Seusai
acara launching buku seorang penulis baru
yang mengklaim sebagai penganut marxisme, suasana riuh. Beberapa orang berupaya
mengejar penulis untuk sekedar meminta bukunya ditandatangani dan sebagian mencoba
menyapa penulis untuk menunjukan pada tamu lain bahwa mereka adalah teman atau
orang yang memiliki relasi langsung dengan penulis. Ya untuk sekedar pamer
bahwa mereka itu juga orang-orang cerdas, berpengetahuan dan yang sangat
penting tahu banyak soal marxisme. Sementara pengunjung yang lain, tidak
perduli dan asyik dengan obrolan mereka sendiri tentang kampus, pacar, macet,
banjir, atau bahkan lelucon konyol. Mereka juga larut menikmati satu atau dua
gelas kopi dan kue-kue yang memang disediakan
oleh panitia untuk acara ramah tamah.
Aku
masuk ke golongan yang asyik sendiri, ah lebih tepatnya mungkin asyik dengan diri sendiri. Aku sulut batang
rokok dan menikmati kopi di sudut dekat pintu keluar. Melamun, hanya itu yang
kulakukan sambil menatap pohon kamboja yang tumbuh rindang di teras gedung itu.
Hampir dua puluh menit lamunanku menjalar, tiba-tiba dua anak muda datang
menyapaku. Dari perawakan mereka dan tas kucel serta jeans lusuh dapat dilihat bahwa mereka mungkin adalah mahasiswa.
“Selamat
sore bung!” sapa mereka.
“Ya,
selamat sore, mari duduk.” Kataku sambil menggeser pantatku untuk memberi
tempat pada sebagian dari mereka.
“Diskusi
tadi menarik ya, pembicaranya pun sangat hebat dalam memaparkan pemikiran
Marx.” Kata salah seorang dari mereka, yang akhirnya kuketahui bernama Andi.
“Benar,
bagiku pemikiran Marx itu sangat penting bahkan sampai saat ini. Ya kalau pun
ada beberapa penerapan yang tidak relevan, tidak perlulah kita membuang semua
pemikirannya. Jangan membuang air mandi bayi beserta bayi-bayinya.” Kata Marto
sahabatnya yang mengenakan kemeja flannel hijau. Nampaknya, ia membaca buku
karya Franz Magnis Suseno karena kalimat yang ia sampaikan memang berasal dari
rohaniwan tua yang juga filsuf itu.
Aku
menyimaknya. Menyimak perkataan mereka dan juga lelucon khas dua pemuda itu.
Sesekali kulemparkan senyum pada mereka, ya hanya sesekali. Aku lebih asyik
dengan rokok dan kopi di kedua tanganku, meski tak bisa kurintangi suara-suara
mereka masuk ke kupingku. Melihat aku asyik sendiri, mungkin mereka agak jengah juga. Lalu mulai mengajakku ke
dalam lingkaran pembicaraan mereka. Dengan kata-kata standar perkawanan dadakan mereka bertanya “bagaimana
pendapat bung?”, atau “menurut bung, bagaimana seharusnya itu ditafsirkan dalam
konteks keindonesiaan?”. Tentu saja ada sebagian yang kujawab dengan argumen
ringan dan sisanya kujawab “tidak tahu”.
Aneh
juga mendengar mereka tertarik untuk menanyakan ini-itu padaku. Mungkin karena
usiaku lebih tua dan penampilanku sama lusuhnya dengan mereka. Mungkin
kelusuhan memberikan stigma yang sama dalam kondisi seperti ini. Orang lusuh di
acara launching buku kiri adalah aktivis
marxis. Mungkin ada benarnya mengingat beberapa aktivis yang masih “miskin”
masih menggilai mode demikian. Tetapi tentu saja pendapat tersebut tidak tepat
untuk para aktivis lain yang sudah mulai dikenal publik dan gemar berdiskusi di
kedai-kedai kopi mewah. Singkatnya setiap jawaban yang keluar dari mulutku
begitu diperhatikan oleh mereka. Sementara untuk jawaban yang kujawab “tidak
tahu” mereka anggap sebagai kerendahan hati.
Namun
aku senang dengan pemikiran mereka yang bebas merdeka. Kadang aku bahkan iri
karena mereka belum memikirkan bagaimana orang-orang seperti aku ini bergulat
untuk mendapatkan makan bagi keluarga, menyekolahkan anak yang nantinya akan
tumbuh seperti mereka. Mereka juga tidak perlu risau seperti aku saat tetangga
mengetuk pintu menagih hutang atau bagaimana memutar otak mencari-cari alasan
saat kepergok di dalam gang sempit
dengan tetangga yang kuhutangi minggu lalu itu. Mereka juga tidak perlu mencari
tutur kata logis dan meyakinkan agar pemilik warung percaya bahwa aku akan
mendapat uang besok dan ia merelakan berasnya beberapa liter untuk aku dan
keluargaku.
Sesekali
memang aku “melacur” menuliskan makalah-makalah untuk para aktivis super sibuk
atau untuk mahasiswa yang tidak punya waktu menulis karena harus menyelesaikan level akhir dalam permainan game online. Ya dari situ cukuplah
kiranya untuk menyambung hidup tiga sampai empat hari. Saat ini, ketika anak-anak muda itu
dengan semangat membara berkata-kata soal kemiskinan dan penindasan, apa yang
dapat kukatakan? Bukankah aku pun masih bergelut dengan hal itu. Sepertinya
kemiskinan dan penindasan mencintai aku tanpa perduli apakah aku membalas cintanya
atau tidak. “Wejangan” apa yang bisa aku lontarkan bagi mereka? Bukankah
melawan sistem tidak semudah menulis ribuan halaman buku-buku tentang bagaimana
meraih kesuksesan hidup? Terlebih, saat tadi sang penulis yang mengklaim diri
sebagai marxisme memaparkan inti dari bukunya yang revolusioner itu,
aku bahkan tidak dapat memikirkan untuk berpikir apakah bisa kupakai
argumen-argumennya sebagai landasan epistemik berhutang di warung dekat
rumahku? Ah, Hidup tidak sebatas memahami suatu teks dan melancarkan kritik
atau pujian pada teks tersebut. Tidak, hidup adalah seni mempertahankan
orang-orang yang kita cintai, yang ingin kita hidupi dan yang kita inginkan
hidup bersama-sama dengan kita.
Melihat,
tatapanku yang tertuju ke arahnya, Marto pemuda berflanel hijau itu bertanya.
“Bung,
bung itu marxisme aliran mana? Neomarxis, leninnis atau maois?” Tanyanya
sembari senyum bersahabat. Mungkin ia tidak mau membuat orang seusiaku
tersinggung dengan pertanyaannya, atau mungkin ia memang senang tersenyum
karena ia memang ramah.
Tentu
saja aku tidak terlalu yakin akan jawaban apa yang bisa kukeluarkan dari
mulutku. Pertanyaan ini mungkin “remeh-temeh” bagi sebagian orang meski bagi
sebagian lagi mungkin pertanyaan ini begitu serius karena menyangkut ideologi
dan cara mengimplementasian ideologi tersebut. Namun bagiku, pertanyaan ini
sungguh sulit untuk dijawab bukan karena kedua hal tersebut melainkan karena
aku sendiri tidak tahu aku di posisi mana. Terlebih aku juga tidak mengerti
benar apa yang ada di balik ideologi-ideologi tersebut. Yang aku tahu, semua
ideologi, baik itu kiri atau kanan memiliki pijakan yang sama dan janji yang
sama pula, yaitu membawa manusia pada kesejahteraannya.
Tetapi
ia menunggu jawaban. Ia dan kawan-kawannya memperhatikan dengan seksama
pergerakan bibirku. Aku harus menjawab.
“Apakah
seorang marxis, entah itu neomarxis, leninis, maois boleh menggemari The
Beatles dan Elvis Presley?” Jawabku
dengan pertanyaan.
“Ah,
bung ini bercanda. Bung lupa, bahkan Soekarno pun menganggap musik-musik mereka
itu sebagai produk kapitalis. Mereka itu digunakan untuk menjajah kebudayaan
bung. Jika kebudayaan sudah dikalahkan dan kepribadian bangsa sudah hancur,
maka tingkat selanjutnya untuk menjajah secara ideologis akan sangat mudah.”
Andi mengomentari pertanyaanku.
“Pertanyaan
bung itu terkesan… Maaf bung, tapi saya harus mengatakan kalau bung tidak
konsisten dengan perjuangan kelas” Marto menimpali pendapat kawannya.
Aku
terdiam, mungkin mereka benar bahwa aku tidak memiliki konsistensi layaknya
seorang pejuang. Bukankah Che Guevara mengatakan bahwa di dalam revolusi yang
ada hanyalah pemenang dan orang mati saja. Mungkin aku bukan termasuk yang
revolusioner itu, tetapi toh aku juga
tidak mau mati. Tidak, tidak ada yang benar-benar siap menerima kematian meski
pun agama memberikan janji-janji surgawi di balik semua kisah kematian. Lagi
pula, sejak kita kecil, bukankah manusia-manusia dewasa tidak pernah memberikan
pelajaran bagi anak-anaknya guna mempersiapkan diri menghadapi kematian? Tidak,
bahkan di bangku sekolah pun tidak pernah ada pembicaraan macam itu. Manusia
diajarkan cara untuk hidup dan bagaimana menjadi pemenang di dalam kehidupan
ini.
“Jika
memang demikian, mungkin aku hanyalah anak punk.”
Kataku, dan mereka pun tertawa.
“Ah,
bung ini selera humornya tinggi juga ya.” Sambut Marto di tengah-tengah
tawanya.
“Ya,
bukankah punk itu berontak dari rock and roll resmi. Menjadi musuh dari mainstream musik cadas. Bukankah para
mafia di film-film Hollywood mengatakan jika musuh dari musuhmu adalah kawan?
Dengan begitu, punk itu revolusioner.” Jawabku menimpali tawa mereka. Dan
mereka pun semakin terbahak mendengarnya.
Ah,
masih banyak relung kehidupan yang harus kita telusuri. Melihat para pemuda
yang begitu bersemangat memperjuangkan ide-ide mereka tentu memberikan cita
rasa tersendiri bagi orang seusiaku. Kenanganku kini hadir menyandera diriku.
Dahulu aku pun seperti mereka, ya seperti itulah kiranya setiap pemuda di zamannya. Dan aku
tertegun… Siapakah yang menghancurkan impian indah para pemuda dan
menggantikannya dengan mimpi buruk di usia dewasa. Sebagian menganggap mimpi
buruk sebagai realitas dan membangunnya menjadi lebih buruk lagi. Sementara
sebagian lain asyik masyuk dengan nostalgia kenangan masa muda yang
revolusioner dan enggan terjaga untuk mewujudkan impiannya.
Hari
sudah hendak menutup dirinya. Kini saatnya pulang dan bersiap untuk mimpi di
malam hari…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar