Translate

Minggu, 19 Oktober 2014

IDE MESIANIS KEINDONESIAAN





Indonesia jelas sebuah bangsa yang unik dengan kemajemukannya. Tidak hanya karena keanekragaman suku, budaya dan agama yang terdapat di dalamnya, melainkan juga keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Namun, apa yang paling unik dari Indonesia dibandingkan dengan banyak negara lain adalah bagaimana keragaman itu dapat disatukan dalam suatu wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diikat dengan rasa sebagai sebuah bangsa. Tentu tidak mudah untuk menyatukan dan mengakomodir semua kemajemukan, termasuk juga kepentingan yang berada di dalamnya. Di sini saya mengajak pembaca untuk melihat satu sisi yang kerap terlupa dalam pembacaan kita mengenai arus sejarah keindonesiaan, yaitu ide mesianis yang mengikat kita sebagai suatu bangsa di dalam sebuah negara.
           
Ide Mesianis?
Kata “Mesianis” adalah kata umum dalam terminologi religius agama-agama abrahamistik. Di dalam kata tersebut terkandung sebuah harapan akan masa yang cemerlang di depan sana. Secara etimologis kata ini berasal dari bahasa Ibrani, Mesyiakh yang berarti yang diberkati. Hans Kohn dalam Encyclopaedia of the Social Sciences mendefinisikan mesias sebagai “kepercayaan religius akan kedatangan seorang penebus yang akan mengakhiri peraturan (order) masa kini, baik secara universal maupun pada kelompok tertentu, dan membangun sebuah peraturan baru yang mengacu pada keadilan dan kebahagiaan.” Namun demikian, mesianisme di kemudian hari tidak hanya menjadi milik ranah religius belaka. Ia menembus batas yang membelenggunya dan merasuki kehidupan politik.
            Kondisi pemerintahan yang bobrok, keadaan sosial dan ekonomi yang kacau, bahkan penderitaan eksistensial sebuah warga bangsa dapat menimbulkan harapan mesianis. Nikolay Berdyaev, seorang filsuf Rusia, mengatakan:

“Harapan mesianis lahir melalui penderitaan dan ketidakbahagiaan serta harapan akan datangnya penghakiman terakhir... pilihan terhadap kesadaran mesianis merupakan ganti dari pengalaman menderita. Penderitaan orang Yahudi, Polandia, Jerman, dan kelas pekerja di masyarakat menjadi faktor penumbuh kesadaran mesianis.”
            Dalam dunia politik, ide mesianis ini meresap dalam kesadaran sebuah bangsa. Ia menjadi sebuah cita-cita bersama yang kemudian dikemas dalam ideologi-ideologi. Meski tak tampil secara vulgar dalam sebuah ideologi, dalam arti tak tertuliskan, namun ide mesianis menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh untuk menentukan perjalanan sebuah bangsa.
            Di sini ide mesianis menjadi sebuah eskatologisme sejarah. Ia adalah harapan bahwa akan ada pembebasan di depan sana. Bahwa penderitaan yang dialami kini adalah suatu situasi yang tak bisa dihindarkan untuk menuju kebahagiaan paripurna. Dalam sejarah politik, kiranya dapat dilihat bagaimana marxisme adalah jelmaan dari ide mesianis. Runtuhnya kapitalisme dan berakhirnya penderitaan kelas akan membuat tidak ada lagi penindasan, dan kebahagiaan bersama akan terenggut dari tangan para penindas. Di sini kiranya dapat ditunjukan bahwa ide mesianis bahkan hadir dalam doktrin yang paling materialis.
Mesianisme dalam keindonesiaan
Indonesia sebagai sebuah negara modern tidak dapat berkelit dari ide mesianis keindonesiaan. Bahkan dalam terminologi khas Indonesia terdapat padanan bagi kata mesias itu sendiri. Kita melihat ide mengenai “Ratu Adil” yang hingga kini masih dipercaya banyak orang. Sosok Ratu Adil ini adalah sosok yang hadir karena penderitaan yang pernah dialami rakyat Indonesia. Presiden Soekarno dalam Indonesia Menggugat bahkan menguatkan kepercayaan tentang Ratu Adil sebagai paham yang timbul karena penderitaan. Senada dengan yang diungkapkan Nikolay Berdyaev, Soekarno mengatakan:

 “Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya ‘Ratu Adil’, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat ? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan. Sebagaimana orang yang dalam kegelapan, tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap kapan, kapankah matahari terbit?”
            Apa dan siapa sebenarnya Ratu Adil, sang Mesias Indonesia tersebut? Konsep Ratu Adil berasal dari seorang raja Mataram, Prabu Jayabaya yang hidup di abad 12. Di masa hidupnya ia meramalkan akan datangnya masa kelam di mana bencana menjadi hal yang biasa terjadi. Tidak hanya alam yang akan menyebabkan terjadinya bencana bagi manusia, melainkan juga dari manusia itu sendiri. Kehidupan sosial akan didominasi oleh orang-orang licik dan menindas sesamanya. Namun, masa itu akan segera berganti ketika sosok Ratu Adil datang dan membawa pembebasan dan kesejahteraan bagi rakyat. Pada masa itulah Nusantara akan memasuki zaman keemasannya. Sebuah zaman baru tanpa penindasan dan kelaparan.

Seiring berkembangnya zaman dan interaksi intelektual antara kaum bumiputera dan dunia Barat, Ratu Adil pun mengalami pergeseran makna. Ramalan Jayabaya yang tadinya merujuk pada suatu figur yang akan datang, kini dipahami sebagai suatu sistem di dalam pemerintahan. Melalui sistem rakyat dapat hidup sejahtera dan memperoleh pembebasan. Pada pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan:
“…Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”

Dalam pidato tersebut, Soekarno secara tegas menyebut kata ‘Ratu Adil’. Namun tidak seperti faham tradisional yang menganggap Ratu Adil adalah  figur, presiden Indonesia pertama itu lebih merujuk kata Ratu Adil pada sociale rechtvaardigheid, yang juga tercantum di dalam Pancasila sila ke 5, yaitu Keadilan Sosial.
            Ratu Adil kemudian terejawantah menjadi suatu Negara. Ia bukan lagi figur personal, melainkan sebuah negara. Di sin Indonesia sebagai sebuah kekuatan administratif (negara) adalah keharusan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Negara menjadi alat untuk mengakomodir kepentingan bersama dan membawa pada tujuan paripurna cita-cita bangsa. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 tertulis peran Negara sebagai berikut.
“… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”
Meski kata Ratu Adil dimoderasi dan dijadikan ideologi oleh Soekarno,jika dicermati ia ternyata juga membuka celah bagi tafsir tradisional. Tengoklah kutipan di atas, saat ia mengatakan “menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil.” Di sini ia menampilkan kembali Ratu Adil sebagai sebuah figur. Entah disengaja atau tidak, namun interpretasi rakyat kebanyakan yang hadir atau mendengarkan dari siaran radio saat itu sontak dapat mengenakan predikat Ratu Adil pada diri Soekarno sebagai pemimpin saat itu.
Soekarno jelas pernah menjadi figur yang menyatukan Indonesia. Tetapi penyatuan Indonesia saja nampaknya belum cukup untuk membuat rakyat sejahtera dalam sebuah ikatan bernama negara. Pasca Soekarno, Soeharto sebagai presiden terpilih ke 2 mencoba menyejahterakan rakyat melalui sistem pembangunan material yang digagasnya. Sayangnya sistem ini tidak dilandasi oleh pembangunan mental. Alih-alih menyejahterakan rakyat banyak, yang terjadi justru Indonesia mengalami ketergantungan  pada dunia Barat, yang hampir pula menenggelamkan kepribadian bangsa.
Apakah dengan berakhirnya pemerintahan Soeharto, ide mesianis bangsa Indonesia berakhir dengan materialisme? Nampaknya tidak. ide mesianis terlalu lentur untuk patah dalam perjalanan sejarah. Di masa pasca Soeharto, ide mesianis melebur dalam semangat reformasi. Reformasi kemudian menjadi tolok ukur kebangsaan. Seseorang dapat dikatakan reformis atau antek Orba. Ukuran ini laksana ukuran halal atau haram di dalam suatu agama. Namun tentu saja tidak ada imbalan surga atau neraka dibalik ide reformasi.

Jokowi Sang Ratu Adil?
Sejak Reformasi dipertengahan tahun 90-an yang seperti berjalan di tempat. Rakyat menemukan suatu kejenuhan akan jargon-jargon yang berlaku. Elit-elit politik ternyata tidak pernah berubah, tetap mengabdi pada kekuasaan dan tidak pernah bersama dengan rakyat. Rakyat pun hanya menjadi penonton dari keangkuhan dan pendengar setia janji-janji politis.
            Hingga suatu saat muncullah suatu nama ndeso yang dianggap sebagai Ratu Adil. Joko Widodo atau Jokowi dengan kesederhanaannya lantas dikait-kaitkan dengan Ratu Adil. Menjelang pemilu lalu, jargon-jargon mesianik tentang Ratu Adil bermunculan dalam diskusi-diskusi warung kopi hingga ke jejaring sosial.
            Kini ide mesianis kembali ke paradigma tradisional. Mesias, sang Ratu Adil adalah figur personal yang akan memberi pembebasan. Hal yang menjadi nyata dalam majunya Jokowi dan hantaman keras dari lawan-lawan politiknya, serta aksi diam tak membalas sang calon presiden itu semakin menguatkan klaim mesianis rakyat biasa pada Jokowi.
            Yang menarik dari fenomena Jokowi sebagai  presiden terpilih Indonesia adalah ia nampaknya sadar bahwa klaim Ratu Adil pada dirinya itu berbahaya. Suatu saat klaim seperti ini dapat membawa pada bencana personal jika ia gagal mengemban tugas. Upaya mengembalikan Ratu Adil menjadi sebuah sistem pun selalu dilakukan. Tentu hal ini bisa dilihat juga sebagai sebuah usaha penyadaran bahwa kesejahteraan itu adalah urusan bersama dan bukan bergantung pada sosok Ratu Adil secara personal.
            Dengan mengembalikan ide pembebasan dan juga kesejahteraan pada usaha bersama, dapat dilihat moderasi ide Ratu Adil atau mesianisme adalah kita. Kita adalah Ratu Adil dan kita lah yang akan mengubah keadaan korup, culas, munafik, bangsa tak berkepribadian, dan jagoan ngutang, menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat. Tentu hal ini berarti berat bagi rakyat yang selama ini hanya menuntut dan berdemo jika tuntutannya tak dipenuhi. Paradigma rakyat kini diubah menjadi pelaku perubahan itu sendiri. Jika bangsa ini mau maju atau tetap berjalan ditempat, maka itu menjadi tanggung jawab bersama.
            Kini pertanyaan kembali kepada kita. Sanggupkah kita sebagai rakyat menjadi Ratu Adil bagi bangsa ini? Sanggupkah kita menilai diri sendiri sebagai pembebas bagi bangsa ini?

HAK WARGA DALAM NEGARA DEMOKRATIS (Problem Perkawinan Beda Agama)





Dalam negara demokrasi hak setiap warga memperoleh jaminan yang sama. Dengan kata lain  setiap warga negara menginginkan suatu perlakuan yang fair dari negara pada dirinya. Itulah yang menjadi posisi dasar  setiap warga sebagai sebagai bagian dari institusi besar bernama negara. Perlakuan yang fair ini dituntut tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, budaya yang ada.
            Warga negara Indonesia, yang memang majemuk, tentu menginginkan perlakuan yang fair terlepas dari suku mana ia berasal dan kepercayaan apa yang dipeluknya. Dalam hal perkawinan, apakah hak-hak untuk memilih pasangan yang memang dicintai sudah dijamin oleh negara? Tentu dalam tulisan ini saya tidak ingin jatuh kepada argumen teologis di mana tiap agama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Sebagai warga negara (dan belum menjadi warga negara surga atau neraka), yang hidup di dalam suatu negara demokratis, keberadaan mereka harus mendapat jaminan penuh dari negara.
            Lantas bagaimana jika orang yang berbeda keyakinan atau agama ingin menyatukan cinta mereka dalam ikatan perkawinan? Jika agama memiliki doktrinnya sendiri untuk menentang, apakah negara kemudian memihak pada salah satu doktrin agama, atau ia berdiri netral? Dalam negara demokratis, negara tidak boleh berdiri untuk salah satu pihak saja, melainkan berdiri netral untuk semua orang dengan segala keyakinannya.

Problem Perkawinan Beda Agama
Problem perkawinan beda agama kembali menyeruak ketika para alumnus Fakultas Hukum UI mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi perihal UU Pernikahan, pasal 2 ayat (1), UU No 1 Tahun 1974, yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu". Menurut mereka pasal ini tidak dapat mengakomodir realitas yang terjadi di masyarakat. Bagaimana mungkin kebutuhan eksistensial seseorang untuk memiliki pendamping hidup dapat dipasung melalui pasal tersebut? Perlukah agama mengintervensi hubungan eksitensial dua manusia yang saling mencintai?
            Di sisi lain, agama dengan doktrinnya merasa perlu untuk menjaga keutuhan iman para pemeluknya. Oleh karena itu banyak dari kalangan agamawan beranggapan bahwa negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi umat dari hukum neraka nantinya. Argumen teologis dan ayat-ayat yang memang tak bisa, bahkan tak boleh dibantah menjadi dalil yang dipakai. Negara pun “terancam” dosa jika berani melawan doktrin agama. Tentu saja kalangan agamawan pun ada yang memiliki sikap yang berbeda. Di antara mereka ada yang menerima perkawinan beda agama, yang sumber argumennya juga dari kitab.
Konstitusi Sebagai Landasan Negara
            Lantas bagaimana posisi negara seharusnya dalam penyelesaikan pertikaian antardoktrin agama? Menelisik lebih jauh, haruslah dipahami bahwa negara harus berpegang pada konstitusi, dan bukan doktrin apa pun. Di sini negara berdiri netral dan tidak ikut campur dalam perdebatan teologis agama-agama. Mengapa demikian? Karena tujuan negara sebagai mana yang tercantum dalam konstitusi kita adalah untuk “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” Di sini tidak tercantum negara memiliki peran untuk membawa warganya menuju surga atau neraka. Dengan kata lain, para pendiri bangsa sadar bahwa doktrin mengenai keselamatan umat manusia setelah mati, tidak ditentukan oleh negara.
            Apa yang menjadi urusan negara adalah apa yang menjadi kepentingan bersama antar kelompok. Problem keadilan, kesenjangan sosial, ekonomi, budaya dan hal lain yang dapat memajukan negara dan warganya. Negara dituntut mampu membawa rakyatnya menuju kesejahteraan bersama, menciptakan sekolah-sekolah bermutu agar generasi mendatang memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Negara Tidak Perlu Kafir
Negara merupakan instrumen bersama untuk maju bersama-sama. Di dalam negara yang baik, manusia dengan segala hak dasarnya dilindungi. Lantas tidakkah negara menjadi terlalu arogan untuk tidak mendengarkan suara rakyatnya yang meminta agar doktrin didengar dan dihargai? Tentu kewajiban negara untuk memperhatikan suara warganya. Bahkan suara terkecil dari kaum minoritas pun wajib didengar oleh negara. Tetapi perlulah diingat bahwa negara adalah milik bersama dan apa yang menjadi tuntutan kita hendaklah bisa berlaku secara umum. Jika kita negara memperhatikan kita, maka hendaklah perhatian negara itu bukan hanya bagi kita dan golongan kita juga. Tetapi juga dapat berlaku umum bagi golongan-golongan lain.
            Kembali ke problem perkawinan beda agama. Agama dan kepercayaan seseorang telah dijamin dalam Undang-undang Dasar kita. Dengan demikian, baik si A yang beragama itu dan si B yang beragama ini, memiliki kedudukan yang sama untuk menjalankan keyakinan agamanya. Lantas bagaimana jika si A dan si B sepakat untuk melaksanakan perkawinan? Apakah negara dapat campur tangan? Negara tidak punya wewenang dalam pernikahan tersebut. Yang dapat dilakukan negara adalah melindungi hak-hak individu yang mengikatkan diri dalam tali perkawinan