dan tak sadar (unconcious). Dengan demikian, berbeda dari Kant yang melihat sejarah itu adalah hasil dari  kesadaran pikiran dan rencana manusia, Herder melihat bahwa manusia di berbagai tempat dan waktu mengembangkan dirinya tanpa diikuti oleh kepatuhan pada harapan-harapan rasional.
  2. Zaman Pencerahan melihat masa lalu sebagai masa barbar dan tak tercerahkan. Sementara itu, Herder memandang bahwa masa lalu itu harus dilihat dengan simpati. Kita tidak bisa menilai masa lalu dengan standar masa kini melainkan kita harus mengerti dari dalam masa lalu itu sendiri. maksudnya adalah jika kita mau menilai masa lalu, maka kita harus melihat pula aspek-aspek lain yng ada saat itu. Dengan demikian, masa lalu dapat dipahami dalam keunikannya.
  3. Zaman Pencerahan memandang umat manusia itu seragam dan tak berubah. Implikasinya, setiap kelompok masyarakat digerakan oleh  ideal-ideal yang sama yaitu rasional. Sementara itu, Herder melihat bahwa manusia itu berbeda di tiap tempat dan zamannya. Untuk menjelaskan hal tersebut, tidak seperti Pencerahan yang gemar menganalogikan sesuatu dengan mesin, Herder memakai analogi tumbuhan. Baginya pertumbuhan budaya di tiap tempat dan daerah adalah hasil dari orang yang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Budaya itu tumbuh dengan caranya masing-masing tanpa dibatasi oleh hukum universal tertentu.
  4. Zaman Pencerahan mengandaikan keajegan manusia. Ia mengesampingkan pengaruh lingkungan pada sejarah manusia. Bagi Herder sejarah manusia itu sendiri berkembang dengan pengaruh dari kondisi-kondisi tertentu dan lingkungan di sekitarnya.
  5. Zaman Pencerahan mendekati sejarah dengan kontrol dari pengandaian akan data-data. Maksudnya adalah data-data aktual yang ada di dalam sejarah dapat dijadikan tolok ukur untuk merumuskan pola sejarah. Bagi Herder masa lalu itu harus diperlakukan tanpa bias dari masa kini.
Penutup
Cita-cita manusia pencerahan yang mengacu pada otonomi dan rasionalitas diri memiliki kaitan erat dengan konsepsi mereka mengenai kesejarahan umat manusia. Dari sudut filsafat sejarah sendiri, konsepsi Pencerahan (dalam hal ini Kant) tidak dapat melepaskan diri dari semangat Pencerahan yaitu: kesadaran diri sebagai subjek yang otonom, Kritis terhadap tradisi, dan percaya akan progresivitas. Sejarah dipahami sebagai tunggal dan bersifat universal dibawah hukum rasional; dan secara rasional pula sejarah menuju ke arah yang lebih baik.
Herder, meskipun  hidup di zaman Pencerahan memiliki tendensi yang berbeda dalam melihat sejarah. Ia melihat bahwa totalitas sejarah yang terdapat di dalam semangat Pencerahan itu sendiri dapat menimbulkan bias-bias tertentu dalam memahami kemanusiaan dan juga sejarah atasnya. Penekanan pada partikularitas di dalam sejarah dari Herder tentunya penting mengingat dalam setiap totalitas akan ada banyak yang tertindas.
Namun demikian, masih bisa diperdebatkan mengenai sanggahan-sanggahan yang dikemukakan oleh Herder. Misalnya, tidakkah pandangannya dapat jatuh ke dalam relativisme? jika melihat bahwa ia menolak universalitas, maka ia tentu bisa jatuh ke dalam relativisme. Lebih lanjut, ketika ia menawarkan untuk melihat sejarah dari dalam untuk meminimalisir bias yang dapat timbul. Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar melihat dari dalam masa lalu itu sendiri? ini kiranya merupakan pertanyaan epistemologis yang mendasar bagi Herder. Kemudian, pandangannya yang menolak data-data faktual untuk merumuskan sejarah. Bagaimana mungkin ada rumusan tanpa didasari data aktual? Bukankah Herder sendiri membangun gagasannya berdasarkan data-data yang ia terima? Dari sini terlihat ada paradox dalam pandangan Herder. Namun demikian, Ada hal penting yang dapat kita pelajari dari Herder pada kritiknya terhadap sejarah model Pencerahan. Kritik Herder tersebut mengingatkan kita untuk melihat bagaimana proyek-proyek kemajuan, seperti yang diusung dalam filsafat sejarah Kant dapat menjadi tendensius jika dikaitkan dengan otoritarian dalam politik. Lebih dari itu, pandangan sejarah yang mengacu pada kemajuan itu kiranya kurang melihat aspek keragaman dari kpasitas manusia terhadap ide kemajuan tersebut. Di sini saya pikir kritik Herder masih dapat bergaung di zaman ini.




* DAFTAR PUSTAKA DAN CATATAN KAKI TIDAK DIPERLIHATKAN GUNA MENGHINDARI HAL-HAL YANG TIDAK DIINGINKAN. NAMUN JIKA BERMINAT ANDA DAPAT MEMINTA VERSI LENGKAP DARI TULISAN INI

Selasa, 17 April 2012

MUSIK SEBAGAI METAFISIKA “Mengingat kembali yang terlupakan”





Musik  merupakan fenomen yang lekat dalam keseharian manusia. Ia hadir mengisi relung-relung tindak kehidupan. Pada acara makan malam, di dalam mobil, gedung-gedung konser, bahkan di kamar tidur pun ia dapat hadir untuk menemani. Namun demikian, sebagai bagian dari kehidupan manusia, ada sisi yang terlupakan dalam memahami musik, yaitu: Musik sebagai metafisika. Dalam tulisan ini saya akan menunjukan bagaimana pemahaman musik sebagai metafisika terlupakan dan mencoba mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan selama ini. Untuk itu, maka dalam tulisan ini saya akan membahas pemahaman musik dalam keseharian, kemudian hubungan musik dengan masyarakat. Dua bagian tersebut merupakan bagian dari ke-lupa-an akan musik. Selanjutnya akan dibahas hal yang akan mengingatkan kita akan sisi yang terlupakan dengan memahami pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno dan pemahaman musik sebagai metafisika, yaitu sebagai gerak Kehendak



Musik Dalam Keseharian
Dalam keseharian kita, disadari atau tidak, musik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam riuhnya suasana pesta, jamuan makan, bahkan ketika menghadapi kemacetan lalu-lintas musik menjadi kawan yang siap menemani. Bukan hanya itu, di saat-saat kala kesunyian dan kesendirian menyergap, musik dapat menjadi “mesias[1] yang menolong kita mendapat sedikit (atau mungkin juga banyak) pencerahan. Dapat dikatakan bahwa musik selalu ada di mana-mana. Ia dapat hadir dalam suasana religius maupun sekular, dalam kesendirian maupun keramaian.
            Musik merupakan fenomen yang begitu dekat dengan manusia. Ia laksana sahabat setia yang selalu siap menemani kala dibutuhkan dan seolah dapat mengerti apa yang kita rasakan. Namun demikian, apakah kita memahaminya? Apakah kita memahami sang sahabat tersebut? Dalam dunia keseharian dapat kita lihat bagaimana musik dipahami oleh manusia. Dari berbagai pemahaman yang ada, setidaknya dapat dilihat dua cara memahami musik, yaitu secara objektif dan secara subjektif.
            Secara objektif, musik dapat dipahami sebagai sebuah ilmu (seperti halnya matematika, fisika, geometrid dan lain-lain). Dengan memandangnya sebagai ilmu, terdapat jarak antara musik (sebagai objek) dan manusia (sebagai subjek). Memahami musik sebagai objek berarti juga memahaminya secara teknis. Hal-hal yang menjadi perhatian lewat cara ini adalah dengan memperhatikan hal-hal teknis seperti tekstur suara yang ada, harmonisasi, teknik penjarian, pernafasan dan lain-lain. Di sini keindahan terkait dengan hal-hal teknis tersebut.
            Cara pandang yang lain adalah dengan memahami musik secara subjektif. Yang menjadi penekanan dari cara pandang ini adalah manusianya. Musik dipandang sebagai media untuk mengekspresikan diri. Orang dapat melanggar hukum-hukum harmoni dan teknik (jika perlu) asalkan dapat membebaskan ekspresinya. Hal-hal teknis seperti penjarian, pernafasan dan lainnya , yang begitu ditekankan pada cara pandang objektif, menjadi sekunder pada cara ini.
            Dua cara pandang mengenai musik tersebut di atas merupakan cara pandang yang dominan dalam keseharian manusia. Namun demikian, dua cara tersebut nampaknya melupakan hal yang begitu penting dalam musik. Pada dunia modern, musik sebagai metafisika sangat dilupakan. Bagaimana kelupaan itu terjadi? Sebagaimana telah kita ketahui bahwa musik begitu lekat dengan kehidupan manusia, baik secara individual maupun komunal, maka pertanyaan tersebut  harus dilihat dari kacamata ke-ber-manusia-an itu sendiri. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk yang tak dapat lepas dari sesama dan lingkungan sosialnya. Untuk itu, ada baiknya jika kita melihat hubungan musik dengan masyarakat.

Musik dan Masyarakat (modern)
Zaman modern adalah zaman yang ditandai dengan kemajuan teknik dan industri. Hal demikian menyebabkan segala aspek kehidupan (pada titik tertentu) dikait-kaitkan dengan pola-pola teknik dan industri tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada musik. Musik pada zaman modern sangat berkaitan dengan industri Musik menjadi komoditas, sama seperti barang-barang lain yang diperdagangkan. Sebagai barang dagangan, ia harus memenuhi tuntutan atau kehendak pasar. Oleh karena itu, maka musik tidak lagi memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai yang disandangnya kini adalah nilai jual belaka. Pada kesadaran konsumen keindahan musik juga terkait dengan keakraban musik dengan telingga mereka. Di sini tentu dapat dipahami bagaimana sebuah promosi menjadi begitu penting untuk dilakukan. Dengan publikasi besar-besaran, maka produk akan terasa begitu dekat dengan konsumen. Membuat konsumen merasa membutuhkan produk tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehidupan musik dalam dunia modern sangat didominasi oleh bentuk-bentuk komoditas.[2]
            Ketika musik telah menjadi komoditas, maka perbedaan-perbedaan yang ada pada jenis musik itu sendiri tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi para penikmat (manusia). Tidak ada beda antara musik pop dan klasik. Semua menjadi sama di hadapan pasar. Sangat tepat apa yang dikatakan oleh Adorno, seorang filsuf neo-marxis, dalam menggambarkan situasi tersebut. Ia mengatakan bahwa “The differences in reception official ‘classical’ musik and light musik no longer have any real significance. They are only still manipulated for reason of marketability.”[3] Jadi, jangankan untuk membicarakan musik Apollonian atau Dyonisian, untuk membicarakan musik klasik dan musik pop pun sudah tidak lagi memikat karena perbedaan keduanya sudah tilak lagi mempunyai arti di hadapan pasar.
            Lebih jauh, dari pemaparan di atas, dapat dilanjutkan dengan fungsi musik pada masyarakat  modern. Pada zaman modern musik berfungsi untuk menunjukan status sosial seseorang. Orang pergi ke gedung-gedung konser bukan lagi untuk menikmati musik tertentu, melainkan karena dengan menghadiri konser tersebut ia dapat meraih suatu stetus sosial tertentu.[4]  Lantas, bagaimana status-status tersebut dapat dikenakan? Pada dunia modern kategorisasi terhadap penikamat jenis musik tertentu menjadi penentu status sosial mereka. Penikmat musik rock identik dengan pemuda/i pemberontak, musik jazz identik dengan orang-orang pesolek dan hidup santai., musik blues identik dengan para pemabuk di bar-bar, musik dang-dut dengan masyarakat pinggiran, musik klasik dengan masyarakat kelas atas dan lain-lain. Ada begitu banyak identifikasi status dengan jenis musik yang diminati di zaman modern. Nyatakah status-status tersebut? Sebenarnya, jika dicermati lebih dalam, maka status-status tersebut merupakan rekayasa para produsen. Prodesen menawarkan bentuk-bentuk identitas tertentu bagi jenis-jenis musik yang ada. Lantas, atas dasar apa hal tersebut dapat terjadi? Tentunya atas dasar keuntungan dagang. Di sisi lain orang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan identitas yang ditawarkan. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika di dalam gedung konser musik klasik tidak semua orang yang datang mengerti atau menyukai musik yang dimainkan. Begitu juga dengan orang-orang di klab-klab malam yang menyajinan jenis musik tertentu.
            Kelupaan manusia akan musik sebagai metafisika di zaman modern nampaknya menjadi suatu hal yang wajar karena pengaruh dari kemajuan industri dan teknologi yang ada. Pada zaman modern, di mana segala sesuatu berjalan dan berubah dengan cepat, musik tidak lagi memiliki status ontologis yang jelas. Keberadaannya hanya menjadi sesuatu yang bersifat instrumental atau sebuah perangkat saja. Keindahan juga kemudian hanya menjadi hal yang sangat teknis. Hal demikian nampaknya menjadi sebuah konsekwensi dari kemajuan yang ada di zaman modern.
            Pemahaman akan musik pada zaman modern tidak lebih dari sekedar bunyi-bunyian belaka, yang kemudian mempengaruhi status sosial seseorang.  Lantas apa sebenarnya musik itu? Untuk mengetahui apa sebenarnya musik tersebut, maka mau-tidak mau kita harus kembali mencari pengertian musik mula-mula (yang telah terlupakan selama ini),

Musik
Pengertian Musik pada Kebudayaan Yunani Kuno
Untuk berbicara mengenai pemahaman akan musik, maka mau tidak mau. Kita harus melihatnya pada pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno. Mengapa? Karena harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan Yunani pada dunia musik cukup besar adanya. Perbendaharaan kata pada istilah-istilah musik modern masih tetap mencerminkan pengaruh tersebut. Istilah-istilah seperti melodi, ritme, harmoni, dan khorus merupakan contoh berpengaruhnya kebudayaan Yunani pada musik hingga saat ini. Namun berbeda dari zaman modern, yang telah melupakan makna dari istilah-istilah tersebut dan hanya memandangnya  sebagai istilah teknis belaka, pada budaya Yunani kuno istilah-istilah tersebut merupakan cerminan dari suatu konsep pemikiran dan maksud dari musik itu sendiri.[5]
            Musik dalam bahasa Yunani kuno disebut dengan istilah Mousike (mousike). Kata ini dikembangkan dari asal kata Mousa dan Ike. Mousa berasal dari bahasa Mesir Muse, sedangkan kata Ike berasal dari bahasa Celtik Aik.[6] Pada mitologi Mesir, Muse dipahami memiliki tiga personalitas, yakni: Melete (dewi yang membangkitkan), Mneme (dewi yang memelihara/merancang) dan Aeode (dewi yang memberikan pengertian).[7] Orang Yunani kemudian mengambil alih pemakaian mitologi ini dengan pengertian yang lebih luas. Pada budaya Yunani kuno, Muse berada di bawah kekuasaan Appolo (dewa pelindung seni). Dewi-dewi muse yang  berjumlah tiga pada awalnya disebut dengan istilah mosagetes (mosagetes). Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, pada masa Homeros, jumlah dewi-dewi tersebut bertambah menjadi sembilan.[8]
            Orang Yunani kuno menganggap semua seni adalah pelengkap dari musik. Mengikuti makna dari kata musik, maka semua tindakan yang dihasilkan oleh pikiran untuk menggambarkan suatu bentuk perasaan dari wilayah intelektual mengacu pada musik. Pengertian musik pada zaman itu digunakan untuk menyatakan setiap ruang aktivitas di mana roh beralu dari potensi menuju aktus dan menggunakan bentuk yang dpt diindrai.[9] Dengan demikian, musik memiliki status ontology yang tinggi dibandingkan dengan seni-seni yang lain. Seni-seni lain seperti puisi, teater dan tari dipahami merupakan bagian dari musik. Oleh karena itu, maka hanya musik yang memiliki dewi pelindung. Seni pahat, arsitektur dan seni lukis tidak memiliki dewi pelindung. Dewi-dewi musik pada kebudayaan Yunani tersebut adalah:
  1. Kalliope      : Dewi seni sastra dan syair
  2. Klio             : Dewi sejarah
  3. Erato          : Dewi sastra erotis
  4. EntrepĂ©        : Dewi seni sastra liris
  5. Thalia          : Dewi ria jenaka
  6. Melponemé : Dewi tragedi
  7. Terpsichoré : Dewi seni tari
  8. Polyhymnia : Dewi olah nada
  9. Urania : Dewi ilmu bintang

Selain dewi-dewi yang berada di bawah naungan dewa Apollo tersebut, bangsa Yunani juga mengenal dewa lain sebagai dewa musik yaitu dewa Dyonisos yang merupakan dewa anggur dan mabuk-mabukan.  Sebagai dewa musik figurnya bertolak belakang dari Apollo.[10]
            Arti pengertian di atas dapat kita lihat bahwa musik pada pemahaman yang paling primordial sangat berbeda dari musik yang dipahami pada zaman modern. Jika pada zaman modern musik  hanya dipandang sebagai hal teknis yang berhubungan dengan industri, maka pada pengertian mula-mula ia tidak hanya berbicara mengenai hal-hal praktis melainkan juga hal spiritual yang dibungkus dalam mitos-mitos. Menarik untuk melihat kitab Hermetik Asclepius atau yang dikenal dengan The Perfect Sermon bab XIII. Di situ dikatakan bahwa musik adalah pengetahuan yang mendasari segala sesuatu, ia adalah ilmu tentang hubungan harmoni dengan alam semesta.[11] Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa musik merupakan sesuatu yang “dasyat” yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.

Penggunaan Musik Zaman Yunani Kuno
Pada kebudayaan Yunani kuno, musik memiliki banyak kegunaan. Di antaranya musik digunakan untuk mengiringi suatu ritus, untuk menghalau kekuatan jahat, sebagai epiklese (doa permohonan kehadiran roh), sebagai pengantar menuju katarsis (pemurnian jiwa) dalam suatu inisiasi, sebagai pengiring pemakaman dan sebagai kekuatan magis tertentu.[12]  Dalam komunitas Pythagoras musik juga dikenal sebagai obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit.[13]
            Musik pada masa itu dimainkan berdasarkan suatu tropos. Tropos adalah bentuk penamaan Yunani untuk suatu nada dasar. Dalam bahasa latin istilah ini lebih dikenal dengan sebutan modus. Pada masa itu terdapat tiga tropos utama, yaitu: Lydian, Frigian dan Dorian. Ketiga tropos tersebut merupakan symbol dan memiliki makna tertentu. Lydian yang berada di bawah naungan planet Jupiter merupakan lambing dari suara bangsa. Phrygian yang berada di bawah naungan planet Mars melambangkan roh yang bergelora dari para ksatria. Sedangkan  Dorian yang berada di bawah naungan matahari merupakan lambang dari kebebasan dan kekuatan.[14] Penyimbolan tropos ini sangat erat hubungannya dengan ajaran mistik tentang alam semesta dan dipercaya dapat mempengaruhi manusia dan alam sekitarnya. Musik menjadi daya penyatu antara makrokosmos dan mikrokosmos.[15] Hal tersebut tercermin dari ritus-ritus yang mereka lakukan saat itu.

Musik sebagai Gerak Metafisis
Musik, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan sebuah gerak dari potensi menuju aktus. Jika demikian, apakah musik itu dalam pengertian yang sesungguhnya? Musik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah gerak kehendak. Apa maksudnya musik sebagai gerak kehendak? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya jika kita kembali melihat pada sejarah filsafat.
            Dalam sejarah filsafat, terutama mengenai metafisika, pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah: Apakah dunia ini seperti yang tampak atau terlihat oleh kita? Thales mengatakan bahwa dunia ini tidak seperti yang tampak. Kenyataan yang sesungguhnya dari dunia ini adalah air. Pada plato, kita temukan jawaban yang berbeda. Tentu telah kita ketahui perumpamaannya tentang  manusia gua yang melihat bayang-bayang. Manusia bodoh menganggap bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas atau dunia yang sesungguhnya. Tetapi, menurut Plato, bayang-bayang yang dilihat mereka bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah dunia tempat di mana cahaya yang menyinari gua itu berasal. Tentu maksud dari perumpamaan itu adalah dunia yang sejati atau yang sesungguhnya bukanlah apa yang tampak di depan kita. Dunia yang tampak di hadapan kita hanyalah pengejawantahan dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia Idea.
            Menarik untuk melihat pendapat Arthur Schopenhauer yang mengatakan bahwa realitas yang tampak ini merupakan pengejawantahan dari kehendak. Kehendak merupakan dasar dari realitas yang tampak ini. Menurutnya, dunia yang tampak tersebut hanya merupakan sensasi-sensasi belaka atau dengan kata lain kita dapat menyebutnya “maya”.
            Dalam filsafat Schopenhauer, terdapat dua dunia yaitu: Dunia sebagai representasi dan dunia sebagai kehendak. Pembagian ini tentu mengingatkan kita pada  filsuf lain yaitu Immanuel Kant yang membagi dunia menjadi dunia fenomenal dan dunia noumenal. Bagi Schopenhauer, terdapat dua cara untuk mengetahui  kedua dunia tersebut. Cara yang pertama adalah cara untuk mengetahui dunia fenomenal dan cara kedua adalah cara untuk mengetahui dunia noumenal. Pengetahuan untuk menyingkap dunia representasi atau fenomenal adalah dengan ilmu-ilmu alam atau sains. Pada tataran ini dibutuhkan jarak antara subjek sebagai penahu dan objek sebagai yang diketahui agar pengetahuan dapat berfungsi. Sedangkan untuk mengetahui dunia noumenal atau kehendak, orang harus tidak memikirkannya sebagai objek, karena ia memang bukan objek tertentu. Jalan untuk mengetahuinya, bagi Schopenhauer, adalah lewat seni. Mengapa? Karena dalam seni yang terjadi bukanlah suatu objektifikasi terhadap realitas, melainkan adalah kontemplasi.[16]  Dalam kontemplasi hubungan subjek-objek hilang. Mereka tidak lagi terpisah melainkan satu. Dengan melakukan kontemplasi subjek meniadakan dirinya dan melebur dengan objek sehingga tidak ada lagi dualitas yang memisahkan mereka. Schopenhauer menyebut tindak tersebut dengan istilah will-less subject of knowledge. [17]
            Seni, dalam pandangan Schopenhauer, berpuncak pada musik. Mengapa? Karena pada seni-seni lain seperti seni lukis, pahat atau arsitektur kontemplasi yang dilakukan hanya merupakan kontemplasi terhadap dunia objektif, dunia fenomenal atau representasi saja. Jadi dapat dikatakan bahwa seni-seni lain selain musik hanyalah tiruan dari penampakan-penampakan saja. Lalu apa yang membedakannya dari musik? Schopenhauer beranggapan bahwa musik tidak memiliki rujukan di dunia fenomenal melainkan di dunia noumenal. Dalam bahasanya ia mengatakan bahwa musik tidak seperti seni-seni yang lain, yang merupakan tiruan dunia fenomenal; Musik adalah kehendak itu sendiri (dunia noumenal)[18]  Jadi apa yang menjadi “objek” pada musik adalah sesuatu yang metafisis, yaitu dunia fenomenal. Di sinilah kita dapat menyebut kembali (seperti yang dipahami oleh bangsa Yunani kuno) bahwa musik merupakan metafisika.
            Musik merupakan pesan dari surga. Pemusik, seperti yang dikatakan Nietzsche (filsuf yang juga dipengaruhi Schopenhauer), merupakan ventriloquist of God; Musik merupakan bahasa dari jurang yang tak berdasar (abyss), ia murni metafisik.[19] Pendapat tersebut nampaknya tidak berlebihan mengingat bahwa musik, walaupun tidak memiliki objek material, seperti pada seni-seni lain, namun dapat begitu mempengaruhi kehidupan manusia.
            Pemahaman musik pada zaman modern memang telah melupakan makna musik dan arti musik itu sendiri. Hal tersebut nampaknya  menjadi perlu untuk disingkap melalui pengingatan kembali akan apa itu musik. Musik sebagai metafisika, yaitu kehendak yang diungkapkan Schopenhauer, menunjukan bahwa musik memiliki status yang berbeda sama sekali dengan yang dipahami dalam dunia modern. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa musik bukan hanya terbatas pada bunyi-bunyian belaka, melainkan terkait dengan pemikiran tertentu, yaitu: metafisika. Musik sebagai gerak kehendak merupakan cara lain untuk menyebut bahwa ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia bukanlah aspek belaka dari kehidupan ini, melainkan hidup yang melingkupi kehidupan ini.

Penutup
Telah kita lihat bagaimana kelupaan akan musik sebagai metafisika di zaman modern sangat terkait dengan kemajuan teknologi dan industri. Hal demikian membuat musik, tidak lebih, hanya dipandang sebagai komuditas pasar yang diperjual-belikan. Musik untuk suatu status social tertentu memang terdengar menggelikan, namun itulah yang terjadi di zaman modern. Apa yang menjadi bahasan tulisan ini adalah untuk mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan ini, yaitu musik sebagai metafisika. Musik sebagai gerak dari kehidupan itu sendiri. Dengan melihat pemahaman musik yang terdapat pada zaman Yunani kuno dan filsafat Schopenhauer setidaknya dapat memberikan kejutan akan kesalahpahaman kita yang terjadi selama ini terhadap musik. Kiranya tulisan ini dapat membantu kita untuk memahami musik dengan lebih baik dan terlepas dari belenggu kepalsuan (penampakan/representasi) dari dunia  modern.


*catatan kaki dan daftar pustaka dihilangkan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Jika ada yang berminat dapat meminta versi lengkapnya.