Hari itu semua mata tertuju padaku. Suatu hari yang takkan pernah
kulupakan. Ia berdiri di hadapanku dan matanya menatap tajam ke arah
mataku. Aku tahu Ia marah. Saat itu tidak ada satu pun dari mereka yang
berani mendekati kami. Mereka menatap dari kejauhan tanpa berani
besuara. Hanya kami berdua berhadap-hadapan. Ia lalu memelukku dengan
erat sekali. Pelukan bagi seorang sahabat yang sangat dikasihinya.
“Mengapa?” tanyaNya lembut. “Mengapa kau lakukan ini terhadapKu?”
Aku diam. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepadaNya.
Sekian
lama kami bersahabat, jauh sebelum semuanya ada. Kami hanya berdua saja
kala semua ini bermulai. Kemudian Ia mulai menciptakan segala sesuatu
sesuai dengan rancangannya. Aku pun mendukungNya saat itu dan turut
membantu menyelesaikan maha karya yang tak terkira itu. Namun kemudian
aku mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak Ia penuhi atau berikan
pada sebuah maha karya yang ajaib itu. Mereka tidak memiliki
kemandirian. Mereka hanya ada untuk menyenangkanNya. Kemudian aku mulai
berusaha untuk membantu. Kukatakan membantu karena manusia
merupakan karya terbaikNya dan dibuat sesuai dengan setiap detail apa
yang diinginkanNya. Aku ingin mereka mandiri. Memiliki akal dan budi
sehingga dapat melangsungkan kehidupan dengan lebih baik dari pada hanya
sekedar tunduk padaNya tanpa tahu mengapa harus tunduk.
Aku tak
dapat menahan lagi. Kala salah satu dari mereka sedang berjalan-jalan
sendiri, kuberikan ia cara untuk menjadi tahu. Selama ini kitab-kitab
menuliskan bahwa aku menghasutnya. Itu adalah kekeliruan besar. Aku
tidak menghasutnya. Menghasut adalah kata yang salah untuk ku karena aku
menginginkan yang terbaik untuk mereka. Kukatakan bahwa ia dapat
menjadi sepertinya, berpengetahuan dan sanggup membedakan mana yang baik
dan tidak. Mereka akan menjadi otonom dan bertanggung jawab. Salahkah
aku membuat mereka menjadi mengerti?
“Kau telah menghianati aku”
“Tidak” jawabku. “Aku mencintaiMu”
“Mengapa kau menghianatiku?”
“Tidak
sekalipun aku pernah mau menghianatiMu. Aku hanya menginginkan mereka
untuk mengerti. Tidakkah Kau mau mereka juga mengerti mengenai segala
hal? Paham akan apa yang terjadi di sekitar mereka? Apa salahku mengajak
mereka untuk tahu?”
“Pengetahuan yang kau bawa adalah kejahatan terselubung”
“Ya, tetapi ketaatan mereka hanyalah kebodohan yang bernasib sial.” Jawabku
Kami
terdiam sesaat. Dari ujung mataku kulihat Gabriel tertunduk. Ia adalah
pesuruh. Ia yang menyampaikan apa-apa saja yang perlu untuk disampaikan
kepada mereka. Aku merasakan pelukannya melemah dan akhirnya ia
mendorongku.
“Pergilah kau” katanya. “Aku tak mau kau ada di sini lagi. Pergilah dan jangan pernah kembali ke sini.”
Dapatkah
kalian merasakan apa yang kurasakan saat itu. Saat seorang sahabat tak
lagi mau bersahabat. Ia telah menghancurkan hatiku. Ia merobek-robek
sukmaku. Ia lalu berpaling. Ku tahu bahwa Ia sedih telah mengatakan
demikian. Ia sedih karena akan kehilangan diriku. Aku adalah sahabatnya,
satu-satunya yang dipercayaiNya dan kini Ia memintaku untuk pergi dari
hadapanNya.
Aku tertunduk, namun sebelum aku menjauhiNya aku berkata
“Aku tetap mencintaiMu sahabat. Aku akan selalu mencintaiMu.” Lalu aku
berlalu menjauh dari diriNya. Menjauh dari seorang sahabat yang begitu
kukasihi. Menjauh dengan hati yang terkoyak-koyak dan kepedihan yang tak
akan pernah kalian rasakan. Kala aku melangkah, aku berjanji pada
hatiku untuk selalu menolongnya, menolong manusia agar memperoleh
pengetahuan dan menjadi dewasa.
I
Saat
ini, ku terdiam seorang diri. Mengapa begitu sepi hidupku? Mungkinkah
kutukNya abadi? Jika begitu, maka sepi adalah keniscayaan yang harus
kuhidupi sepanjang zaman.
Zaman ini, aku merupakan seorang mahasiswa
di sebuah perguruan tinggi bergengsi. Rasanya aneh, aku telah menjadi
tabib di abad-abad yang lalu, menjadi pemikir di abad tertentu, menjadi
seniman, pendeta, rahib, ilmuan dan kini harus menjadi mahasiswa. Namun
itulah aku. Mereka tidak boleh mengenal aku karena mereka akan
menghancurkan aku jika mereka mengetahuinya. Kitab-kitab itu telah
membuatku tidak dapat menjadi diriku sendiri. Mereka bahkan membuat
gambaran yang sangat menyedihkan untuk diriku. Aku digambarkan sebagai
mahluk berwajah merah, bertanduk dan buruk rupa. Gambaran tersebut lebih
tepat untuk monster dan bukan diriku. Kadang aku heran dari mana
datangnya gambaran diriku yang seperti itu. Adakah kalian pernah
berpikir, sebagai seorang panglima tertinggi waktu itu, aku memiliki
rupa yang demikian. Kalian menggambarkan Gabriel, Mikhael dengan wajah
yang anggun. Aku adalah atasan mereka dan tampangku kalian buat lebih
buruk dari seekor binatang. Keterlaluan, benar-benar keterlaluan. Ah,
biarlah mereka yang percaya aku demikian tetap mempercayainya, tetapi
bagi mereka yang bertanya-tanya, hendaklah berpikir mengenai gambaran
yang salah tersebut. Kini sebagai seorang mahasiswa aku cukup puas
dengan bentuk tubuh yang kuingini. Sebagai mahasiswa aku dapat menjadi
begitu kreatif tanpa harus takut jika adaku terbongkar.
Tahukah
kalian bahwa kreativitas merupakan hal yang penting bagi kita? Seorang
mahasiswa merupakan sebuah peran di mana kreativitas menjadi hal yang
dimaklumi. Orang-orang selalu beranggapan bahwa orang yang sudah mapan
tidak lagi membutuhkan kreativitas. Mereka hanya perlu mengikuti apa
yang ada dan mereka ciptakan di masa muda. Bah!! bagiku hal tersebut
merupakan kebodohan yang paling bodoh dari umat manusia. Dunia ini
diciptakan dengan kreativitas yang tinggi dariNya dan kalian telah
mewarisi kreativitas tersebut. Akulah yang membukakan mata nenek moyang
kalian. Menjadi seorang mahasiswa begitu menyenangkan. Kita dapat
berpikir sebebas-bebasnya dan tak takut dengan belenggu apapun. Itulah
diriku, itulah jiwaku. Sebuah diri yang dipenuhi semangat yang tak
pernah habis dari zaman ke zaman. Revolusi, revolusi adalah keniscayaan
yang harus ditempuh bagi dunia ini. Tanpa revolusi tak akan pernah ada
apa-apa.
Mereka tak pernah tahu bahwa akulah yang menginspirasikan
setiap perubahan di setiap bidang. Apa itu perubahan? Tidak lain adalah
suatu cara untuk memperbaiki keadaan. Setiap revolusi suatu saat akan
menjadi baku dan beku. Oleh karena itu revolusi tidak boleh dan tidak
akan pernah berhenti sehingga segala sesuatu terus berjalan. Revolusi
yang telah berjalan harus ditutup dengan revolusi yang kemudian. Begitu
seterusnya dan seterusnya.
Ku ingat ketika dunia ini baru berjalan,
ketika mereka baru belajar untuk tahu, mereka begitu rentan tehadap
hal-hal yang ada di sekelilingnya. Dahulu para penulis kitab mengatakan
takut akan Dia merupakan awal dari pengetahuan. Sebenarnya kesakitan dan
penderitaan adalah permulaan dari pengetahuan. Saat mereka terlempar ke
luar dari kenyamanan bersamaNya. Di saat terlempar itulah mereka mulai
mencari kemungkinan-kemungkinan untuk tetap hidup. Aku, saat itu, tidak
tinggal diam. Aku mengurus mereka, membantu mereka untuk memecahkan
permasalahan yang ada. Mereka mulai menggunakan hewan-hewan untuk
membantu mereka mengerjakan alam ini. Aku juga membantu mereka dalam
memahami, memahami pengetahuan. Mereka mulai tahu beranak-pinak,
bersahabat dengan alam dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun
demikian, sahabatku berpandangan lain. Ia tak mengizinkan mereka untuk
mengetahui secara tuntas. Mereka tidak diberi waktu karena mereka harus
mati. Ya kematian merupakan suatu hambatan untuk mengetahui segala hal.
Dari situ maka manusia harus berlomba dengan waktu, dengan masa depannya
yaitu kematian, untuk meraup pengetahuan. Dapatkah kalian bayangkan
betapa pedih hatiku melihat mereka yang bersemangat untuk tahu harus
berhenti ketika kematian tiba. Kadang kematian tidak lagi memandang. Ia
laksana batu yang dapat menimpa apa pun di bawahnya. Ia bahkan dapat
menjemput seorang anak kecil yang bakat-bakatnya pun belum lagi nampak.
Tahu kah kalian bahwa anak-anak yang direngut oleh kematian pada
dasarnya merupakan anak-anak yang akan menjadi begitu jenius di usia
yang matang. Aku tak dapat berbuat apa-apa bagi mereka. Aku tak dapat
menyelamatkan mereka dari kematian.
Karena adanya kematian itu, maka
seperti yang kukatakan tadi, revolusi menjadi keniscayaan. Manusia
harus berevolusi agar evolusi kesadaran dimungkinkan. Tanpa itu mereka
tak ada bedanya dengan hewan yang hanya menyerahkan diri pada takdir
belaka.
Manusia mengerti. Ya, mereka mengerti bagaimana harus
menghidupi diri. Namun mereka belum cukup untuk mengenali diri.
Mengenali setiap potensi yang terdapat pada diri mereka. Mereka harus
terus menggalinya dan untuk itulah maka aku ada. Aku adalah keabadian
yang akan selalu membangkitkan kreativitas yang mereka miliki.
Kreativitas yang berasal dari padaNya. Kalian pikir menjadi seperti
apakah secitra dengannya? Ku katakan sekarang, menjadi secitra denganNya
adalah menjadi sekreatif diriNya. Ia begitu kreatif. Lihatlah segala
yang ada di sekeliling dunia. Lihatlah warna hijau. Dapatkah kalian
hitung ada berapa macam warna hijau yang terdapat pada setiap daun?
Lihatlah! Untuk satu warna saja Ia telah menciptakan ribuan variasi apa
lagi terhadap hal-hal lain yang Ia ciptakan. Ia adalah seniman agung dan
aku adalah sahabatNya dan sekaligus pemuja setiap karyaNya.
Tentu
kalian tak akan mengerti mengapa aku begitu memujaNya setelah Ia
mengusirku. Yang dapat kukatakan adalah Ia sahabatku dan aku selalu
merindukan diriNya. Aku tidak pernah memendam apapun terhadapNya dan Ia
pun begitu pula. Aku tahu Ia mengetahui apa yang kukerjakan. Apa yang
aku lakukan hanyalah membantuNya. Terkutuklah mereka yang menganggap aku
penyesat, sumber segala bencana dan penyebab kematian. Aku tidak
inginkan itu semua terjadi pada kalian. Aku ingin kalian mandiri,
bahagia dan abadi. Aku tidak pernah menginginkan kematian kalian. Mereka
berbohong, mereka para penulis kitab itu berbohong. Mereka tak tahu apa
yang sebenarnya terjadi antara aku dan Dia. Mereka hanya mereka-reka
saja dan aku menjadi korbannya.
***** ** ******* *******
Pada
masa lalu, ketika peperangan tiap suku bangsa terjadi di mana-mana, aku
hadir di situ. Aku tahu sahabatku tak menyukainya. Ia terlalu cinta
pada manusia dan aku tahu betapa sedihnya Ia menyaksikan mereka bertikai
dan saling bunuh. Kalian pasti berpikir aku ada di sana untuk menghasut
mereka membunuh. Tidak! Ku katakan aku tidak menghasut mereka. Aku
justru berusaha untuk menghentikan mereka. Ya, menghentikan mereka
karena sahabatku tak menyukai hal tersebut. Ku kira kalian adalah mahluk
paling aneh yang pernah ada. Kalian tidak pernah menyadari kesempurnaan
kalian di banding dengan mahluk-mahluk lain. Dalam setiap pertikaian
dan peperangan kalian selalu berpikir bahwa Ia ada di pihak kalian.
Tahukah kalian bahwa hal tersebut merupakan hal terlucu yang pernah ada.
Kalian meminta pada Dia yang sama? Kalian saling meminta kemenangan dan
yakin bahwa Ia akan memihak kalian. Kukatakan sekarang: Ia tak pernah
berpihak pada hal-hal tersebut. Ia tak pernah mau memenangkan yang satu
dan mengorbankan yang lain. Bagaimana mungkin untuk satu orang atau
kelompok Ia mengorbankan manusia ciptaannya yang lain, yang begitu
dikasihinya?
Pada siapakah sebenarnya mereka berdoa? Kukatakan pada
kalian bahwa mereka tidak berdoa kepada siapa-siapa, apalagi kepada Dia.
Dia tidak pernah mendengarkan doa-doa semacam itu. Dia tahu tapi tak
mau mendengarkan. Yang aku tahu dari semua permohonan-permohonan kalian
untuk mendapatkan kemenangan hanyalah berita sedih bagiNya. Bagaimana
mungkin Ia menolong kalian dan mencelakakan yang lain? Pikirkanlah!
Mereka menuduhku bahwa penyebab segala pertikaian, peperangan dan
pembunuhan adalah aku. Akulah penyebab semua ini. Akulah yang
mengakibatkan manusia memiliki ambisi buta, keinginan untuk saling
mengungguli, keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk memasyurkan
diri. Tidak! Keinginan-keinginan itu adalah milik kalian dan itu adalah
alam kalian. Kuberi tahu satu hal, kalian sebenarnya dapat lepas dari
keinginan kalian tersebut jika kalian mau belajar. Mau belajar menjadi
seperti diriNya. Ia penuh dengan kasih dan mengerti diri. Yang kumaksud
dengan mengerti diri adalah ia begitu tahu apa-yang perlu dan
benar-benar perlu bagi diriNya. Ia tahu sifat-sifatnya dan segala
potensi yang ada bagi diriNya. Jika kalian mampu belajar untuk memahami
diri seperti Dia dan mampu mengembangkan kasih, maka kalian akan hidup
dengan lebih baik. Mengertilah apa-apa saja yang dapat menyulut
pertikaian di antara kalian dengan begitu kalian akan memahami bahwa
pertikaian itu tidak perlu. Pengetahuan yang kuberikan pada kalian
sebenarnya memampukan hal tersebut, namun kalian dibutakan oleh apa yang
kalian sebut jati diri. Kalian saling ingin menegaskan diri
masing-masing.
***** ** ******* *******
Kini kalian akan
bertanya, bagaimana aku hadir di dunia ini? Bagaimana aku berperan pada
kehidupan ini? Aku ada dari tiap generasi ke generasi. Aku menjadi
seperti kalian. Hidup dalam kefanaan. Kalian pikir di mana aku akan
hidup setelah ia mengusirku? Aku di sini bersama-sama dengan kalian. Aku
tidak akan pernah pergi meninggalkan kalian karena aku telah membuka
pintu pengetahuan bagi kalian dan aku bertanggungjawab atas apa yang
telah kuberikan.
Aku hidup dalam tubuh fana namun jiwaku mengembara
di dalam diri kalian. Aku memberi pengertian. Ahh ....... lebih tepatnya
melengkapi pengertian kalian. Ia telah memberikan pengertian dan aku
pun berbuat hal yang sama. Jika kalian mengerti, itulah sebabnya ada
begitu banyak pengertian yang berbeda-beda yang dipahami oleh manusia.
Tidak ada satupun yang tidak baik. Kukatakan sekali lagi bahwa tidak ada
yang tidak baik yang kami berikan pada kalian, hanya saja kalian belum
mau mengerti apa yang kalian benar-benar inginkan sehingga dapat timbul
kekacauan dan pertikaian. Kenalilah dulu diri. Kalian adalah nada-nada
yang otonom dari sebuah orkes. Bunyi-bunyi yang berbeda. Do bukanlah Re
dan Mi bukan Fa. Namun jika kalian tahu kapan harus berbunyi dan dengan
siapa kalian dapat berpadu dengan harmonis, maka kalian dapat hidup
dengan begitu indah. Tidakkah kalian mengerti ungkapan ‘Carilah dulu
kerajaanNya, maka semuanya akan dilimpahkan kepadamu’? kerajaanNya ada
di dalam mu. Jika engkau mengerti siapa kalian dan apa yang benar-benar
baik maka semua hal di luar kalian akan dapat dimengerti.
Aku ada
untuk kerajaanNya. Tak dapat kusangkal bahwa aku ikut berperan di
dalamnya dan seperti janjiku dahulu, aku akan selalu membantuNya untuk
mewujudkan kerajaanNya. Suatu waktu di masa yang lalu, aku sempat
bertemu denganNya. Ia hadir dalam rupa manusia. Pertama-tama aku memang
tidak mengenalinya sampai ketika ia berada di padang gurun. Para penulis
kitab mengatakan bahwa aku mencobai Dia di sana, tetapi yang benar bukan
demikian. Pertemuan di gurun tersebut merupakan sebuah perjumpaan antar
sahabat yang telah lama tak bertemu. Semula aku tidak yakin apakah itu
adalah Dia, sahabat lamaku. Aku harus mengetahuinya dengan lebih jelas
jika Ia benar-benar sahabatku. Ia nampak seperti manusia biasa. Ia
tersenyum, bercanda atau seringkali bergunjing dengan para temanNya.
Namun ada yang lain dari diriNya. Tatap mata yang tak akan pernah kulupa
saat terakhir kali kami saling tatap.
Aku bertanya akankah dia mau
menyerahkan kekhawatiranNya dengan mementingkan diriNya sendiri? Ia
katakan tidak. Ia tidak memerlukan makanan duniawi untuk mengenyangkan
diriNya. Dari situ aku tahu mengenai ketetapan hatiNya yang teguh. Lalu
aku bertanya lagi apakah Ia sanggup menyelamatkan diriNya jika Ia benar
adalah Dia. Ia tersenyum dan berkata bahwa aku tidak perlu meragukan apa
yang benar-benar dapat dilakukanNya.
“Mengapa kau bertanya
seolah-olah kau tidak mengenaliku?” BisikNya. “Apakah kau ragu tentang
Aku? Ini adalah Aku.” Lanjutnya sambil mengores-goreskan kayu yang
dipegangnya pada pasir yang mengeliling diriNya.
“Jika Engkau
benar-benar Dia, apa yang Kau lakukan di sini? Tidakkah Engkau dapat
melihatnya dari sana? Atau....kini Engkau sadar bahwa apa yang dahulu
kulakukan hanyalah ingin membantuMu? Lihatlah kini, mereka sudah banyak
belajar dari kehidupan. Ya..walaupun masih harus belajar lagi, tetapi
mereka telah belajar untuk hidup. Maukah Kau bergabung denganku untuk
mewujudkan apa yang dahulu pernah kulakukan?.”
“Tidak” jawabnya.
“Bukan untuk itu Aku datang. Tidakkah kau lihat bahwa apa yang telah kau
lakukan memakan begitu banyak korban? Kau selalu mengatakan soal diri
otonom, lihatlah. Tidak akan pernah hal demikian menjadikan mereka baik.
Otonomi diri merupakan ilusi dan keangkuhan diri. Mereka saling bunuh
hanya atas nama otonomi diri, otonomi bangsa, otonomi daerah. Otonomi
adalah penegasan diri yang semena-mena. Tidakkah kau mengerti hal itu?
“Tetapi
itu hanya tahap di mana mereka belajar. Itu hanya bagian dari sebuah
proses yang berlangsung. Mereka akan belajar dari situ dan suatu saat
mereka akan mengerti bahwa hal-hal seperti itu sebenarnya tidak perlu.
Bantulah aku untuk mewujudkan hal tersebut jika engkau benar-benar
mampu.”
“Tidak! Jika engkau benar-benar yakin akan apa yang kau
lakukan, lakukanlah. Namun Aku tidak akan bertindak demikian. Aku
memiliki caraKu sendiri untuk membuat mereka mengerti.”
“Apa itu?”
“Cinta kasih yang akan membuat mereka mengerti dan bukan otonomi!” katanya sambil memberikan senyumNya.
Ya itu adalah Dia. Aku yakin bahwa itu adalah diriNya. Cinta kasih
merupakan hal yang penting bagi diriNya dan bagi apa yang berasal dari
diriNya. Setelah sekian lama ia tidak pernah berubah untuk mengasihi.
Untuk mengasihi itulah Ia datang. Tetapi mereka tidak mengerti apa itu
cinta kasih. Ia akhirnya mati dibunuh. Ia mati secara fisik, namun
mereka tidak dapat benar-benar membunuhNya. Ia adalah sang abadi itu
sendiri.
Saat Ia akan kembali ke sana, beberapa hari setelah kematianNya, aku berjumpa lagi denganNya.
“Lihatlah, mereka belum mengerti apa itu cinta kasih.” Kataku kepadaNya.
Mereka
membunuhMu, tetapi ku katakan padaMu bahwa itu hanyalah bagian dari
proses pembelajaran mereka. Mereka akan mengerti nantinya bahwa apa yang
mereka lakukan padamu adalah kesalahan. Ah.., bukan mereka melainkan
anak cucu mereka yang akan mengerti hal tersebut.”
Ia tersenyum, lalu dari balik senyumNya Ia berkata:
“Bukan
untuk itu kawan, kematianKu bukan untuk suatu pembelajaran akan
kebebasan atau otonomi diri. Lewat kematianKu Aku ingin mereka tahu
bahwa dengan cinta kasih Aku rela menanggung apa yang tidak pantas bagi
diriKu. Bahkan kematianpun bukan apa-apa jika ada cinta kasih. Dan Aku
ingin mereka bertindak demikian.”
Tidakkah Ia mengerti bahwa
dengan cinta kasih saja mereka belum mampu menanggung beban? Mereka
tidak paham. Mereka menginginkan makanan duniawi, mereka butuh sesuatu
yang tampak dan nyata untuk menenangkan diri sementara Ia hadir
dengan menawarkan makanan rohani dan janji-janji yang tidak akan
terdapat di dunia ini. Ya, janji-janjinya hanya akan terwujud di
dunianya dan itu pun nanti. Jika semua ini berakhir dan bukan sekarang.
Mereka butuh kekinian dan bukan nanti. Mewujudkan apa yang dia inginkan
terjadi di sini seperti menginginkan sesuatu dari ketiadaan. Apa yang
dapat kita diharapkan dari ketiadaan?