Translate

Selasa, 26 Februari 2013

Saatnya Pulang Untuk Mimpi di Malam Hari



Seusai acara launching buku seorang penulis baru yang mengklaim sebagai penganut marxisme, suasana riuh. Beberapa orang berupaya mengejar penulis untuk sekedar meminta bukunya ditandatangani dan sebagian mencoba menyapa penulis untuk menunjukan pada tamu lain bahwa mereka adalah teman atau orang yang memiliki relasi langsung dengan penulis. Ya untuk sekedar pamer bahwa mereka itu juga orang-orang cerdas, berpengetahuan dan yang sangat penting tahu banyak soal marxisme. Sementara pengunjung yang lain, tidak perduli dan asyik dengan obrolan mereka sendiri tentang kampus, pacar, macet, banjir, atau bahkan lelucon konyol. Mereka juga larut menikmati satu atau dua gelas kopi dan kue-kue yang memang disediakan  oleh panitia untuk acara ramah tamah.
Aku masuk ke golongan yang asyik sendiri, ah lebih tepatnya mungkin  asyik dengan diri sendiri. Aku sulut batang rokok dan menikmati kopi di sudut dekat pintu keluar. Melamun, hanya itu yang kulakukan sambil menatap pohon kamboja yang tumbuh rindang di teras gedung itu. Hampir dua puluh menit lamunanku menjalar, tiba-tiba dua anak muda datang menyapaku. Dari perawakan mereka dan tas kucel serta jeans lusuh dapat dilihat bahwa mereka mungkin adalah mahasiswa.
“Selamat sore bung!” sapa mereka.
“Ya, selamat sore, mari duduk.” Kataku sambil menggeser pantatku untuk memberi tempat pada sebagian dari mereka.
“Diskusi tadi menarik ya, pembicaranya pun sangat hebat dalam memaparkan pemikiran Marx.” Kata salah seorang dari mereka, yang akhirnya kuketahui bernama Andi.
“Benar, bagiku pemikiran Marx itu sangat penting bahkan sampai saat ini. Ya kalau pun ada beberapa penerapan yang tidak relevan, tidak perlulah kita membuang semua pemikirannya. Jangan membuang air mandi bayi beserta bayi-bayinya.” Kata Marto sahabatnya yang mengenakan kemeja flannel hijau. Nampaknya, ia membaca buku karya Franz Magnis Suseno karena kalimat yang ia sampaikan memang berasal dari rohaniwan tua yang juga filsuf itu.
Aku menyimaknya. Menyimak perkataan mereka dan juga lelucon khas dua pemuda itu. Sesekali kulemparkan senyum pada mereka, ya hanya sesekali. Aku lebih asyik dengan rokok dan kopi di kedua tanganku, meski tak bisa kurintangi suara-suara mereka masuk ke kupingku. Melihat aku asyik sendiri, mungkin mereka agak jengah juga. Lalu mulai mengajakku ke dalam lingkaran pembicaraan mereka. Dengan kata-kata standar perkawanan dadakan mereka bertanya “bagaimana pendapat bung?”, atau “menurut bung, bagaimana seharusnya itu ditafsirkan dalam konteks keindonesiaan?”. Tentu saja ada sebagian yang kujawab dengan argumen ringan dan sisanya kujawab “tidak tahu”.
Aneh juga mendengar mereka tertarik untuk menanyakan ini-itu padaku. Mungkin karena usiaku lebih tua dan penampilanku sama lusuhnya dengan mereka. Mungkin kelusuhan memberikan stigma yang sama dalam kondisi seperti ini. Orang lusuh di acara launching buku kiri adalah aktivis marxis. Mungkin ada benarnya mengingat beberapa aktivis yang masih “miskin” masih menggilai mode demikian. Tetapi tentu saja pendapat tersebut tidak tepat untuk para aktivis lain yang sudah mulai dikenal publik dan gemar berdiskusi di kedai-kedai kopi mewah. Singkatnya setiap jawaban yang keluar dari mulutku begitu diperhatikan oleh mereka. Sementara untuk jawaban yang kujawab “tidak tahu” mereka anggap sebagai kerendahan hati.
Namun aku senang dengan pemikiran mereka yang bebas merdeka. Kadang aku bahkan iri karena mereka belum memikirkan bagaimana orang-orang seperti aku ini bergulat untuk mendapatkan makan bagi keluarga, menyekolahkan anak yang nantinya akan tumbuh seperti mereka. Mereka juga tidak perlu risau seperti aku saat tetangga mengetuk pintu menagih hutang atau bagaimana memutar otak mencari-cari alasan saat kepergok di dalam gang sempit dengan tetangga yang kuhutangi minggu lalu itu. Mereka juga tidak perlu mencari tutur kata logis dan meyakinkan agar pemilik warung percaya bahwa aku akan mendapat uang besok dan ia merelakan berasnya beberapa liter untuk aku dan keluargaku.
Sesekali memang aku “melacur” menuliskan makalah-makalah untuk para aktivis super sibuk atau untuk mahasiswa yang tidak punya waktu menulis karena harus menyelesaikan level akhir dalam permainan game online. Ya dari situ cukuplah kiranya untuk menyambung hidup tiga sampai empat  hari. Saat ini, ketika anak-anak muda itu dengan semangat membara berkata-kata soal kemiskinan dan penindasan, apa yang dapat kukatakan? Bukankah aku pun masih bergelut dengan hal itu. Sepertinya kemiskinan dan penindasan mencintai aku tanpa perduli apakah aku membalas cintanya atau tidak. “Wejangan” apa yang bisa aku lontarkan bagi mereka? Bukankah melawan sistem tidak semudah menulis ribuan halaman buku-buku tentang bagaimana meraih kesuksesan hidup? Terlebih, saat tadi sang penulis yang mengklaim diri sebagai marxisme  memaparkan inti dari bukunya yang revolusioner itu, aku bahkan tidak dapat memikirkan untuk berpikir apakah bisa kupakai argumen-argumennya sebagai landasan epistemik berhutang di warung dekat rumahku? Ah, Hidup tidak sebatas memahami suatu teks dan melancarkan kritik atau pujian pada teks tersebut. Tidak, hidup adalah seni mempertahankan orang-orang yang kita cintai, yang ingin kita hidupi dan yang kita inginkan hidup bersama-sama dengan  kita.
Melihat, tatapanku yang tertuju ke arahnya, Marto pemuda berflanel hijau itu bertanya.
“Bung, bung itu marxisme aliran mana? Neomarxis, leninnis atau maois?” Tanyanya sembari senyum bersahabat. Mungkin ia tidak mau membuat orang seusiaku tersinggung dengan pertanyaannya, atau mungkin ia memang senang tersenyum karena ia memang ramah.
Tentu saja aku tidak terlalu yakin akan jawaban apa yang bisa kukeluarkan dari mulutku. Pertanyaan ini mungkin “remeh-temeh” bagi sebagian orang meski bagi sebagian lagi mungkin pertanyaan ini begitu serius karena menyangkut ideologi dan cara mengimplementasian ideologi tersebut. Namun bagiku, pertanyaan ini sungguh sulit untuk dijawab bukan karena kedua hal tersebut melainkan karena aku sendiri tidak tahu aku di posisi mana. Terlebih aku juga tidak mengerti benar apa yang ada di balik ideologi-ideologi tersebut. Yang aku tahu, semua ideologi, baik itu kiri atau kanan memiliki pijakan yang sama dan janji yang sama pula, yaitu membawa manusia pada kesejahteraannya.
Tetapi ia menunggu jawaban. Ia dan kawan-kawannya memperhatikan dengan seksama pergerakan bibirku. Aku harus menjawab.
“Apakah seorang marxis, entah itu neomarxis, leninis, maois boleh menggemari The Beatles dan Elvis Presley?” Jawabku dengan pertanyaan.
“Ah, bung ini bercanda. Bung lupa, bahkan Soekarno pun menganggap musik-musik mereka itu sebagai produk kapitalis. Mereka itu digunakan untuk menjajah kebudayaan bung. Jika kebudayaan sudah dikalahkan dan kepribadian bangsa sudah hancur, maka tingkat selanjutnya untuk menjajah secara ideologis akan sangat mudah.” Andi mengomentari pertanyaanku.
“Pertanyaan bung itu terkesan… Maaf bung, tapi saya harus mengatakan kalau bung tidak konsisten dengan perjuangan kelas” Marto menimpali pendapat kawannya.
Aku terdiam, mungkin mereka benar bahwa aku tidak memiliki konsistensi layaknya seorang pejuang. Bukankah Che Guevara mengatakan bahwa di dalam revolusi yang ada hanyalah pemenang dan orang mati saja. Mungkin aku bukan termasuk yang revolusioner itu, tetapi toh aku juga tidak mau mati. Tidak, tidak ada yang benar-benar siap menerima kematian meski pun agama memberikan janji-janji surgawi di balik semua kisah kematian. Lagi pula, sejak kita kecil, bukankah manusia-manusia dewasa tidak pernah memberikan pelajaran bagi anak-anaknya guna mempersiapkan diri menghadapi kematian? Tidak, bahkan di bangku sekolah pun tidak pernah ada pembicaraan macam itu. Manusia diajarkan cara untuk hidup dan bagaimana menjadi pemenang di dalam kehidupan ini.
“Jika memang demikian, mungkin aku hanyalah anak punk.” Kataku, dan mereka pun tertawa.
“Ah, bung ini selera humornya tinggi juga ya.” Sambut Marto di tengah-tengah tawanya.
“Ya, bukankah punk itu berontak dari rock and roll resmi. Menjadi musuh dari mainstream musik cadas. Bukankah para mafia di film-film Hollywood mengatakan jika musuh dari musuhmu adalah kawan? Dengan begitu, punk itu revolusioner.” Jawabku menimpali tawa mereka. Dan mereka pun semakin terbahak mendengarnya.
Ah, masih banyak relung kehidupan yang harus kita telusuri. Melihat para pemuda yang begitu bersemangat memperjuangkan ide-ide mereka tentu memberikan cita rasa tersendiri bagi orang seusiaku. Kenanganku kini hadir menyandera diriku. Dahulu aku pun seperti mereka, ya seperti itulah  kiranya setiap pemuda di zamannya. Dan aku tertegun… Siapakah yang menghancurkan impian indah para pemuda dan menggantikannya dengan mimpi buruk di usia dewasa. Sebagian menganggap mimpi buruk sebagai realitas dan membangunnya menjadi lebih buruk lagi. Sementara sebagian lain asyik masyuk dengan nostalgia kenangan masa muda yang revolusioner dan enggan terjaga untuk mewujudkan impiannya.
Hari sudah hendak menutup dirinya. Kini saatnya pulang dan bersiap untuk mimpi di malam hari…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar