Translate

Senin, 23 Juli 2012

Diburu Maut

Oleh: Rangga L Utomo*
Pada tahun 1845, Fyodor Dostoyevsky, yang saat itu berusia dua puluh empat tahun, mengguncang dunia sastra Rusia dengan terbitnya novel pertamanya, 'Kaum Miskin' (Бедные люди). Maka, diapun disanjung oleh masyarakat St. Petersburg. Akan tetapi, Dostoyevsky merasa hampa akan ketenaran itu. Maka, diapun hanyut ke dalam arena politik, menghadiri pertemuan-pertemuan  berbagai kelompok radikal. Salah satu dari kelompok itu terarah pada Mikhail Petrashevsky yang karismatik.

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1848, pecahlah revolusi di seluruh penjuru Eropa. Terinspirasi oleh apa yang terjadi di Barat, kelompok-kelompok radikal Rusia seperti kelompok Petrashevsky membahas kemungkinan mengikuti jejak Barat. Akan tetapi, agen-agen Tsar Nikolas I telah menyusupi kelompok-kelompok ini, maka ditulislah laporan-laporan tentang gagasan dan perencanaan gerakan liar yang dibahas di rumah Petrashevsky, termasuk pembahasan tentang kemungkinan memicu pemberontakan petani. Dostoyevsky sangat bersemangat untuk membebaskan para pekerja paksa, dan pada tanggal  23 April 1849, dia ditahan bersama dengan dua puluh tiga anggota lain dari kelompok Petrashevsky.

Setelah delapan bulan  mendekam di penjara, para tahanan dibangunkan pada suatu pagi yang dingin dan diberi tahu bahwa pada akhirnya mereka akan mendengar vonis hukuman mereka pada hari itu. Pembuangan selama beberapa bulan adalah hukuman yang wajar atas kejahatan mereka; tidak lama lagi juga penderitaan mereka akan berakhir, demikian pikir mereka.

Mereka dijejalkan ke dalam kereta dan dibawa melalui jalanan licin karena es di St. Petersburg. Begitu turun dari kereta-kereta tersebut di alun-alun Semyonovsky, mereka disambut oleh seorang imam; di belakang sang imam mereka melihat barisan prajurit dan, di belakang barisan prajurit tersebut, ribuan penonton. Mereka digiring menuju sebuah arena eksekusi di tengah alun-alun tersebut. Di bagian depan terdapat tiga tiang, dan di sebelahnya terdapat sederet gerobak berisi peti-peti mati.

Dostoyevsky tidak menyangka apa yang dilihatnya. "Tidak mungkin mereka akan menghukum mati kita," demikian dia berbisik kepada sesama tahanan. Mereka digiring menuju tempat tersebut dalam dua barisan. Hari itu luar biasa dingin, dan para tahanan mengenakan pakaian tipis yang mereka kenakan ketika mereka ditahan pada bulan April sebelumnya. Lalu, terdengarlah suara genderang. Seorang petugas tampil membacakan hukuman mereka: "Seluruh terdakwa bersalah dengan tuduhan berniat menimbulkan kekacauan nasional, dan oleh karenanya dihukum mati di hadapan pasukan penembak." Para tahanan pun tertegun.

Sementara sang petugas membacakan tuduhan  dan hukuman secara individual, Dostoyevksy menemukan dirinya memandangi puncak keemasan sebuah gereja di dekat sana yang tertimpa sinar matahari pagi. Kilau sinar matahari menghilang ketika sebuah awan lewat di atas mereka, dan terpikirlah oleh Dostoyevksy bahwa dia akan segera memasuki kegelapan  dengan sama cepatnya, dan selamanya. Tiba-tiba timbul pula suatu pemikiran lain: "Seandainya aku tidak mati, seandainya aku tidak dihukum mati, kehidupanku tiba-tiba akan menjadi tidak pernah berakhir tampaknya, kekal selamanya, setiap menitnya dalam satu abad. Aku akan memperhitungkan setiap detik yang berlalu - aku tidak akan menyia-nyiakan sedetik pun dalam kehidupanku."

Para tahanan diberikan kemeja berpenutup kepala. Sang imam tampil untuk membacakan doa terakhir dan mendengar pengakuan dosa mereka. Mereka mengucapkan selamat tinggal satu sama lain. Tiga tahanan pertama yang akan ditembak diikat pada ketiga tiang tersebut, dan wajah mereka ditutup dengan penutup kepala mereka. Dostoyevsky berdiri di depan, dalam kelompok berikutnya. Para prajurit mengangkat senapan mereka, membidik - dan tiba-tiba datanglah sebuah kereta kuda ke alun-alun tersebut. Seorang pria turun  membawa sebuah amplop. Pada detik terakhir, sang Tsar mengubah hukuman mati mereka.

Belakangan pagi itu, hukuman baru Dostoyevsky diberitahukan: empat tahun bekerja paksa di Siberia, disusul dengan wajib militer. Sama sekali tidak terpengaruh, Dostoyevksy menulis surat kepada saudaranya pada hari itu juga, "Ketika aku  menoleh ke belakang dan merenungkan segala waktu yang kusia-siakan dalam kekeliruan dan pengangguran, maka hatiku berdarah. Kehidupan adalah benar-benar karunia. Setiap menit kehidupan mungkin menjadi kebahagiaan selamanya! Seandainya saja semua anak-anak kecil mengetahuinya! Sekarang kehidupanku telah berubah; sekarang aku dilahirkan kembali."

Beberapa hari kemudian, belenggu seberat 4,5 kg dipasang pada lengan dan kaki Dostoyevsky - belenggu yang akan terus dipasang selama masa hukumannya - dan diapun diberangkatkan ke Siberia.  Selama empat tahun berikutnya, dia menanggung kondisi penjara yang sungguh parah. Karena tidak diizinkan menulis, dia menulis novel dalam benaknya, menghafalkannya. Pada akhirnya, pada tahun 1857, ketika masih menjalani wajib militer sebagai bagian dari hukumannya, dia diizinkan untuk mulai menenrbitkan karyanya. Kalau sebelumnya, dia cenderung menyiksa diri ketika menulis satu halaman saja, menghabiskan setengah hari melamun, sekarang dia terus menulis. Teman-temannya sering melihatnya berjalan di St. Petersburg menggumamkan bagian-bagian dialog kepada dirinya sendiri, membayangkan lakon-lakon serta alur ceritanya. Slogan barunya adalah: "Berusaha melaksanakan sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin."

Sebagian orang mengasihani Dostoyevsky karena sempat dipenjara. Hal itu malah menjadikannya berang; dia justru bersyukur atas pengalaman tersebut dan tidak merasakan kepahitan. Seandainya bukan karena hari di bulan Desember tahun 1849 tersebut, dia merasa, dia pasti sudah menyia-nyiakan kehidupannya. Dia justru merindukan keadaan diburu maut tersebut. Dostoyevsky sering menghabiskan semua uangnya di meja judi sampai dia miskin, kelaparan dan mendekati kematian sehingga dia bisa menulis dengan banyak dan cepat sebelum ajal menjemput. Hingga ajalnya pada tahun 1881, dia terus menulis dengan sangat cepat, menerbitkan novel demi novel hebat yang menjadi acuan banyak filosof Barat - 'Kejahatan dan Hukuman' (Преступлéние и наказáние), 'Idiot' (Идиот), 'Saudara-saudara Karamazov' (Братья Карамазовы), novel-novel yang hidup di benaknya selama pembuangan Siberia - Dostoyevsky menuliskannya seolah-olah setiap novel itu adalah novelnya yang terakhir.

*Salah seorang sahabat terbaik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Rabu, 11 Juli 2012

AGAMA DI ZAMAN MODERN: Haruskah disingkirkan atau dirangkul?

Modernitas ditandai dengan otonomi manusia atas dirinya dan juga dunianya. Segala kemajuan dibidang sains dan juga ilmu-ilmu sosial membawa manusia pada keyakinan baru,yakni bahwa mereka benar-benar mampu untuk mengolah dunianya. Di sisi lain, agama yang dahulu merupakan pedoman bagi cara hidup manusia mulai kehilangan pesona. Agama mulai “dimusuhi” karena dianggap tidak dapat memberikan pendasaran rasional atas apa yang benar-benar faktual dan aktual di dalam kehidupan manusia. Setelah kurang lebih 500 tahun modernitas berlangsung dengan segala kemajuannya, ternyata agama tetap tidak hilang dari kehidupan manusia itu sendiri. Apakah ini karena agama memang sesuatu yang melekat di dalam manusia itu sendiri atau modernitas justru membutuhkan agama sebagai “pemandu” bagi kelangsungan hidupnya sendiri? Tulisan ini akan membahas problem agama di dalam dunia modern dalam kaitannya dengan pemikiran Habermas tentang Dasar-dasar Prapolitik Negara Konstitusional dan juga Agama dalam Ruang Publik. Untuk itu pembahasan akan di mulai dengan pandangan sekilas tentang zaman modern, kemudian dilanjutkan dengan kritik agama di zaman modern. Pada bagian ketiga akan dilihat Konsepsi negara sekuler pada masyarakat modern. Bahasan akan dilanjutkan dengan melihat agama dalam konsepsi  warga negara demokratis. Bahasan kelima akan memperlihatkan bagaimana pergulatan agama di era sekuler. Di sini akan ditunjukan bagaimana ketidakadilan terjadi bagi para pemeluk agama di dalam negara sekuler yang demokratis. Bagian keenam akan berisi mengenai rasio pasar sebagai perusak demokrasi. Dengan bahasan ini akan ditunjukan bahwa bukanlah agama melainkan rasio pasar yang telah membuat distorsi pada demokrasi. Pembahasan kemudian akan ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.

Zaman Modern
Zaman modern berawal dari gerakan Renaisans yang terjadi sekitar abad 16 di Italia. Di sinilah orang pertama-tama merasa “dilahirkan” kembali. Mereka melihat diri dan tubuh mereka dengan tidak asing seperti sebelumnya, melainkan dengan rasa takjub. Takjub terhadap dirinya sebagai manusia. Pada masa itu orang mengagumi kebudayaan-kebudayaan, baik sastra maupun seni, yang berasal dari Yunani dan Romawi kuno, di mana kedirian dan kebertubuhan mendapat perhatian dalam karya-karya seni dan sastra zaman itu. Tidak seperti zaman sebelumnya, yaitu pada abad pertengahan, di mana kebertubuhan dan kedirian merupakan hal yang sangat tabu untuk diungkapkan karena otoritas gereja pada saat itu masih begitu kuat menjadi pengatur norma-norma yang berlaku di masyarakat, pada zaman modern segala bentuk yang mengungkapkan kemanusiaan begitu mendapat perhatian khusus. Pemikiran dan pembicaraan yang sangat lazim pada abad abad pertengahan, seperti hal-hal rohani, ilahi, dan sekitar “dunia sana” menjadi sesuatu yang “basi” dan dipandang tidak memiliki rujukan dalam kehidupan kongkret manusia.
Penekanan dan penggunaan nalar dalam pengetahuan menjadi begitu penting di zaman modern. Penekanan pada nalar atau rasio tampak dalam pandangan René Descartes (1596-1650). Sebagai “Bapak filsafat modern”, ia menekankan pentingnya rasio dalam suatu penelitian ilmiah.[1] Orang tidak boleh menerima suatu  pandangan sebagai kebenaran tanpa terlebih dahulu diselidiki oleh nalar. Dari pandangannya tersebut, penekanan terhadap kemampuan rasio manusia menjadi faktor penting dalam menentukan kebenaran.
Zaman modern dengan segala kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, baik itu ilmu alam atau ilmu sosial, terjadi dengan pesatnya. Pada bidang pengetahuan alam terdapat penemuan-penemuan seperti kompas, bubuk mesiu dan timbul kemajuan industri serta metode-metode kedokteran. Pada ilmu-ilmu sosial, paradigma berpikir manusia mulai meninggalkan bentuk-bentuk lama, yang dahulu selalu bergantung pada hal-hal lain di luar dirinya, kini berpusat pada diri sendiri. Zaman modern seolah zaman yang menjanjikan kemajuan bagi manusia. Rasio manusia menjadi penting saat itu. Ia berperan sebagai penentu kebenaran. Yang tidak rasional tidak benar. Selain sebagai penentu kebenaran, rasio juga menjadi penanda kebebasan manusia. Dengan diiringi kemajuan di bidang sains dan teknologi, manusia modern seolah memiliki takdir untuk mencapai dan menaklukkan semua hal. Pada masa ini, manusia yang “sesungguhnya” adalah manusia otonom yang rasional. Cita-cita untuk memanusiakan manusia juga menjadi proyek besar yang harus dilaksanakan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya, yakni: pertama, kesadaran diri sebagai subjek; kedua, sikap kritis terhadap prasangka-prasangka dari tradisi; dan ketiga, progresivitas.[2] Ketiga jiwa modernitas di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mereka eksis secara utuh bersama. Dapat dikatakan pula bahwa mereka adalah tritunggal dari zaman modern.[3] Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom merupakan tujuan manusia. Dengan sadar akan diri sebagai subjek otonom, maka dewasalah ia.[4]

Kritik Agama di Zaman Modern
       Kemajuan yang terjadi di zaman modern, mau tidak mau, turut mengubah paradigma berpikir manusia. Paradigma berpikir yang dahulu bergantung pada hal-hal lain di luar diri manusia kini berpusat pada manusia itu sendiri. Sejak dimulainya zaman modern pemikiran manusia mulai berpusat pada sang “Aku”. Paradigma-paradigma berpikir yang berpusat pada kosmos ataupun theos (telah) ditinggalkan. Pada fase selanjutnya di zaman modern, ateisme berkembang dengan pesatnya. Perkembangan ilmu pengetahuan seolah mengafirmasi bahwa sebenarnya yang ada hanya materi-materi belaka. Tuhan tidak ada, bahkan tak pernah ada.
       Peran rasio yang begitu besar di zaman modern membuat segala sesuatu yang tidak dapat digapai oleh pikiran manusia menjadi hal yang mustahil ada. Rasio menentukan apakah sesuatu itu nyata bereksistensi atau tidak. Yang ada adalah apa yang dapat dipikirkan, masuk akal, dan kongkret. Situasi demikian mau tidak mau membuat kritik terhadap agama “tradisional” menjadi begitu subur di dalam ranah kehidupan. Di zaman modern, jawaban agama atas problem-problem manusia dianggap tidak lagi mencukupi. Sains dan rasionalitasnya seolah lebih memberikan kepastian ketimbang jawaban spekulatif yang diberikan oleh bahasa agama.
            Di bidang politik asumsi akan nalar manusia merupakan basis epistemik bagi justifikasi negara sekular yang tidak lagi bergantung pada legitimasi religius. Dari asumsi akan nalar tersebutlah di kemudian hari muncul pemisahan antara religi dan negara pada level institusional. Tentu tidak hanya karena kemajuan dains dan teknologi yang melatarbelakangi hal tersebut melainkan juga karena banyaknya perang agama dan pertikaian-pertikaian iman yang terjadi semenjak awal zaman modern.  Berbeda dari teori hukum kodrat yang cendrung bersifat teokratik pada pengejawantahannya di ranah politik, di zaman modern pemerintah bukan lagi wakil Tuhan di dalam dunia melainkan adalah wakil dari rakyat yang dipimpinnya. Setelah zaman Pencerahan, negara konstitusional adalah negara yang rasional, yang berorientasi pada kehidupan bersama di dunia ini.

Konsepsi Negara Sekuler
Kritik terhadap agama pada zaman modern telah membuat pemisahan ruang bagi agama dan negara. Agama dikerangkeng di dalam ruang privat sementara negara adalah institusi netral yang tidak boleh terganggu atau diganggu oleh urusan-urusan agama. Negara memiliki peran untuk mewadahi segenap anggota yang bernaung di dalamnya tanpa memandang keyakinan para anggotanya tersebut. Di sisi yang lain negara juga berperan menjaga agar urusan-urusan agama tertentu tidak mengganggu kehidupan bersama di mana terdapat banyak keyakinan keagamaan lain.
Negara sekuler adalah negara yang memahami diri sebagai satu legitimasi nonreligius dan postmetafisik.[5] Artinya, negara sekuler tidak mendasarkan diri pada pengandaian-pengandaian kosmologis dan soteriologi tertentu sebagaimana yang diandaikan oleh ajaran-ajaran hukum kodrat. Hal tersebut membawa dampak bahwa negara menjadi institusi yang netral, yang tidak memihak pada pandangan hidup kelompok tertentu. Setiap warga adalah setara di dalam negara. Habermas mengatakan:
“... dalam negara konstitusional, tidak ada penguasa (subject power) yang dapat hidup dari pengandaian-pengandaian pralegal. Tidak ada lagi ruang kosong yang tertinggal bagi kedaulatan pemerintahan prakonstitusional (preconstitutional princely sovereignity). Ruang kosong itu telah diisi oleh kedaulatan substantif rakyat...”[6]
Jika pendasaran kosmologis dan soteriologis tidak lagi menjadi dasar negara, apakah kemudian yang menjadi dasarnya?  Dalam negara sekular, dasar negara adalah peraturan-peraturan yang ditentukan sendiri oleh warga sebagai bentuk aspirasi mereka untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Di sini berarti bahwa negara tidak hanya negara yang “dijinakkan” secara konstitusional, melainkan negara yang terkonstitusi melalui perangkat hukum.[7] Melalui hukum itulah, negara menganggap diri sanggup untuk memenuhi kebutuhan legitimasinya, yaitu aspirasi rasional dari warganya. Dengan demikian, pengandaian-pengandaian religius dan metafisika tertentu dapat dilepaskan dari praktek politik negara.
Menarik untuk mencermati tiga pertanyaan yang diajukan oleh Bökenförde mengenai konsepsi negara liberal, yaitu:
1.      Apakah otoritas politik dapat menerima pembenaran sekular setelah hukum telah sepenuhnya dipositivasi?
2.      Apakah komunitas politik yang plural dapat menstabilkan diri secara normatif dengan cara mengandaikan sebuah konsensus dasar  yang semata-mata formal dan dibatasi oleh prosedur dan prinsip-prinsip?
3.      Seberapa jauh warga dapat menyatukan diri di dalam sebuah negara dengan jaminan atas kebebasan individual belaka, tanpa adanya ikatan, yang mendahului adanya kebebasan, yang mempersatukan mereka?
Pertama, “apakah otoritas politik dapat menerima pembenaran sekular setelah hukum telah sepenuhnya dipositivasi?” Maksudnya adalah apakah negara dapat menerima pembenaran-pembenaran yang hanya berasal dari pandangan nonreligius atau postmetafisik. Dalam terang problem yang diajukan oleh Bökenförde, bagi Habermas peraturan hukum yang telah dipositivasi tetap membutuhkan agama atau “kekuatan pemandu” (sustaining power) lain sebagai pemasti kognitif untuk melegitimasi prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Klaim keberlakuan hukum positif sebenarnya tidak dapat lepas begitu saja dari keyakinan-keyakinan prapolitis etis yang berasal dari komunitas religius maupun nasional.[8] keterlibatan keyakinan-keyakinan, baik religius maupun nasional dalam tataran prapolitis ini, justru menjadi jaminan terhadap prinsip-prinsip yang berlaku di dalam negara.
Kedua, “apakah komunitas politik yang plural dapat menstabilkan diri secara normatif dengan cara mengandaikan sebuah konsensus dasar  yang semata-mata formal dan dibatasi oleh prosedur dan prinsip-prinsip?[9] Dari penjelasan sebelumnya telah kita lihat bagaimana pengandaian suatu negara liberal, sebelum positivasi hukum terjadi, adalah (kehendak) warga. Peran serta warga sebagai co-legislator diharapkan  dapat menggunakan hak-haknya secara aktif dalam berkomunikasi dan berpartisipasi, tidak hanya sebatas kepentingan tercerahkan mereka, namun juga guna mencari kebaikan bersama.[10] Pengandaian akan peran warga ini sebenarnya adalah pengandaian yang tidak melihat pada motivasi-motivasi dari mereka sendiri dalam berpartisipasi di dalam negara. Motivasi warga dalam berpartisipasi tidak dapat dipaksakan secara legal oleh negara. Lebih dari itu, motif-motif warga guna berpartisipasi dalam pembentukan opini-opini dan kehendak politik justru berasal dari kehidupan etis (ethical lifeworld) dan bentuk-bentuk kultural tertentu.[11]
Ketiga, “seberapa jauh warga dapat menyatukan diri di dalam sebuah negara dengan jaminan atas kebebasan individual belaka, tanpa adanya ikatan, yang mendahului adanya kebebasan, yang mempersatukan mereka? Habermas mengatakan bahwa di dalam negara liberal ‘ikatan pemersatu’ (unifying bond) adalah proses demokrasi itu sendiri. Dalam proses demokrasi terdapat kebebasan berkomunikasi yang dapat memobilisasi partisipasi warga dalam debat publik mengenai hal-hal yang mereka hadapi.[12] Melalui debat publik tersebut, terbukalah interpretasi dan kemungkinan untuk tidak sepaham dengan kebijakan-kebijakan negara yang ada. Namun demikian, proses debat tersebut tetap memiliki pengandaian pemahaman tertentu yang prapolitik. Orang dapat berdebat mengenai suatu hal berdasarkan perspektif masing-masing, yang memiliki landasan prapolitik seperti keyakinan-keyakinan tertentu.
 Habermas melihat bahwa bentuk penerimaan terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda tersebut merupakan ciri dari demokrasi itu sendiri di mana setiap warga memiliki kebebasan. Dalam demokrasi setiap orang memiliki kebebasan serta akses yang sama di dalam negara. Di dalam negara sekuler, yang postmetafisik, diandaikan adanya penerimaan terhadap pandangan-pandangan lain yang tidak sama dengannya.

Agama dalam Konsepsi Liberal Warga Negara Demokratis
Pemahaman yang terdapat pada negara konstitusional telah mengalami perkembangan dari yang melulu bertumpu pada argumen-argumen publik ke arah setiap orang memiliki akses yang sama. Asumsi akan nalar manusia merupakan basis epistemik bagi justifikasi negara sekular yang tidak lagi bergantung pada legitimasi religius. Dari asumsi akan nalar tersebutlah muncul pemisahan antara gereja dan negara pada level institusional. Tentu yang melatarbelakangi hal tersebut adalah banyaknya perang agama dan pertikaian-pertikaian iman yang terjadi semenjak awal zaman modern.[13]  Lebih lanjut, Habermas melihat bahwa  pertikaian antara kaum religius dan sekular sebenarnya telah terjadi semenjak awal zaman modern. Di satu sisi, mereka yang mengesampingkan peran agama di dalam ruang publik merupakan bagian dari penganut mainstream ilmu sosial yang menganggap bahwa modernisasi dan sekularisasi berjalan berdampingan untuk mengikis pengaruh praktek dan kepercayaan religius dalam politik dan masyarakat.[14]
Namun demikian, apakah benar bahwa agama benar-benar tersingkir dalam kehidupan bernegara warganya? Habermas mengatakan tidak. Agama tidak pergi dari kehidupan para warga negara yang memeluknya. Justru agama bertahan dan bahkan sebenarnya turut berperan di dalam proses perkembangan negara. Oleh karena itulah, Habermas melihat bahwa di zaman kontemporer ini sangat penting untuk  mengintroduksi kembali kebebasan beragama sebagai hal yang tepat untuk memberikan jawaban politis bagi pluralisme religius. Bagaimanapun niscayanya karakter sekular dalam negara, belum dapat menjamin kesetaraan akan kebebasan religius bagi setiap orang. Tidaklah cukup hanya bergantung/mengharapkan pada “kebaikan” otoritas sekular. Lebih dari itu, keberhasilan dalam tindakan demokratis justru terjadi jika warga negara menghargai satu sama lain sebagai seorang yang bebas dan setara dalam komunitas politik.[15]

“Ketidakadilan” bagi Warga Negara Beragama (Kritik Terhadap Rawls)
Menarik untuk melihat bagaimana Habermas memandang peran warga negara beragama dalam kehidupan politik. Dalam orasinya di  Seminar Holberg Prize ia mengkritik pandangan Rawls yang menganggap perlunya menanggalkan doktrin komperhensif di dalam diskursus publik. Dalam proyek demokrasi, Rawls menggagas perlunya nalar publik dalam kegiatan politik warga negara. Sebagaimana yang diketahui bahwa di dalam demokrasi sendiri sudah diandaikan adanya pluralitas. Rawls menyatakan bahwa di dalam kepluralitasan tersebut perlulah kiranya suatu kewarasan para warganya. Kewarasan ini ditunjukan dengan menanggalkan setiap doktrin komperhensif dalam kegiatan politis warga negara. Maksudnya adalah ketika sedang melakukan diskursus yang bersifat publik, “bahasa-bahasa” tertentu yang menjadi latar seseorang harus ditanggalkan dan digantikan dengan  “bahasa publik” yang dimengerti oleh setiap orang. Dengan demikian, bias-bias tertentu dalam diskursus publik dapat teratasi.
Doktrin koperhensif sendiri memiliki beragam bentuk. Mulai dari agama, filsafat, ideologi, kesukuan, dan banyak lagi. Rawls beranggapan bahwa bahasa-bahasa yang terdapat di dalam setiap doktrin komperhensif hanya bisa dipahami oleh setiap orang yang berpegang padanya. Orang di luar doktrin komperhensif tertentu tidak dapat mengerti atau tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang ada di dalam doktrin komperhensif tersebut. Dengan demikian, jika doktrin komperhensif dipakai dalam diskursus publik, maka akan menghambat demokrasi itu sendiri.
Dalam pengandaiannya akan kewajiban publik, Rawls beranggapan bahwa warga negara yang  beragama sungguh sulit untuk memisahkan mana yang sekular dan mana yang religius karena mereka menjalankan agama sebagai bagian dari kehidupan kesehariannya. Menjawab pandangan Rawls tersebut, Habermas dengan mengutip Nicolas Wolterstorff mengatakan: “telah menjadi bagian dari keyakinan religius bahwa mereka harus mendasarkan keputusan mereka akan isu-isu fundamental pada keyakinan iman mereka.”[16]
Dari hal di atas, Habermas melihat ketimpangan dalam konsepsi Rawls. Dalam konsepsi Rawls terdapat  kesulitan yang terjadi bagi orang beragama untuk dapat menyalurkan secara aktif apa yang menjadi aspirasinya di ranah publik. Di satu sisi mereka harus, seolah-olah, meniadakan kereligiusan mereka dan di sisi yang lain mereka sebenarnya tidak dapat mengesampingkan iman mereka di dalam kehidupan politik sebagai warga negara. Di sinilah kiranya kritik Habermas terhadap Rawls. Orang-orang beragama tidak dapat berpartisipasi secara setara dalam kehidupan publik, dan ini berarti juga tidak terjadi kebebasan yang sama di antara warga negara. Bagi Habermas,  negara liberal seharusnya tidak merubah pemisahan agama dan negara ke arah batasan-batasan mental dan psikologis bagi warga negara yang beragama. Seharusnya warga negara diharapkan untuk memahami prinsip bahwa keputusan legislatif, judikatif atau administratif secara adil dalam memahami persoalan politik. Namun demikian, mereka tidak seharusnya “dipaksa” untuk merubah identitas dan komponen-komponen privat di muka publik selama mereka dapat berpartisipasi dalam debat publik dan berperan dalam pembentukan opini-opini publik.[17]
Lebih lanjut, Habermas melihat bahwa etika liberal warga negara, nampaknya tidak adil terhadap warga negara beragama. Tuntutan bahwa warga negara beragama harus belajar dan beradaptasi dalam negara sekular. Dengan melihat perubahan kesadaran religius sejak masa Reformasi dan Pencerahan, Habermas mengungkapka bahwa komunitas-komunitas iman tradisional harus mengalami disonan kognitif yang tidak setara dengan warga negara sekular. Maksudnya adalah warga beragama diharuskan beradaptasi pada sekularitas warga lain, sementara warga sekular tidak berusaha memahami mereka. Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi tantangan bagi warga beragama, yaitu: fakta akan pluralisme, munculnya sains modern, dan penyebaran hukum positif dan moralitas profan.[18] Untuk tiga hal tersebut, warga beragama kiranya telah dapat berlaku demikian.
-          Warga negara beragama harus mengembangkan sikap epistemik melalui agama-agama lain dan pandangan umum yang mereka hadapi hanya dengan agama mereka. Di sini Habermas mengatakan bawa warga beragama telah berhasil menghubungkan kepercayaan religius mereka untuk berhadapan dengan doktrin-doktrin lain dengan cara yang sedemikian rupa dengan meletakan klaim kebenaran secara ekslusif.
-          Warga beragama harus mengembangkan posisi epistemik terhadap kebebasan sekular dari pengetahuan sakral, serta monopoli institusi sains modern pada apa yang kita ketahui tentang negara dan hal-hal yang terjadi di dunia. Bagi Habermas, warga beragama telah berhasil menerima hubungan antara dogma dan kepercayaan sains dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kemajuan dalam pengetahuan sekular tidak bertentangan dengan iman mereka.
-          Warga beragama akhirnya harus mengembangkan posisi epistemik terhadap prioritas yang dinikmati oleh nalar sekular dalam arena politik dan sains. Habermas mengatakan bahwa mereka berhasil  membuat koneksi yang transparan antara egalitarian individualisme dan universalisme hukum modern dan maralitasm serta premis-premis doktrin komperhensif mereka.
Hal-hal yang telah dilalui warga beragama, seperti yang terdapat di atas, tidak pernah dilalui oleh  warga negara sekular. Dengan demikian warga sekular sebenarnya tidak mengembangkan kemampuannya karena kesadaran mereka tidak mencukupi untuk dapat menghormati dan berkooperasi dengan warga beragama.[19] Bagi Habermas, warga negara harus belajar apa artinya hidup dalam era masyarakat paca-sekular.[20]

Rasio Pasar Sebagai Perusaknya Solidaritas dalam Demokrasi
Jika agama bukanlah penghalang atas praktek demokrasi, lantas apakah yang menghambat atau bahkan merusak praktik demokrasi di dalam negara? Habermas melihat rusaknya solidaritas dan demokrasi ini karena rasio pasar. Sebagaimana diketahui bahwa pasar memiliki pengelolaan yang berbeda dari administrasi negara. Pada pasar tidak dikenal istilah ‘demokrasi’, yang ada adalah bagaimana mendapatkan keberhasilan dan laba. Rasio pasar ini kemudian mengambil alih kontrol atas bidang-bidang kehidupan yang ada, termasuk di dalamnya adalah wilayah-wilayah personal (private sphere). Privatisme warga kemudian beralih pada orientasi keberhasilan dan pada kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, pembentukan opini dan kehendak bersama secara demokratis “hilang”. Seperti yang diprediksi oleh Bökenförde bahwa “transformasi warga yang sejahtera dan masyarakat liberal yang damai menjadi terisolasi, seperti monad-monad yang bertindak atas dasar kepentingan diri sendiri, yang menggunakan kebebasan individualnya sebagai senjata untuk melawan sesama.”[21]
Individualistas egoistis yang dilahirkan dari rasio pasar inilah yang kemudian merusak sistem kebersamaan dalam suatu negara. Orang tidak lagi memikirkan apa yang terbaik bagi “kita” melainkan apa yang terbaik bagi “aku”. Di sinilah kiranya distorsi terhadap demokrasi terjadi. Dalam dunia kontemporer orang tidak lagi mencari kepentingan bersama melainkan kepentingan pribadi. “Kepentingan bersama” hanya diandaikan akan terjadi dengan adanya interaksi antarkepentingan pribadi. Di sinilah bagi Habermas, peran agama di dalam dunia kehidupan kontemporer justru tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Agama sebenarnya memiliki sumbangan yang tidak kalah penting dalam membangun keadaban publik seperti yang dicita-citakan oleh masyarakat sekular. Singkatnya, agama telah mengisi celah yang hilang dalam masyarakat negara sekuler, yang hidup dengan rasio untung-rugi ala pasar.
Agama memiliki sesuatu yang di dalam negara sekuler telah hilang, yaitu  keberbedaan ekspresi, sensitivitas terhadap kegagalan hidup, patologi-patologi sosial, kehidupan personal yang gagal, deformasi dan distorsi hubungan sosial.[22] Sensitivitas terhadap hal-hal tersebut kiranya tidak dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan pemikir professional ( the professional knowledge expert) belaka. 
Lebih lanjut, Hermeneutika yang ada di dalam agama, bagi Habermas, memberikan sumbangan besar bagi kehidupan politik bersama warga negara. Habermas menunjukan bahwa ajaran mengenai penciptaan dalam agama, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah, dapat ditafsirkan sebagai kesetaraan antarharkat dan martabat manusia. Dengan demikian, tafsiran terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini dapat “berbunyi” bagi mereka yang religius maupun yang nonreligius.[23] Hal ini juga berarti bahwa ajaran-ajaran religius mampu menembus batas-batas domestiknya.

Penutup
Setelah 500 tahun zaman modern  membangun konsepsi tentang otonomi diri. Kritik terhadap hal-hal di luar kedirian merupakan hal yang marak terjadi. Agama sebagai lembaga penjamin metafisika tradisional mendapat serangan habis-habisan. Agama adalah pemberi candu yang tidak mendewasakan manusia-manusia zaman modern. Akhirnya dalam dunia kehidupan bersama yang bernama negara, agama harus menyingkir. Agama harus puas berada di tepian kesadaran tiap warga negara rasional dalam negara sekuler.

Negara sebagai wadah kehidupan bersama mengandaikan partisipasi rasional para warganya. Dalam berpartisipasi tersebut, para warga tidak boleh membawa-bawa agamanya (dalam bahasa Rawls doktrin komprehensif) dalam ruang publik. Cukuplah agama berada di wilayah privat semata tanpa perlu dibawa-bawa dalam dunia bersama. Peperangan dengan panji-panji keagamaan di masa lalu serta kebengisan tafsir kitab suci yang tak manusiawi membuat banyak orang sekuler enggan melihat serta memasukan agama dalam ranah politik. Biarlah agama diam di ruang privat semata tanpa perlu ikut campur pada kehidupan publik.

Habermas melihat bahwa pandangan tersebut keliru karena di dalam negara sekuler, yang postmetafisik justru diandaikan adanya penerimaan terhadap pandangan-pandangan lain yang tidak sama dengannya. Bentuk penerimaan terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda tersebut merupakan ciri dari demokrasi itu sendiri di mana setiap warga memiliki kebebasan. Bukankah di dalam demokrasi setiap orang memiliki kebebasan serta akses yang sama di dalam negara?
Fakta bahwa agama harus dapat menempatkan dirinya dalam nuansa sekular memang merupakan suatu keniscayaan, dan untuk itu maka dibutuhkan adanya tafsiran yang dapat mengatasi domestikasi tafsir kitab suci. Dalam kondisi sekular dan netralitas kekuasaan negara, serta nuansa kebebasan beragama, agama diharapkan mampu melepaskan kecendrungan untuk memonopoli interpretasi. Di sisi lain, masyarakat sekuler juga mengantisipasi bahwa komunitas religius itu akan selalu ada. Dengan demikian ia melampaui juga batas-batas sekulernya. Baik masyarakat sekuler dan religius sebenarnya dapat saling belajar dan memberikan kontribusi di dalam masyarakat postsekular.
Melihat sumbangan agama dalam memotivasi para warga negara untuk berpartisipasi dalam negara dan juga kemampuannya untuk mengisi kekosongan dalam konsepsi negara sekuler, tidak tepat untuk menyingkirkan agama dalam kehidupan bersama. Yang diperlukan adalah merangkul agama demi demokrasi. Dengan merangkul agama dalam negara sekuler, akan terjadi dialog yang semakin kaya di mana setiap keputusan yang akan dibuat pemerintah dapat memperoleh pertimbangan yang lebih komprehensif. Di sini Habermas tepat untuk mengajak kaum sekuler keluar dari domestikasi dirinya dan membuka diri pada agama.


* bagi yg membutuhkan versi lengkap dpt memintanya pada pemilik blog ini