Oleh: Rangga L Utomo*
Pada tahun 1845, Fyodor Dostoyevsky, yang saat itu berusia dua puluh
empat tahun, mengguncang dunia sastra Rusia dengan terbitnya novel
pertamanya, 'Kaum Miskin' (Бедные люди). Maka, diapun disanjung oleh
masyarakat St. Petersburg. Akan tetapi, Dostoyevsky merasa hampa akan
ketenaran itu. Maka, diapun hanyut ke dalam arena politik, menghadiri
pertemuan-pertemuan berbagai kelompok radikal. Salah satu dari kelompok
itu terarah pada Mikhail Petrashevsky yang karismatik.
Tiga
tahun kemudian, pada tahun 1848, pecahlah revolusi di seluruh penjuru
Eropa. Terinspirasi oleh apa yang terjadi di Barat, kelompok-kelompok
radikal Rusia seperti kelompok Petrashevsky membahas kemungkinan
mengikuti jejak Barat. Akan tetapi, agen-agen Tsar Nikolas I telah
menyusupi kelompok-kelompok ini, maka ditulislah laporan-laporan tentang
gagasan dan perencanaan gerakan liar yang dibahas di rumah
Petrashevsky, termasuk pembahasan tentang kemungkinan memicu
pemberontakan petani. Dostoyevsky sangat bersemangat untuk membebaskan
para pekerja paksa, dan pada tanggal 23 April 1849, dia ditahan bersama
dengan dua puluh tiga anggota lain dari kelompok Petrashevsky.
Setelah
delapan bulan mendekam di penjara, para tahanan dibangunkan pada suatu
pagi yang dingin dan diberi tahu bahwa pada akhirnya mereka akan
mendengar vonis hukuman mereka pada hari itu. Pembuangan selama beberapa
bulan adalah hukuman yang wajar atas kejahatan mereka; tidak lama lagi
juga penderitaan mereka akan berakhir, demikian pikir mereka.
Mereka
dijejalkan ke dalam kereta dan dibawa melalui jalanan licin karena es
di St. Petersburg. Begitu turun dari kereta-kereta tersebut di alun-alun
Semyonovsky, mereka disambut oleh seorang imam; di belakang sang imam
mereka melihat barisan prajurit dan, di belakang barisan prajurit
tersebut, ribuan penonton. Mereka digiring menuju sebuah arena eksekusi
di tengah alun-alun tersebut. Di bagian depan terdapat tiga tiang, dan
di sebelahnya terdapat sederet gerobak berisi peti-peti mati.
Dostoyevsky
tidak menyangka apa yang dilihatnya. "Tidak mungkin mereka akan
menghukum mati kita," demikian dia berbisik kepada sesama tahanan.
Mereka digiring menuju tempat tersebut dalam dua barisan. Hari itu luar
biasa dingin, dan para tahanan mengenakan pakaian tipis yang mereka
kenakan ketika mereka ditahan pada bulan April sebelumnya. Lalu,
terdengarlah suara genderang. Seorang petugas tampil membacakan hukuman
mereka: "Seluruh terdakwa bersalah dengan tuduhan berniat menimbulkan
kekacauan nasional, dan oleh karenanya dihukum mati di hadapan pasukan
penembak." Para tahanan pun tertegun.
Sementara sang
petugas membacakan tuduhan dan hukuman secara individual, Dostoyevksy
menemukan dirinya memandangi puncak keemasan sebuah gereja di dekat sana
yang tertimpa sinar matahari pagi. Kilau sinar matahari menghilang
ketika sebuah awan lewat di atas mereka, dan terpikirlah oleh
Dostoyevksy bahwa dia akan segera memasuki kegelapan dengan sama
cepatnya, dan selamanya. Tiba-tiba timbul pula suatu pemikiran lain:
"Seandainya aku tidak mati, seandainya aku tidak dihukum mati,
kehidupanku tiba-tiba akan menjadi tidak pernah berakhir tampaknya,
kekal selamanya, setiap menitnya dalam satu abad. Aku akan
memperhitungkan setiap detik yang berlalu - aku tidak akan
menyia-nyiakan sedetik pun dalam kehidupanku."
Para
tahanan diberikan kemeja berpenutup kepala. Sang imam tampil untuk
membacakan doa terakhir dan mendengar pengakuan dosa mereka. Mereka
mengucapkan selamat tinggal satu sama lain. Tiga tahanan pertama yang
akan ditembak diikat pada ketiga tiang tersebut, dan wajah mereka
ditutup dengan penutup kepala mereka. Dostoyevsky berdiri di depan,
dalam kelompok berikutnya. Para prajurit mengangkat senapan mereka,
membidik - dan tiba-tiba datanglah sebuah kereta kuda ke alun-alun
tersebut. Seorang pria turun membawa sebuah amplop. Pada detik
terakhir, sang Tsar mengubah hukuman mati mereka.
Belakangan
pagi itu, hukuman baru Dostoyevsky diberitahukan: empat tahun bekerja
paksa di Siberia, disusul dengan wajib militer. Sama sekali tidak
terpengaruh, Dostoyevksy menulis surat kepada saudaranya pada hari itu
juga, "Ketika aku menoleh ke belakang dan merenungkan segala waktu yang
kusia-siakan dalam kekeliruan dan pengangguran, maka hatiku berdarah.
Kehidupan adalah benar-benar karunia. Setiap menit kehidupan mungkin
menjadi kebahagiaan selamanya! Seandainya saja semua anak-anak kecil
mengetahuinya! Sekarang kehidupanku telah berubah; sekarang aku
dilahirkan kembali."
Beberapa hari kemudian, belenggu
seberat 4,5 kg dipasang pada lengan dan kaki Dostoyevsky - belenggu yang
akan terus dipasang selama masa hukumannya - dan diapun diberangkatkan
ke Siberia. Selama empat tahun berikutnya, dia menanggung kondisi
penjara yang sungguh parah. Karena tidak diizinkan menulis, dia menulis
novel dalam benaknya, menghafalkannya. Pada akhirnya, pada tahun 1857,
ketika masih menjalani wajib militer sebagai bagian dari hukumannya, dia
diizinkan untuk mulai menenrbitkan karyanya. Kalau sebelumnya, dia
cenderung menyiksa diri ketika menulis satu halaman saja, menghabiskan
setengah hari melamun, sekarang dia terus menulis. Teman-temannya sering
melihatnya berjalan di St. Petersburg menggumamkan bagian-bagian dialog
kepada dirinya sendiri, membayangkan lakon-lakon serta alur ceritanya.
Slogan barunya adalah: "Berusaha melaksanakan sebanyak mungkin dalam
waktu sesingkat mungkin."
Sebagian orang mengasihani
Dostoyevsky karena sempat dipenjara. Hal itu malah menjadikannya berang;
dia justru bersyukur atas pengalaman tersebut dan tidak merasakan
kepahitan. Seandainya bukan karena hari di bulan Desember tahun 1849
tersebut, dia merasa, dia pasti sudah menyia-nyiakan kehidupannya. Dia
justru merindukan keadaan diburu maut tersebut. Dostoyevsky sering
menghabiskan semua uangnya di meja judi sampai dia miskin, kelaparan dan
mendekati kematian sehingga dia bisa menulis dengan banyak dan cepat
sebelum ajal menjemput. Hingga ajalnya pada tahun 1881, dia terus
menulis dengan sangat cepat, menerbitkan novel demi novel hebat yang
menjadi acuan banyak filosof Barat - 'Kejahatan dan Hukuman'
(Преступлéние и наказáние), 'Idiot' (Идиот), 'Saudara-saudara Karamazov'
(Братья Карамазовы), novel-novel yang hidup di benaknya selama
pembuangan Siberia - Dostoyevsky menuliskannya seolah-olah setiap novel
itu adalah novelnya yang terakhir.
*Salah seorang sahabat terbaik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Translate
Senin, 23 Juli 2012
Rabu, 11 Juli 2012
AGAMA DI ZAMAN MODERN: Haruskah disingkirkan atau dirangkul?
Modernitas
ditandai dengan otonomi manusia atas dirinya dan juga dunianya. Segala kemajuan
dibidang sains dan juga ilmu-ilmu sosial membawa manusia pada keyakinan
baru,yakni bahwa mereka benar-benar mampu untuk mengolah dunianya. Di sisi
lain, agama yang dahulu merupakan pedoman bagi cara hidup manusia mulai
kehilangan pesona. Agama mulai “dimusuhi” karena dianggap tidak dapat
memberikan pendasaran rasional atas apa yang benar-benar faktual dan aktual di
dalam kehidupan manusia. Setelah kurang lebih 500 tahun modernitas berlangsung
dengan segala kemajuannya, ternyata agama tetap tidak hilang dari kehidupan
manusia itu sendiri. Apakah ini karena agama memang sesuatu yang melekat di
dalam manusia itu sendiri atau modernitas justru membutuhkan agama sebagai
“pemandu” bagi kelangsungan hidupnya sendiri? Tulisan ini akan membahas problem
agama di dalam dunia modern dalam kaitannya dengan pemikiran Habermas tentang Dasar-dasar Prapolitik Negara Konstitusional
dan juga Agama dalam Ruang Publik.
Untuk itu pembahasan akan di mulai dengan pandangan sekilas tentang zaman
modern, kemudian dilanjutkan dengan kritik agama di zaman modern. Pada bagian
ketiga akan dilihat Konsepsi negara sekuler pada masyarakat modern. Bahasan
akan dilanjutkan dengan melihat agama dalam konsepsi warga negara demokratis. Bahasan kelima akan
memperlihatkan bagaimana pergulatan agama di era sekuler. Di sini akan
ditunjukan bagaimana ketidakadilan terjadi bagi para pemeluk agama di dalam
negara sekuler yang demokratis. Bagian keenam akan berisi mengenai rasio pasar
sebagai perusak demokrasi. Dengan bahasan ini akan ditunjukan bahwa bukanlah
agama melainkan rasio pasar yang telah membuat distorsi pada demokrasi.
Pembahasan kemudian akan ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.
Zaman
Modern
Zaman modern berawal
dari gerakan Renaisans yang terjadi sekitar abad 16 di Italia. Di sinilah orang
pertama-tama merasa “dilahirkan” kembali. Mereka melihat diri dan tubuh mereka
dengan tidak asing seperti sebelumnya, melainkan dengan rasa takjub. Takjub
terhadap dirinya sebagai manusia. Pada masa itu orang mengagumi
kebudayaan-kebudayaan, baik sastra maupun seni, yang berasal dari Yunani dan
Romawi kuno, di mana kedirian dan kebertubuhan mendapat perhatian dalam
karya-karya seni dan sastra zaman itu. Tidak
seperti zaman sebelumnya, yaitu pada abad pertengahan, di mana kebertubuhan dan
kedirian merupakan hal yang sangat tabu untuk diungkapkan karena otoritas
gereja pada saat itu masih begitu kuat menjadi pengatur norma-norma yang
berlaku di masyarakat, pada zaman modern segala bentuk yang mengungkapkan
kemanusiaan begitu mendapat perhatian khusus. Pemikiran dan pembicaraan yang
sangat lazim pada abad abad pertengahan, seperti hal-hal rohani, ilahi, dan
sekitar “dunia sana” menjadi sesuatu yang “basi” dan dipandang tidak memiliki
rujukan dalam kehidupan kongkret manusia.
Penekanan dan penggunaan nalar dalam
pengetahuan menjadi begitu penting di zaman modern. Penekanan pada nalar atau
rasio tampak dalam pandangan René Descartes (1596-1650). Sebagai “Bapak
filsafat modern”, ia menekankan pentingnya rasio dalam suatu penelitian ilmiah.[1]
Orang tidak boleh menerima suatu pandangan sebagai kebenaran tanpa
terlebih dahulu diselidiki oleh nalar. Dari pandangannya tersebut, penekanan
terhadap kemampuan rasio manusia menjadi faktor penting dalam menentukan
kebenaran.
Zaman modern dengan segala kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan, baik itu ilmu alam atau ilmu sosial, terjadi dengan pesatnya.
Pada bidang pengetahuan alam terdapat penemuan-penemuan seperti kompas, bubuk
mesiu dan timbul kemajuan industri serta metode-metode kedokteran. Pada
ilmu-ilmu sosial, paradigma berpikir manusia mulai meninggalkan bentuk-bentuk
lama, yang dahulu selalu bergantung pada hal-hal lain di luar dirinya, kini
berpusat pada diri sendiri. Zaman modern seolah zaman yang menjanjikan kemajuan
bagi manusia. Rasio manusia menjadi penting saat itu. Ia berperan sebagai
penentu kebenaran. Yang tidak rasional tidak benar. Selain sebagai penentu
kebenaran, rasio juga menjadi penanda kebebasan manusia. Dengan diiringi
kemajuan di bidang sains dan teknologi, manusia modern seolah memiliki takdir
untuk mencapai dan menaklukkan semua hal. Pada masa ini, manusia yang “sesungguhnya”
adalah manusia otonom yang rasional. Cita-cita untuk memanusiakan manusia juga
menjadi proyek besar yang harus dilaksanakan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya, yakni: pertama, kesadaran
diri sebagai subjek; kedua, sikap kritis terhadap prasangka-prasangka
dari tradisi; dan ketiga, progresivitas.[2]
Ketiga jiwa modernitas di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Mereka eksis secara utuh bersama. Dapat dikatakan pula bahwa mereka adalah tritunggal
dari zaman modern.[3]
Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom merupakan tujuan manusia. Dengan
sadar akan diri sebagai subjek otonom, maka dewasalah ia.[4]
Kritik
Agama di Zaman Modern
Kemajuan
yang terjadi di zaman modern, mau tidak mau, turut mengubah paradigma berpikir
manusia. Paradigma berpikir yang dahulu bergantung pada hal-hal lain di luar
diri manusia kini berpusat pada manusia itu sendiri. Sejak dimulainya zaman
modern pemikiran manusia mulai berpusat pada sang “Aku”. Paradigma-paradigma
berpikir yang berpusat pada kosmos ataupun theos (telah) ditinggalkan.
Pada fase selanjutnya di zaman modern, ateisme berkembang dengan pesatnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan seolah mengafirmasi bahwa sebenarnya yang ada
hanya materi-materi belaka. Tuhan tidak ada, bahkan tak pernah ada.
Peran rasio yang begitu besar di zaman
modern membuat segala sesuatu yang tidak dapat digapai oleh pikiran manusia
menjadi hal yang mustahil ada. Rasio menentukan apakah sesuatu itu nyata
bereksistensi atau tidak. Yang ada adalah apa yang dapat dipikirkan, masuk
akal, dan kongkret. Situasi demikian mau tidak mau membuat kritik terhadap
agama “tradisional” menjadi begitu subur di dalam ranah kehidupan. Di zaman modern, jawaban agama atas
problem-problem manusia dianggap tidak lagi mencukupi. Sains dan
rasionalitasnya seolah lebih memberikan kepastian ketimbang jawaban spekulatif
yang diberikan oleh bahasa agama.
Di
bidang politik asumsi akan nalar manusia merupakan basis epistemik bagi
justifikasi negara sekular yang tidak lagi bergantung pada legitimasi religius.
Dari asumsi akan nalar tersebutlah di kemudian hari muncul pemisahan antara
religi dan negara pada level institusional. Tentu tidak hanya karena kemajuan
dains dan teknologi yang melatarbelakangi hal tersebut melainkan juga karena
banyaknya perang agama dan pertikaian-pertikaian iman yang terjadi semenjak
awal zaman modern. Berbeda dari teori
hukum kodrat yang cendrung bersifat teokratik pada pengejawantahannya di ranah
politik, di zaman modern pemerintah bukan lagi wakil Tuhan di dalam dunia
melainkan adalah wakil dari rakyat yang dipimpinnya. Setelah zaman Pencerahan,
negara konstitusional adalah negara yang rasional, yang berorientasi pada
kehidupan bersama di dunia ini.
Konsepsi
Negara Sekuler
Kritik terhadap agama pada zaman modern
telah membuat pemisahan ruang bagi agama dan negara. Agama dikerangkeng di
dalam ruang privat sementara negara adalah institusi netral yang tidak boleh
terganggu atau diganggu oleh urusan-urusan agama. Negara memiliki peran untuk mewadahi
segenap anggota yang bernaung di dalamnya tanpa memandang keyakinan para
anggotanya tersebut. Di sisi yang lain negara juga berperan menjaga agar
urusan-urusan agama tertentu tidak mengganggu kehidupan bersama di mana
terdapat banyak keyakinan keagamaan lain.
Negara sekuler adalah negara yang memahami
diri sebagai satu legitimasi nonreligius dan postmetafisik.[5]
Artinya, negara sekuler tidak mendasarkan diri pada pengandaian-pengandaian
kosmologis dan soteriologi tertentu sebagaimana yang diandaikan oleh
ajaran-ajaran hukum kodrat. Hal tersebut membawa dampak bahwa negara menjadi
institusi yang netral, yang tidak memihak pada pandangan hidup kelompok
tertentu. Setiap warga adalah setara di dalam negara. Habermas mengatakan:
“...
dalam negara konstitusional, tidak ada penguasa (subject power) yang dapat hidup dari
pengandaian-pengandaian pralegal. Tidak ada lagi ruang kosong yang tertinggal
bagi kedaulatan pemerintahan prakonstitusional (preconstitutional princely
sovereignity). Ruang kosong itu telah diisi
oleh kedaulatan substantif rakyat...”[6]
Jika pendasaran kosmologis dan soteriologis
tidak lagi menjadi dasar negara, apakah kemudian yang menjadi dasarnya? Dalam negara sekular, dasar negara adalah
peraturan-peraturan yang ditentukan sendiri oleh warga sebagai bentuk aspirasi
mereka untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Di sini berarti bahwa negara tidak
hanya negara yang “dijinakkan” secara konstitusional, melainkan negara yang
terkonstitusi melalui perangkat hukum.[7]
Melalui hukum itulah, negara menganggap diri sanggup untuk memenuhi kebutuhan
legitimasinya, yaitu aspirasi rasional dari warganya. Dengan demikian,
pengandaian-pengandaian religius dan metafisika tertentu dapat dilepaskan dari
praktek politik negara.
Menarik untuk mencermati tiga pertanyaan
yang diajukan oleh Bökenförde mengenai konsepsi negara liberal, yaitu:
1.
Apakah otoritas politik dapat menerima pembenaran
sekular setelah hukum telah sepenuhnya dipositivasi?
2.
Apakah komunitas politik yang plural dapat menstabilkan
diri secara normatif dengan cara mengandaikan sebuah konsensus dasar yang semata-mata formal dan dibatasi oleh
prosedur dan prinsip-prinsip?
3.
Seberapa jauh warga dapat menyatukan diri di dalam
sebuah negara dengan jaminan atas kebebasan individual belaka, tanpa adanya
ikatan, yang mendahului adanya kebebasan, yang mempersatukan mereka?
Pertama,
“apakah otoritas politik dapat menerima
pembenaran sekular setelah hukum telah sepenuhnya dipositivasi?” Maksudnya
adalah apakah negara dapat menerima pembenaran-pembenaran yang hanya berasal
dari pandangan nonreligius atau postmetafisik. Dalam terang problem yang
diajukan oleh Bökenförde, bagi Habermas peraturan hukum yang telah dipositivasi
tetap membutuhkan agama atau “kekuatan pemandu” (sustaining power) lain sebagai pemasti kognitif untuk melegitimasi
prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Klaim keberlakuan hukum positif
sebenarnya tidak dapat lepas begitu saja dari keyakinan-keyakinan prapolitis
etis yang berasal dari komunitas religius maupun nasional.[8]
keterlibatan keyakinan-keyakinan, baik religius maupun nasional dalam tataran
prapolitis ini, justru menjadi jaminan terhadap prinsip-prinsip yang berlaku di
dalam negara.
Kedua, “apakah
komunitas politik yang plural dapat menstabilkan diri secara normatif dengan
cara mengandaikan sebuah konsensus dasar
yang semata-mata formal dan dibatasi oleh prosedur dan prinsip-prinsip?”[9]
Dari penjelasan sebelumnya telah kita lihat bagaimana pengandaian suatu negara
liberal, sebelum positivasi hukum terjadi, adalah (kehendak) warga. Peran serta
warga sebagai co-legislator
diharapkan dapat menggunakan hak-haknya
secara aktif dalam berkomunikasi dan berpartisipasi, tidak hanya sebatas
kepentingan tercerahkan mereka, namun juga guna mencari kebaikan bersama.[10]
Pengandaian akan peran warga ini sebenarnya adalah pengandaian yang tidak
melihat pada motivasi-motivasi dari mereka sendiri dalam berpartisipasi di
dalam negara. Motivasi warga dalam berpartisipasi tidak dapat dipaksakan secara
legal oleh negara. Lebih dari itu, motif-motif warga guna berpartisipasi dalam
pembentukan opini-opini dan kehendak politik justru berasal dari kehidupan etis
(ethical lifeworld) dan bentuk-bentuk
kultural tertentu.[11]
Ketiga, “seberapa jauh warga dapat menyatukan diri di dalam sebuah negara dengan
jaminan atas kebebasan individual belaka, tanpa adanya ikatan, yang mendahului
adanya kebebasan, yang mempersatukan mereka? Habermas mengatakan bahwa di
dalam negara liberal ‘ikatan pemersatu’ (unifying
bond) adalah proses demokrasi itu sendiri. Dalam proses demokrasi terdapat
kebebasan berkomunikasi yang dapat memobilisasi partisipasi warga dalam debat
publik mengenai hal-hal yang mereka hadapi.[12]
Melalui debat publik tersebut, terbukalah interpretasi dan kemungkinan untuk
tidak sepaham dengan kebijakan-kebijakan negara yang ada. Namun demikian,
proses debat tersebut tetap memiliki pengandaian pemahaman tertentu yang
prapolitik. Orang dapat berdebat mengenai suatu hal berdasarkan perspektif
masing-masing, yang memiliki landasan prapolitik seperti keyakinan-keyakinan
tertentu.
Habermas melihat bahwa bentuk penerimaan
terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda tersebut merupakan ciri dari
demokrasi itu sendiri di mana setiap warga memiliki kebebasan. Dalam demokrasi
setiap orang memiliki kebebasan serta akses yang sama di dalam negara. Di dalam
negara sekuler, yang postmetafisik, diandaikan adanya penerimaan terhadap
pandangan-pandangan lain yang tidak sama dengannya.
Agama
dalam Konsepsi Liberal Warga Negara Demokratis
Pemahaman yang terdapat pada negara
konstitusional telah mengalami perkembangan dari yang melulu bertumpu pada
argumen-argumen publik ke arah setiap orang memiliki akses yang sama. Asumsi
akan nalar manusia merupakan basis epistemik bagi justifikasi negara sekular
yang tidak lagi bergantung pada legitimasi religius. Dari asumsi akan nalar
tersebutlah muncul pemisahan antara gereja dan negara pada level institusional.
Tentu yang melatarbelakangi hal tersebut adalah banyaknya perang agama dan
pertikaian-pertikaian iman yang terjadi semenjak awal zaman modern.[13] Lebih lanjut, Habermas melihat bahwa pertikaian antara kaum religius dan sekular
sebenarnya telah terjadi semenjak awal zaman modern. Di satu sisi, mereka yang
mengesampingkan peran agama di dalam ruang publik merupakan bagian dari
penganut mainstream ilmu sosial yang
menganggap bahwa modernisasi dan sekularisasi berjalan berdampingan untuk
mengikis pengaruh praktek dan kepercayaan religius dalam politik dan
masyarakat.[14]
Namun demikian, apakah benar bahwa agama
benar-benar tersingkir dalam kehidupan bernegara warganya? Habermas mengatakan
tidak. Agama tidak pergi dari kehidupan para warga negara yang memeluknya. Justru
agama bertahan dan bahkan sebenarnya turut berperan di dalam proses
perkembangan negara. Oleh karena itulah, Habermas melihat bahwa di zaman kontemporer
ini sangat penting untuk mengintroduksi kembali
kebebasan beragama sebagai hal yang tepat untuk memberikan jawaban politis bagi
pluralisme religius. Bagaimanapun niscayanya karakter sekular dalam negara,
belum dapat menjamin kesetaraan akan kebebasan religius bagi setiap orang.
Tidaklah cukup hanya bergantung/mengharapkan pada “kebaikan” otoritas sekular.
Lebih dari itu, keberhasilan dalam tindakan demokratis justru terjadi jika
warga negara menghargai satu sama lain sebagai seorang yang bebas dan setara
dalam komunitas politik.[15]
“Ketidakadilan”
bagi Warga Negara Beragama (Kritik Terhadap Rawls)
Menarik untuk melihat bagaimana Habermas
memandang peran warga negara beragama dalam kehidupan politik. Dalam orasinya
di Seminar Holberg Prize ia mengkritik
pandangan Rawls yang menganggap perlunya menanggalkan doktrin komperhensif di
dalam diskursus publik. Dalam proyek demokrasi, Rawls menggagas perlunya nalar
publik dalam kegiatan politik warga negara. Sebagaimana yang diketahui bahwa di
dalam demokrasi sendiri sudah diandaikan adanya pluralitas. Rawls menyatakan
bahwa di dalam kepluralitasan tersebut perlulah kiranya suatu kewarasan para
warganya. Kewarasan ini ditunjukan dengan menanggalkan setiap doktrin
komperhensif dalam kegiatan politis warga negara. Maksudnya adalah ketika
sedang melakukan diskursus yang bersifat publik, “bahasa-bahasa” tertentu yang
menjadi latar seseorang harus ditanggalkan dan digantikan dengan “bahasa publik” yang dimengerti oleh setiap
orang. Dengan demikian, bias-bias tertentu dalam diskursus publik dapat
teratasi.
Doktrin koperhensif sendiri memiliki
beragam bentuk. Mulai dari agama, filsafat, ideologi, kesukuan, dan banyak
lagi. Rawls beranggapan bahwa bahasa-bahasa yang terdapat di dalam setiap
doktrin komperhensif hanya bisa dipahami oleh setiap orang yang berpegang
padanya. Orang di luar doktrin komperhensif tertentu tidak dapat mengerti atau
tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang ada di dalam doktrin
komperhensif tersebut. Dengan demikian, jika doktrin komperhensif dipakai dalam
diskursus publik, maka akan menghambat demokrasi itu sendiri.
Dalam pengandaiannya akan kewajiban publik,
Rawls beranggapan bahwa warga negara yang
beragama sungguh sulit untuk memisahkan mana yang sekular dan mana yang
religius karena mereka menjalankan agama sebagai bagian dari kehidupan
kesehariannya. Menjawab pandangan Rawls tersebut, Habermas dengan mengutip
Nicolas Wolterstorff mengatakan: “telah menjadi bagian dari keyakinan religius
bahwa mereka harus mendasarkan keputusan mereka akan isu-isu fundamental pada
keyakinan iman mereka.”[16]
Dari hal di atas, Habermas melihat
ketimpangan dalam konsepsi Rawls. Dalam konsepsi Rawls terdapat kesulitan yang terjadi bagi orang beragama
untuk dapat menyalurkan secara aktif apa yang menjadi aspirasinya di ranah
publik. Di satu sisi mereka harus, seolah-olah, meniadakan kereligiusan mereka
dan di sisi yang lain mereka sebenarnya tidak dapat mengesampingkan iman mereka
di dalam kehidupan politik sebagai warga negara. Di sinilah kiranya kritik
Habermas terhadap Rawls. Orang-orang beragama tidak dapat berpartisipasi secara
setara dalam kehidupan publik, dan ini berarti juga tidak terjadi kebebasan
yang sama di antara warga negara. Bagi Habermas, negara liberal seharusnya tidak merubah
pemisahan agama dan negara ke arah batasan-batasan mental dan psikologis bagi
warga negara yang beragama. Seharusnya warga negara diharapkan untuk memahami
prinsip bahwa keputusan legislatif, judikatif atau administratif secara adil
dalam memahami persoalan politik. Namun demikian, mereka tidak seharusnya
“dipaksa” untuk merubah identitas dan komponen-komponen privat di muka publik
selama mereka dapat berpartisipasi dalam debat publik dan berperan dalam
pembentukan opini-opini publik.[17]
Lebih lanjut, Habermas melihat bahwa etika
liberal warga negara, nampaknya tidak adil terhadap warga negara beragama.
Tuntutan bahwa warga negara beragama harus belajar dan beradaptasi dalam negara
sekular. Dengan melihat perubahan kesadaran religius sejak masa Reformasi dan
Pencerahan, Habermas mengungkapka bahwa komunitas-komunitas iman tradisional
harus mengalami disonan kognitif yang tidak setara dengan warga negara sekular.
Maksudnya adalah warga beragama diharuskan beradaptasi pada sekularitas warga
lain, sementara warga sekular tidak berusaha memahami mereka. Setidaknya
terdapat tiga hal yang menjadi tantangan bagi warga beragama, yaitu: fakta akan
pluralisme, munculnya sains modern, dan penyebaran hukum positif dan moralitas
profan.[18]
Untuk tiga hal tersebut, warga beragama kiranya telah dapat berlaku demikian.
-
Warga negara
beragama harus mengembangkan sikap epistemik melalui agama-agama lain dan
pandangan umum yang mereka hadapi hanya dengan agama mereka. Di sini
Habermas mengatakan bawa warga beragama telah berhasil menghubungkan kepercayaan
religius mereka untuk berhadapan dengan doktrin-doktrin lain dengan cara yang
sedemikian rupa dengan meletakan klaim kebenaran secara ekslusif.
-
Warga beragama
harus mengembangkan posisi epistemik terhadap kebebasan sekular dari
pengetahuan sakral, serta monopoli institusi sains modern pada apa yang kita
ketahui tentang negara dan hal-hal yang terjadi di dunia. Bagi Habermas,
warga beragama telah berhasil menerima hubungan antara dogma dan kepercayaan
sains dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kemajuan dalam pengetahuan
sekular tidak bertentangan dengan iman mereka.
-
Warga beragama
akhirnya harus mengembangkan posisi epistemik terhadap prioritas yang dinikmati
oleh nalar sekular dalam arena politik dan sains. Habermas mengatakan bahwa
mereka berhasil membuat koneksi yang
transparan antara egalitarian individualisme dan universalisme hukum modern dan
maralitasm serta premis-premis doktrin komperhensif mereka.
Hal-hal yang telah dilalui warga beragama,
seperti yang terdapat di atas, tidak pernah dilalui oleh warga negara sekular. Dengan demikian warga
sekular sebenarnya tidak mengembangkan kemampuannya karena kesadaran mereka
tidak mencukupi untuk dapat menghormati dan berkooperasi dengan warga beragama.[19]
Bagi Habermas, warga negara harus belajar apa artinya hidup dalam era
masyarakat paca-sekular.[20]
Rasio
Pasar Sebagai Perusaknya Solidaritas dalam Demokrasi
Jika agama bukanlah penghalang atas praktek
demokrasi, lantas apakah yang menghambat atau bahkan merusak praktik demokrasi
di dalam negara? Habermas melihat rusaknya solidaritas dan demokrasi ini karena
rasio pasar. Sebagaimana diketahui bahwa pasar memiliki pengelolaan yang
berbeda dari administrasi negara. Pada pasar tidak dikenal istilah ‘demokrasi’,
yang ada adalah bagaimana mendapatkan keberhasilan dan laba. Rasio pasar ini
kemudian mengambil alih kontrol atas bidang-bidang kehidupan yang ada, termasuk
di dalamnya adalah wilayah-wilayah personal (private sphere). Privatisme warga kemudian beralih pada orientasi
keberhasilan dan pada kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, pembentukan
opini dan kehendak bersama secara demokratis “hilang”. Seperti yang diprediksi
oleh Bökenförde bahwa “transformasi warga
yang sejahtera dan masyarakat liberal yang damai menjadi terisolasi, seperti
monad-monad yang bertindak atas dasar kepentingan diri sendiri, yang
menggunakan kebebasan individualnya sebagai senjata untuk melawan sesama.”[21]
Individualistas egoistis yang dilahirkan
dari rasio pasar inilah yang kemudian merusak sistem kebersamaan dalam suatu
negara. Orang tidak lagi memikirkan apa yang terbaik bagi “kita” melainkan apa
yang terbaik bagi “aku”. Di sinilah kiranya distorsi terhadap demokrasi
terjadi. Dalam dunia kontemporer orang tidak lagi mencari kepentingan bersama
melainkan kepentingan pribadi. “Kepentingan bersama” hanya diandaikan akan
terjadi dengan adanya interaksi antarkepentingan pribadi. Di sinilah bagi
Habermas, peran agama di dalam dunia kehidupan kontemporer justru tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Agama sebenarnya memiliki sumbangan yang tidak
kalah penting dalam membangun keadaban publik seperti yang dicita-citakan oleh
masyarakat sekular. Singkatnya, agama telah mengisi celah yang hilang dalam
masyarakat negara sekuler, yang hidup dengan rasio untung-rugi ala pasar.
Agama memiliki sesuatu yang di dalam negara
sekuler telah hilang, yaitu keberbedaan
ekspresi, sensitivitas terhadap kegagalan hidup, patologi-patologi sosial,
kehidupan personal yang gagal, deformasi dan distorsi hubungan sosial.[22]
Sensitivitas terhadap hal-hal tersebut kiranya tidak dapat dipenuhi hanya
dengan mengandalkan pemikir professional ( the
professional knowledge expert) belaka.
Lebih lanjut, Hermeneutika yang ada di
dalam agama, bagi Habermas, memberikan sumbangan besar bagi kehidupan politik
bersama warga negara. Habermas menunjukan bahwa ajaran mengenai penciptaan
dalam agama, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah,
dapat ditafsirkan sebagai kesetaraan antarharkat dan martabat manusia. Dengan
demikian, tafsiran terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini dapat “berbunyi” bagi
mereka yang religius maupun yang nonreligius.[23]
Hal ini juga berarti bahwa ajaran-ajaran religius mampu menembus batas-batas
domestiknya.
Penutup
Setelah 500 tahun zaman modern membangun konsepsi tentang otonomi diri. Kritik
terhadap hal-hal di luar kedirian merupakan hal yang marak terjadi. Agama
sebagai lembaga penjamin metafisika tradisional mendapat serangan
habis-habisan. Agama adalah pemberi candu yang tidak mendewasakan
manusia-manusia zaman modern. Akhirnya dalam dunia kehidupan bersama yang
bernama negara, agama harus menyingkir. Agama harus puas berada di tepian
kesadaran tiap warga negara rasional dalam negara sekuler.
Negara sebagai wadah kehidupan bersama
mengandaikan partisipasi rasional para warganya. Dalam berpartisipasi tersebut,
para warga tidak boleh membawa-bawa agamanya (dalam bahasa Rawls doktrin
komprehensif) dalam ruang publik. Cukuplah agama berada di wilayah privat
semata tanpa perlu dibawa-bawa dalam dunia bersama. Peperangan dengan
panji-panji keagamaan di masa lalu serta kebengisan tafsir kitab suci yang tak
manusiawi membuat banyak orang sekuler enggan melihat serta memasukan agama
dalam ranah politik. Biarlah agama diam di ruang privat semata tanpa perlu ikut
campur pada kehidupan publik.
Habermas melihat bahwa pandangan tersebut
keliru karena di dalam negara sekuler, yang postmetafisik justru diandaikan
adanya penerimaan terhadap pandangan-pandangan lain yang tidak sama dengannya.
Bentuk penerimaan terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda tersebut
merupakan ciri dari demokrasi itu sendiri di mana setiap warga memiliki
kebebasan. Bukankah di dalam demokrasi setiap orang memiliki kebebasan serta
akses yang sama di dalam negara?
Fakta bahwa agama harus dapat menempatkan
dirinya dalam nuansa sekular memang merupakan suatu keniscayaan, dan untuk itu
maka dibutuhkan adanya tafsiran yang dapat mengatasi domestikasi tafsir kitab
suci. Dalam kondisi sekular dan netralitas kekuasaan negara, serta nuansa
kebebasan beragama, agama diharapkan mampu melepaskan kecendrungan untuk
memonopoli interpretasi. Di sisi lain, masyarakat sekuler juga mengantisipasi
bahwa komunitas religius itu akan selalu ada. Dengan demikian ia melampaui juga
batas-batas sekulernya. Baik masyarakat sekuler dan religius sebenarnya dapat
saling belajar dan memberikan kontribusi di dalam masyarakat postsekular.
Melihat sumbangan agama dalam memotivasi
para warga negara untuk berpartisipasi dalam negara dan juga kemampuannya untuk
mengisi kekosongan dalam konsepsi negara sekuler, tidak tepat untuk
menyingkirkan agama dalam kehidupan bersama. Yang diperlukan adalah merangkul
agama demi demokrasi. Dengan merangkul agama dalam negara sekuler, akan terjadi
dialog yang semakin kaya di mana setiap keputusan yang akan dibuat pemerintah
dapat memperoleh pertimbangan yang lebih komprehensif. Di sini Habermas tepat
untuk mengajak kaum sekuler keluar dari domestikasi dirinya dan membuka diri
pada agama.
* bagi yg membutuhkan versi lengkap dpt memintanya pada pemilik blog ini
Langganan:
Postingan (Atom)