Translate

Selasa, 26 Februari 2013

Saatnya Pulang Untuk Mimpi di Malam Hari



Seusai acara launching buku seorang penulis baru yang mengklaim sebagai penganut marxisme, suasana riuh. Beberapa orang berupaya mengejar penulis untuk sekedar meminta bukunya ditandatangani dan sebagian mencoba menyapa penulis untuk menunjukan pada tamu lain bahwa mereka adalah teman atau orang yang memiliki relasi langsung dengan penulis. Ya untuk sekedar pamer bahwa mereka itu juga orang-orang cerdas, berpengetahuan dan yang sangat penting tahu banyak soal marxisme. Sementara pengunjung yang lain, tidak perduli dan asyik dengan obrolan mereka sendiri tentang kampus, pacar, macet, banjir, atau bahkan lelucon konyol. Mereka juga larut menikmati satu atau dua gelas kopi dan kue-kue yang memang disediakan  oleh panitia untuk acara ramah tamah.
Aku masuk ke golongan yang asyik sendiri, ah lebih tepatnya mungkin  asyik dengan diri sendiri. Aku sulut batang rokok dan menikmati kopi di sudut dekat pintu keluar. Melamun, hanya itu yang kulakukan sambil menatap pohon kamboja yang tumbuh rindang di teras gedung itu. Hampir dua puluh menit lamunanku menjalar, tiba-tiba dua anak muda datang menyapaku. Dari perawakan mereka dan tas kucel serta jeans lusuh dapat dilihat bahwa mereka mungkin adalah mahasiswa.
“Selamat sore bung!” sapa mereka.
“Ya, selamat sore, mari duduk.” Kataku sambil menggeser pantatku untuk memberi tempat pada sebagian dari mereka.
“Diskusi tadi menarik ya, pembicaranya pun sangat hebat dalam memaparkan pemikiran Marx.” Kata salah seorang dari mereka, yang akhirnya kuketahui bernama Andi.
“Benar, bagiku pemikiran Marx itu sangat penting bahkan sampai saat ini. Ya kalau pun ada beberapa penerapan yang tidak relevan, tidak perlulah kita membuang semua pemikirannya. Jangan membuang air mandi bayi beserta bayi-bayinya.” Kata Marto sahabatnya yang mengenakan kemeja flannel hijau. Nampaknya, ia membaca buku karya Franz Magnis Suseno karena kalimat yang ia sampaikan memang berasal dari rohaniwan tua yang juga filsuf itu.
Aku menyimaknya. Menyimak perkataan mereka dan juga lelucon khas dua pemuda itu. Sesekali kulemparkan senyum pada mereka, ya hanya sesekali. Aku lebih asyik dengan rokok dan kopi di kedua tanganku, meski tak bisa kurintangi suara-suara mereka masuk ke kupingku. Melihat aku asyik sendiri, mungkin mereka agak jengah juga. Lalu mulai mengajakku ke dalam lingkaran pembicaraan mereka. Dengan kata-kata standar perkawanan dadakan mereka bertanya “bagaimana pendapat bung?”, atau “menurut bung, bagaimana seharusnya itu ditafsirkan dalam konteks keindonesiaan?”. Tentu saja ada sebagian yang kujawab dengan argumen ringan dan sisanya kujawab “tidak tahu”.
Aneh juga mendengar mereka tertarik untuk menanyakan ini-itu padaku. Mungkin karena usiaku lebih tua dan penampilanku sama lusuhnya dengan mereka. Mungkin kelusuhan memberikan stigma yang sama dalam kondisi seperti ini. Orang lusuh di acara launching buku kiri adalah aktivis marxis. Mungkin ada benarnya mengingat beberapa aktivis yang masih “miskin” masih menggilai mode demikian. Tetapi tentu saja pendapat tersebut tidak tepat untuk para aktivis lain yang sudah mulai dikenal publik dan gemar berdiskusi di kedai-kedai kopi mewah. Singkatnya setiap jawaban yang keluar dari mulutku begitu diperhatikan oleh mereka. Sementara untuk jawaban yang kujawab “tidak tahu” mereka anggap sebagai kerendahan hati.
Namun aku senang dengan pemikiran mereka yang bebas merdeka. Kadang aku bahkan iri karena mereka belum memikirkan bagaimana orang-orang seperti aku ini bergulat untuk mendapatkan makan bagi keluarga, menyekolahkan anak yang nantinya akan tumbuh seperti mereka. Mereka juga tidak perlu risau seperti aku saat tetangga mengetuk pintu menagih hutang atau bagaimana memutar otak mencari-cari alasan saat kepergok di dalam gang sempit dengan tetangga yang kuhutangi minggu lalu itu. Mereka juga tidak perlu mencari tutur kata logis dan meyakinkan agar pemilik warung percaya bahwa aku akan mendapat uang besok dan ia merelakan berasnya beberapa liter untuk aku dan keluargaku.
Sesekali memang aku “melacur” menuliskan makalah-makalah untuk para aktivis super sibuk atau untuk mahasiswa yang tidak punya waktu menulis karena harus menyelesaikan level akhir dalam permainan game online. Ya dari situ cukuplah kiranya untuk menyambung hidup tiga sampai empat  hari. Saat ini, ketika anak-anak muda itu dengan semangat membara berkata-kata soal kemiskinan dan penindasan, apa yang dapat kukatakan? Bukankah aku pun masih bergelut dengan hal itu. Sepertinya kemiskinan dan penindasan mencintai aku tanpa perduli apakah aku membalas cintanya atau tidak. “Wejangan” apa yang bisa aku lontarkan bagi mereka? Bukankah melawan sistem tidak semudah menulis ribuan halaman buku-buku tentang bagaimana meraih kesuksesan hidup? Terlebih, saat tadi sang penulis yang mengklaim diri sebagai marxisme  memaparkan inti dari bukunya yang revolusioner itu, aku bahkan tidak dapat memikirkan untuk berpikir apakah bisa kupakai argumen-argumennya sebagai landasan epistemik berhutang di warung dekat rumahku? Ah, Hidup tidak sebatas memahami suatu teks dan melancarkan kritik atau pujian pada teks tersebut. Tidak, hidup adalah seni mempertahankan orang-orang yang kita cintai, yang ingin kita hidupi dan yang kita inginkan hidup bersama-sama dengan  kita.
Melihat, tatapanku yang tertuju ke arahnya, Marto pemuda berflanel hijau itu bertanya.
“Bung, bung itu marxisme aliran mana? Neomarxis, leninnis atau maois?” Tanyanya sembari senyum bersahabat. Mungkin ia tidak mau membuat orang seusiaku tersinggung dengan pertanyaannya, atau mungkin ia memang senang tersenyum karena ia memang ramah.
Tentu saja aku tidak terlalu yakin akan jawaban apa yang bisa kukeluarkan dari mulutku. Pertanyaan ini mungkin “remeh-temeh” bagi sebagian orang meski bagi sebagian lagi mungkin pertanyaan ini begitu serius karena menyangkut ideologi dan cara mengimplementasian ideologi tersebut. Namun bagiku, pertanyaan ini sungguh sulit untuk dijawab bukan karena kedua hal tersebut melainkan karena aku sendiri tidak tahu aku di posisi mana. Terlebih aku juga tidak mengerti benar apa yang ada di balik ideologi-ideologi tersebut. Yang aku tahu, semua ideologi, baik itu kiri atau kanan memiliki pijakan yang sama dan janji yang sama pula, yaitu membawa manusia pada kesejahteraannya.
Tetapi ia menunggu jawaban. Ia dan kawan-kawannya memperhatikan dengan seksama pergerakan bibirku. Aku harus menjawab.
“Apakah seorang marxis, entah itu neomarxis, leninis, maois boleh menggemari The Beatles dan Elvis Presley?” Jawabku dengan pertanyaan.
“Ah, bung ini bercanda. Bung lupa, bahkan Soekarno pun menganggap musik-musik mereka itu sebagai produk kapitalis. Mereka itu digunakan untuk menjajah kebudayaan bung. Jika kebudayaan sudah dikalahkan dan kepribadian bangsa sudah hancur, maka tingkat selanjutnya untuk menjajah secara ideologis akan sangat mudah.” Andi mengomentari pertanyaanku.
“Pertanyaan bung itu terkesan… Maaf bung, tapi saya harus mengatakan kalau bung tidak konsisten dengan perjuangan kelas” Marto menimpali pendapat kawannya.
Aku terdiam, mungkin mereka benar bahwa aku tidak memiliki konsistensi layaknya seorang pejuang. Bukankah Che Guevara mengatakan bahwa di dalam revolusi yang ada hanyalah pemenang dan orang mati saja. Mungkin aku bukan termasuk yang revolusioner itu, tetapi toh aku juga tidak mau mati. Tidak, tidak ada yang benar-benar siap menerima kematian meski pun agama memberikan janji-janji surgawi di balik semua kisah kematian. Lagi pula, sejak kita kecil, bukankah manusia-manusia dewasa tidak pernah memberikan pelajaran bagi anak-anaknya guna mempersiapkan diri menghadapi kematian? Tidak, bahkan di bangku sekolah pun tidak pernah ada pembicaraan macam itu. Manusia diajarkan cara untuk hidup dan bagaimana menjadi pemenang di dalam kehidupan ini.
“Jika memang demikian, mungkin aku hanyalah anak punk.” Kataku, dan mereka pun tertawa.
“Ah, bung ini selera humornya tinggi juga ya.” Sambut Marto di tengah-tengah tawanya.
“Ya, bukankah punk itu berontak dari rock and roll resmi. Menjadi musuh dari mainstream musik cadas. Bukankah para mafia di film-film Hollywood mengatakan jika musuh dari musuhmu adalah kawan? Dengan begitu, punk itu revolusioner.” Jawabku menimpali tawa mereka. Dan mereka pun semakin terbahak mendengarnya.
Ah, masih banyak relung kehidupan yang harus kita telusuri. Melihat para pemuda yang begitu bersemangat memperjuangkan ide-ide mereka tentu memberikan cita rasa tersendiri bagi orang seusiaku. Kenanganku kini hadir menyandera diriku. Dahulu aku pun seperti mereka, ya seperti itulah  kiranya setiap pemuda di zamannya. Dan aku tertegun… Siapakah yang menghancurkan impian indah para pemuda dan menggantikannya dengan mimpi buruk di usia dewasa. Sebagian menganggap mimpi buruk sebagai realitas dan membangunnya menjadi lebih buruk lagi. Sementara sebagian lain asyik masyuk dengan nostalgia kenangan masa muda yang revolusioner dan enggan terjaga untuk mewujudkan impiannya.
Hari sudah hendak menutup dirinya. Kini saatnya pulang dan bersiap untuk mimpi di malam hari…

Senin, 18 Februari 2013

Lucifer's Pain (sebuah cerpen)

Hari itu semua mata tertuju padaku. Suatu hari yang takkan pernah kulupakan. Ia berdiri di hadapanku dan matanya menatap tajam ke arah mataku. Aku tahu Ia marah. Saat itu tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati kami. Mereka menatap dari kejauhan tanpa berani besuara. Hanya kami berdua berhadap-hadapan. Ia lalu memelukku dengan erat sekali. Pelukan bagi seorang sahabat yang sangat dikasihinya.

“Mengapa?” tanyaNya lembut. “Mengapa kau lakukan ini terhadapKu?”
Aku diam. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepadaNya.

Sekian lama kami bersahabat, jauh sebelum semuanya ada. Kami hanya berdua saja kala semua ini bermulai. Kemudian Ia mulai menciptakan segala sesuatu sesuai dengan rancangannya. Aku pun mendukungNya saat itu dan turut membantu menyelesaikan maha karya yang tak terkira itu. Namun kemudian aku mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak Ia penuhi atau berikan pada sebuah maha karya yang ajaib itu. Mereka tidak memiliki kemandirian. Mereka hanya ada untuk menyenangkanNya. Kemudian aku mulai berusaha untuk membantu. Kukatakan membantu karena manusia merupakan karya terbaikNya dan dibuat sesuai dengan setiap detail apa yang diinginkanNya. Aku ingin mereka mandiri. Memiliki akal dan budi sehingga dapat melangsungkan kehidupan dengan lebih baik dari pada hanya sekedar tunduk padaNya tanpa tahu mengapa harus tunduk.

Aku tak dapat menahan lagi. Kala salah satu dari mereka sedang berjalan-jalan sendiri, kuberikan ia cara untuk menjadi tahu. Selama ini kitab-kitab menuliskan bahwa aku menghasutnya. Itu adalah kekeliruan besar. Aku tidak menghasutnya. Menghasut adalah kata yang salah untuk ku karena aku menginginkan yang terbaik untuk mereka. Kukatakan bahwa ia dapat menjadi sepertinya, berpengetahuan dan sanggup membedakan mana yang baik dan tidak. Mereka akan menjadi otonom dan bertanggung jawab. Salahkah aku membuat mereka menjadi mengerti?

“Kau telah menghianati aku”
“Tidak” jawabku. “Aku mencintaiMu”
“Mengapa kau menghianatiku?”
“Tidak sekalipun aku pernah mau menghianatiMu. Aku hanya menginginkan mereka untuk mengerti. Tidakkah Kau mau mereka juga mengerti mengenai segala hal? Paham akan apa yang terjadi di sekitar mereka? Apa salahku mengajak mereka untuk tahu?”
“Pengetahuan yang kau bawa adalah kejahatan terselubung”
“Ya, tetapi ketaatan mereka hanyalah kebodohan yang bernasib sial.” Jawabku

Kami terdiam sesaat. Dari ujung mataku kulihat Gabriel tertunduk. Ia adalah pesuruh. Ia yang menyampaikan apa-apa saja yang perlu untuk disampaikan kepada mereka. Aku merasakan pelukannya melemah dan akhirnya ia mendorongku.
“Pergilah kau” katanya. “Aku tak mau kau ada di sini lagi. Pergilah dan jangan pernah kembali ke sini.”
Dapatkah kalian merasakan apa yang kurasakan saat itu. Saat seorang sahabat tak lagi mau bersahabat. Ia telah menghancurkan hatiku. Ia merobek-robek sukmaku. Ia lalu berpaling. Ku tahu bahwa Ia sedih telah mengatakan demikian. Ia sedih karena akan kehilangan diriku. Aku adalah sahabatnya, satu-satunya yang dipercayaiNya dan kini Ia memintaku untuk pergi dari hadapanNya.
Aku tertunduk, namun sebelum aku menjauhiNya aku berkata “Aku tetap mencintaiMu sahabat. Aku akan selalu mencintaiMu.” Lalu aku berlalu menjauh dari diriNya. Menjauh dari seorang sahabat yang begitu kukasihi. Menjauh dengan hati yang terkoyak-koyak dan kepedihan yang tak akan pernah kalian rasakan. Kala aku melangkah, aku berjanji pada hatiku untuk selalu menolongnya, menolong manusia agar memperoleh pengetahuan dan menjadi dewasa.


I


Saat ini, ku terdiam seorang diri. Mengapa begitu sepi hidupku? Mungkinkah kutukNya abadi? Jika begitu, maka sepi adalah keniscayaan yang harus kuhidupi sepanjang zaman.
Zaman ini, aku merupakan seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi bergengsi. Rasanya aneh, aku telah menjadi tabib di abad-abad yang lalu, menjadi pemikir di abad tertentu, menjadi seniman, pendeta, rahib, ilmuan dan kini harus menjadi mahasiswa. Namun itulah aku. Mereka tidak boleh mengenal aku karena mereka akan menghancurkan aku jika mereka mengetahuinya. Kitab-kitab itu telah membuatku tidak dapat menjadi diriku sendiri. Mereka bahkan membuat gambaran yang sangat menyedihkan untuk diriku. Aku digambarkan sebagai mahluk berwajah merah, bertanduk dan buruk rupa. Gambaran tersebut lebih tepat untuk monster dan bukan diriku. Kadang aku heran dari mana datangnya gambaran diriku yang seperti itu. Adakah kalian pernah berpikir, sebagai seorang panglima tertinggi waktu itu, aku memiliki rupa yang demikian. Kalian menggambarkan Gabriel, Mikhael dengan wajah yang anggun. Aku adalah atasan mereka dan tampangku kalian buat lebih buruk dari seekor binatang. Keterlaluan, benar-benar keterlaluan. Ah, biarlah mereka yang percaya aku demikian tetap mempercayainya, tetapi bagi mereka yang bertanya-tanya, hendaklah berpikir mengenai gambaran yang salah tersebut. Kini sebagai seorang mahasiswa aku cukup puas dengan bentuk tubuh yang kuingini. Sebagai mahasiswa aku dapat menjadi begitu kreatif tanpa harus takut jika adaku terbongkar.
Tahukah kalian bahwa kreativitas merupakan hal yang penting bagi kita? Seorang mahasiswa merupakan sebuah peran di mana kreativitas menjadi hal yang dimaklumi. Orang-orang selalu beranggapan bahwa orang yang sudah mapan tidak lagi membutuhkan kreativitas. Mereka hanya perlu mengikuti apa yang ada dan mereka ciptakan di masa muda. Bah!! bagiku hal tersebut merupakan kebodohan yang paling bodoh dari umat manusia. Dunia ini diciptakan dengan kreativitas yang tinggi dariNya dan kalian telah mewarisi kreativitas tersebut. Akulah yang membukakan mata nenek moyang kalian. Menjadi seorang mahasiswa begitu menyenangkan. Kita dapat berpikir sebebas-bebasnya dan tak takut dengan belenggu apapun. Itulah diriku, itulah jiwaku. Sebuah diri yang dipenuhi semangat yang tak pernah habis dari zaman ke zaman. Revolusi, revolusi adalah keniscayaan yang harus ditempuh bagi dunia ini. Tanpa revolusi tak akan pernah ada apa-apa.
Mereka tak pernah tahu bahwa akulah yang menginspirasikan setiap perubahan di setiap bidang. Apa itu perubahan? Tidak lain adalah suatu cara untuk memperbaiki keadaan. Setiap revolusi suatu saat akan menjadi baku dan beku. Oleh karena itu revolusi tidak boleh dan tidak akan pernah berhenti sehingga segala sesuatu terus berjalan. Revolusi yang telah berjalan harus ditutup dengan revolusi yang kemudian. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Ku ingat ketika dunia ini baru berjalan, ketika mereka baru belajar untuk tahu, mereka begitu rentan tehadap hal-hal yang ada di sekelilingnya. Dahulu para penulis kitab mengatakan takut akan Dia merupakan awal dari pengetahuan. Sebenarnya kesakitan dan penderitaan adalah permulaan dari pengetahuan. Saat mereka terlempar ke luar dari kenyamanan bersamaNya. Di saat terlempar itulah mereka mulai mencari kemungkinan-kemungkinan untuk tetap hidup. Aku, saat itu, tidak tinggal diam. Aku mengurus mereka, membantu mereka untuk memecahkan permasalahan yang ada. Mereka mulai menggunakan hewan-hewan untuk membantu mereka mengerjakan alam ini. Aku juga membantu mereka dalam memahami, memahami pengetahuan. Mereka mulai tahu beranak-pinak, bersahabat dengan alam dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun demikian, sahabatku berpandangan lain. Ia tak mengizinkan mereka untuk mengetahui secara tuntas. Mereka tidak diberi waktu karena mereka harus mati. Ya kematian merupakan suatu hambatan untuk mengetahui segala hal. Dari situ maka manusia harus berlomba dengan waktu, dengan masa depannya yaitu kematian, untuk meraup pengetahuan. Dapatkah kalian bayangkan betapa pedih hatiku melihat mereka yang bersemangat untuk tahu harus berhenti ketika kematian tiba. Kadang kematian tidak lagi memandang. Ia laksana batu yang dapat menimpa apa pun di bawahnya. Ia bahkan dapat menjemput seorang anak kecil yang bakat-bakatnya pun belum lagi nampak. Tahu kah kalian bahwa anak-anak yang direngut oleh kematian pada dasarnya merupakan anak-anak yang akan menjadi begitu jenius di usia yang matang. Aku tak dapat berbuat apa-apa bagi mereka. Aku tak dapat menyelamatkan mereka dari kematian.
Karena adanya kematian itu, maka seperti yang kukatakan tadi, revolusi menjadi keniscayaan. Manusia harus berevolusi agar evolusi kesadaran dimungkinkan. Tanpa itu mereka tak ada bedanya dengan hewan yang hanya menyerahkan diri pada takdir belaka.
Manusia mengerti. Ya, mereka mengerti bagaimana harus menghidupi diri. Namun mereka belum cukup untuk mengenali diri. Mengenali setiap potensi yang terdapat pada diri mereka. Mereka harus terus menggalinya dan untuk itulah maka aku ada. Aku adalah keabadian yang akan selalu membangkitkan kreativitas yang mereka miliki. Kreativitas yang berasal dari padaNya. Kalian pikir menjadi seperti apakah secitra dengannya? Ku katakan sekarang, menjadi secitra denganNya adalah menjadi sekreatif diriNya. Ia begitu kreatif. Lihatlah segala yang ada di sekeliling dunia. Lihatlah warna hijau. Dapatkah kalian hitung ada berapa macam warna hijau yang terdapat pada setiap daun? Lihatlah! Untuk satu warna saja Ia telah menciptakan ribuan variasi apa lagi terhadap hal-hal lain yang Ia ciptakan. Ia adalah seniman agung dan aku adalah sahabatNya dan sekaligus pemuja setiap karyaNya.
Tentu kalian tak akan mengerti mengapa aku begitu memujaNya setelah Ia mengusirku. Yang dapat kukatakan adalah Ia sahabatku dan aku selalu merindukan diriNya. Aku tidak pernah memendam apapun terhadapNya dan Ia pun begitu pula. Aku tahu Ia mengetahui apa yang kukerjakan. Apa yang aku lakukan hanyalah membantuNya. Terkutuklah mereka yang menganggap aku penyesat, sumber segala bencana dan penyebab kematian. Aku tidak inginkan itu semua terjadi pada kalian. Aku ingin kalian mandiri, bahagia dan abadi. Aku tidak pernah menginginkan kematian kalian. Mereka berbohong, mereka para penulis kitab itu berbohong. Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Dia. Mereka hanya mereka-reka saja dan aku menjadi korbannya.


***** ** ******* *******
Pada masa lalu, ketika peperangan tiap suku bangsa terjadi di mana-mana, aku hadir di situ. Aku tahu sahabatku tak menyukainya. Ia terlalu cinta pada manusia dan aku tahu betapa sedihnya Ia menyaksikan mereka bertikai dan saling bunuh. Kalian pasti berpikir aku ada di sana untuk menghasut mereka membunuh. Tidak! Ku katakan aku tidak menghasut mereka. Aku justru berusaha untuk menghentikan mereka. Ya, menghentikan mereka karena sahabatku tak menyukai hal tersebut. Ku kira kalian adalah mahluk paling aneh yang pernah ada. Kalian tidak pernah menyadari kesempurnaan kalian di banding dengan mahluk-mahluk lain. Dalam setiap pertikaian dan peperangan kalian selalu berpikir bahwa Ia ada di pihak kalian. Tahukah kalian bahwa hal tersebut merupakan hal terlucu yang pernah ada. Kalian meminta pada Dia yang sama? Kalian saling meminta kemenangan dan yakin bahwa Ia akan memihak kalian. Kukatakan sekarang: Ia tak pernah berpihak pada hal-hal tersebut. Ia tak pernah mau memenangkan yang satu dan mengorbankan yang lain. Bagaimana mungkin untuk satu orang atau kelompok Ia mengorbankan manusia ciptaannya yang lain, yang begitu dikasihinya?
Pada siapakah sebenarnya mereka berdoa? Kukatakan pada kalian bahwa mereka tidak berdoa kepada siapa-siapa, apalagi kepada Dia. Dia tidak pernah mendengarkan doa-doa semacam itu. Dia tahu tapi tak mau mendengarkan. Yang aku tahu dari semua permohonan-permohonan kalian untuk mendapatkan kemenangan hanyalah berita sedih bagiNya. Bagaimana mungkin Ia menolong kalian dan mencelakakan yang lain? Pikirkanlah!
Mereka menuduhku bahwa penyebab segala pertikaian, peperangan dan pembunuhan adalah aku. Akulah penyebab semua ini. Akulah yang mengakibatkan manusia memiliki ambisi buta, keinginan untuk saling mengungguli, keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk memasyurkan diri. Tidak! Keinginan-keinginan itu adalah milik kalian dan itu adalah alam kalian. Kuberi tahu satu hal, kalian sebenarnya dapat lepas dari keinginan kalian tersebut jika kalian mau belajar. Mau belajar menjadi seperti diriNya. Ia penuh dengan kasih dan mengerti diri. Yang kumaksud dengan mengerti diri adalah ia begitu tahu apa-yang perlu dan benar-benar perlu bagi diriNya. Ia tahu sifat-sifatnya dan segala potensi yang ada bagi diriNya. Jika kalian mampu belajar untuk memahami diri seperti Dia dan mampu mengembangkan kasih, maka kalian akan hidup dengan lebih baik. Mengertilah apa-apa saja yang dapat menyulut pertikaian di antara kalian dengan begitu kalian akan memahami bahwa pertikaian itu tidak perlu. Pengetahuan yang kuberikan pada kalian sebenarnya memampukan hal tersebut, namun kalian dibutakan oleh apa yang kalian sebut jati diri. Kalian saling ingin menegaskan diri masing-masing.

***** ** ******* *******

Kini kalian akan bertanya, bagaimana aku hadir di dunia ini? Bagaimana aku berperan pada kehidupan ini? Aku ada dari tiap generasi ke generasi. Aku menjadi seperti kalian. Hidup dalam kefanaan. Kalian pikir di mana aku akan hidup setelah ia mengusirku? Aku di sini bersama-sama dengan kalian. Aku tidak akan pernah pergi meninggalkan kalian karena aku telah membuka pintu pengetahuan bagi kalian dan aku bertanggungjawab atas apa yang telah kuberikan.
Aku hidup dalam tubuh fana namun jiwaku mengembara di dalam diri kalian. Aku memberi pengertian. Ahh ....... lebih tepatnya melengkapi pengertian kalian. Ia telah memberikan pengertian dan aku pun berbuat hal yang sama. Jika kalian mengerti, itulah sebabnya ada begitu banyak pengertian yang berbeda-beda yang dipahami oleh manusia. Tidak ada satupun yang tidak baik. Kukatakan sekali lagi bahwa tidak ada yang tidak baik yang kami berikan pada kalian, hanya saja kalian belum mau mengerti apa yang kalian benar-benar inginkan sehingga dapat timbul kekacauan dan pertikaian. Kenalilah dulu diri. Kalian adalah nada-nada yang otonom dari sebuah orkes. Bunyi-bunyi yang berbeda. Do bukanlah Re dan Mi bukan Fa. Namun jika kalian tahu kapan harus berbunyi dan dengan siapa kalian dapat berpadu dengan harmonis, maka kalian dapat hidup dengan begitu indah. Tidakkah kalian mengerti ungkapan ‘Carilah dulu kerajaanNya, maka semuanya akan dilimpahkan kepadamu’? kerajaanNya ada di dalam mu. Jika engkau mengerti siapa kalian dan apa yang benar-benar baik maka semua hal di luar kalian akan dapat dimengerti.

Aku ada untuk kerajaanNya. Tak dapat kusangkal bahwa aku ikut berperan di dalamnya dan seperti janjiku dahulu, aku akan selalu membantuNya untuk mewujudkan kerajaanNya. Suatu waktu di masa yang lalu, aku sempat bertemu denganNya. Ia hadir dalam rupa manusia. Pertama-tama aku memang tidak mengenalinya sampai ketika ia berada di padang gurun. Para penulis kitab mengatakan bahwa aku mencobai Dia di sana, tetapi yang benar bukan demikian. Pertemuan di gurun tersebut merupakan sebuah perjumpaan antar sahabat yang telah lama tak bertemu. Semula aku tidak yakin apakah itu adalah Dia, sahabat lamaku. Aku harus mengetahuinya dengan lebih jelas jika Ia benar-benar sahabatku. Ia nampak seperti manusia biasa. Ia tersenyum, bercanda atau seringkali bergunjing dengan para temanNya. Namun ada yang lain dari diriNya. Tatap mata yang tak akan pernah kulupa saat terakhir kali kami saling tatap.

Aku bertanya akankah dia mau menyerahkan kekhawatiranNya dengan mementingkan diriNya sendiri? Ia katakan tidak. Ia tidak memerlukan makanan duniawi untuk mengenyangkan diriNya. Dari situ aku tahu mengenai ketetapan hatiNya yang teguh. Lalu aku bertanya lagi apakah Ia sanggup menyelamatkan diriNya jika Ia benar adalah Dia. Ia tersenyum dan berkata bahwa aku tidak perlu meragukan apa yang benar-benar dapat dilakukanNya.
“Mengapa kau bertanya seolah-olah kau tidak mengenaliku?” BisikNya. “Apakah kau ragu tentang Aku? Ini adalah Aku.” Lanjutnya sambil mengores-goreskan kayu yang dipegangnya pada pasir yang mengeliling diriNya.

“Jika Engkau benar-benar Dia, apa yang Kau lakukan di sini? Tidakkah Engkau dapat melihatnya dari sana? Atau....kini Engkau sadar bahwa apa yang dahulu kulakukan hanyalah ingin membantuMu? Lihatlah kini, mereka sudah banyak belajar dari kehidupan. Ya..walaupun masih harus belajar lagi, tetapi mereka telah belajar untuk hidup. Maukah Kau bergabung denganku untuk mewujudkan apa yang dahulu pernah kulakukan?.”

“Tidak” jawabnya. “Bukan untuk itu Aku datang. Tidakkah kau lihat bahwa apa yang telah kau lakukan memakan begitu banyak korban? Kau selalu mengatakan soal diri otonom, lihatlah. Tidak akan pernah hal demikian menjadikan mereka baik. Otonomi diri merupakan ilusi dan keangkuhan diri. Mereka saling bunuh hanya atas nama otonomi diri, otonomi bangsa, otonomi daerah. Otonomi adalah penegasan diri yang semena-mena. Tidakkah kau mengerti hal itu?

“Tetapi itu hanya tahap di mana mereka belajar. Itu hanya bagian dari sebuah proses yang berlangsung. Mereka akan belajar dari situ dan suatu saat mereka akan mengerti bahwa hal-hal seperti itu sebenarnya tidak perlu. Bantulah aku untuk mewujudkan hal tersebut jika engkau benar-benar mampu.”

“Tidak! Jika engkau benar-benar yakin akan apa yang kau lakukan, lakukanlah. Namun Aku tidak akan bertindak demikian. Aku memiliki caraKu sendiri untuk membuat mereka mengerti.”

“Apa itu?”

“Cinta kasih yang akan membuat mereka mengerti dan bukan otonomi!” katanya sambil memberikan senyumNya.

Ya itu adalah Dia. Aku yakin bahwa itu adalah diriNya. Cinta kasih merupakan hal yang penting bagi diriNya dan bagi apa yang berasal dari diriNya. Setelah sekian lama ia tidak pernah berubah untuk mengasihi. Untuk mengasihi itulah Ia datang. Tetapi mereka tidak mengerti apa itu cinta kasih. Ia akhirnya mati dibunuh. Ia mati secara fisik, namun mereka tidak dapat benar-benar membunuhNya. Ia adalah sang abadi itu sendiri.
Saat Ia akan kembali ke sana, beberapa hari setelah kematianNya, aku berjumpa lagi denganNya.

“Lihatlah, mereka belum mengerti apa itu cinta kasih.” Kataku kepadaNya.
Mereka membunuhMu, tetapi ku katakan padaMu bahwa itu hanyalah bagian dari proses pembelajaran mereka. Mereka akan mengerti nantinya bahwa apa yang mereka lakukan padamu adalah kesalahan. Ah.., bukan mereka melainkan anak cucu mereka yang akan mengerti hal tersebut.”

Ia tersenyum, lalu dari balik senyumNya Ia berkata:
“Bukan untuk itu kawan, kematianKu bukan untuk suatu pembelajaran akan kebebasan atau otonomi diri. Lewat kematianKu Aku ingin mereka tahu bahwa dengan cinta kasih Aku rela menanggung apa yang tidak pantas bagi diriKu. Bahkan kematianpun bukan apa-apa jika ada cinta kasih. Dan Aku ingin mereka bertindak demikian.”

Tidakkah Ia mengerti bahwa dengan cinta kasih saja mereka belum mampu menanggung beban? Mereka tidak paham. Mereka menginginkan makanan duniawi, mereka butuh sesuatu yang tampak dan nyata untuk menenangkan diri sementara Ia hadir dengan menawarkan makanan rohani dan janji-janji yang tidak akan terdapat di dunia ini. Ya, janji-janjinya hanya akan terwujud di dunianya dan itu pun nanti. Jika semua ini berakhir dan bukan sekarang. Mereka butuh kekinian dan bukan nanti. Mewujudkan apa yang dia inginkan terjadi di sini seperti menginginkan sesuatu dari ketiadaan. Apa yang dapat kita diharapkan dari ketiadaan?